Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Fransiskus Xaverius Sie Syufi
Manokwari merupakan Kota Injil yang harus mampu menjadi garam dan terang bagi kota-kota lain di Provinsi Papua Barat dan Papua. Realitas sosial di Manokwari sangat heterogen, karenanya harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral.
Kota peradaban yang harus lebih menciptakan suasana yang religius dalam dimensi pengembangan dan pembangunan daerah melalui program kerja yang harus berlandaskan kebutuhan hidup masyarakat setempat. Judul tulisan ini mengacu pada diskusi terpimpin beberapa waktu lalu yang dilakukan kader-kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manokwari Santo Thomas Villanova, Papua Barat.
Diskusi ini memberikan sedikit ulasan tentang penyimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat di Manokwari dan Tanah Papua pada umumnya. Seiring pesatnya perkembangan kota dan tingkat kemajemukan masyarakat, Manokwari juga semakin diwarnai penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial yang semakin meningkat dalam aspek kehidupan masyarakat majemuk meresahkan masyarakat.
Penyebab adanya penyimpangan sosial ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, faktor internal faktor eksternal. Pada faktor internal yang terjadi adalah lebih menekankan peranan penting dari dalam keluarga inti seperti ayah, ibu, dan saudara/i kandung, sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pergaulan bebas dan lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosial.
Dua faktor tersebut menjadi topik menarik dalam diskusi terpimpin yang menjadi rangsangan daya berpikir (stimulus) untuk terus bertukar pikiran menyangkut masalah sosial, yang generasi milenial hadapi sekarang ini, baik di Kota Injil, maupun Papua pada umumnya.
Berdasarkan dua faktor di atas dapat menjadi indikator sebagai acuan dalam diskusi tentang masalah penyimpangan sosial yang sedang terjadi di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Secara kasat mata (observasi), generasi emas Manokwari terjerumus ke dalam kasus-kasus penyalahgunaan lem aibon, lem fox, dan lem sejenis lainnya.
Untuk mengatasi mata rantai penyebaran kasus seperti ini orang tualah yang mempunyai peranan penting dalam membina, mengasuh, dan mendidik anak-anak agar tidak terjerumus ke dalam lingkaran setan. Orangtua adalah agen kontrol untuk anak-anaknya. Tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya untuk terjebak dalam dunia yang gelap atau tidak ada yang mau generasi penerus bangsa memiliki harapan masa depan yang suram.
Anak-anak kerap melakukan perilaku menyimpang karena kurangnya perhatian dari orangtua dan ini yang menjadi faktor utama, sehingga si anak merasa bahwa tidak ada belaian kasih sayang. Acapkali mereka merasa minder dengan keadaan rumah yang tidak romantik.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan mentalitas sebagai seorang anak secara utuh, dalam artian si anak lebih dominan bergaul dengan lingkungan di luar rumah; seperti, pergaulan bebas, narkoba, seks bebas, minum mabuk, lem fox, dan lem aibon.
Ketika seorang anak sudah terjerumus dalam melakukan aktivitas yang menyimpang atau dapat dikatakan sebagai mana dalam buku Dea Safira “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki, Third Culture Kid” (Anak yang tumbuh dengan budaya di luar budaya orang tuanya).
Dengan demikian dapat kita petik makna dari setiap penglihatan kita dan yang sering kita dengar dari teman-teman yang bercerita tentang adanya cap atau julukan (labeling) anak-anak lem aibon atau lem fox. Sebenarnya tidak boleh mengatakan hal itu jika kita ingin agar mereka (pecandu) berubah dalam arti bisa meninggalkan sikap yang tidak etis.
Dan harus mengajak mereka untuk berkomunikasi secara baik, sehingga ada rasa persaudaraan yang membangkitkan semangat, memberi motivasi agar tidak melakukan hal serupa.
Sebagai contoh kita dapat melihat di sepanjang emperan pasar Sanggeng, Wosi, dan Borobudur. Sangat disayangkan jika hal ini dibiarkan terus merajalela di kota tua ini. Ini bukan tentang apa tapi ini tentang manusia yang diciptakan sesuai citra Allah (Imago Dei). Maka kita harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (www.jogloabang.com).
Dari hasil diskusi terpimpin kurang lebih tujuh orang ini menjadi sebuah kesimpulan yang dapat dihasilkan sebagai suatu rekomendasi yang penting untuk dapat ditingkatkan melalui diskusi lanjutan dan sebagai catatan penting untuk DPC PMKRI Manokwari, agar dapat menjadi pekerjaan rumah untuk turun mengambil data primer dengan metode wawancara, dan hasil yang didapat dari lapangan akan dimuat menjadi suatu tulisan berupa laporan yang akan dibawa kepada dinas terkait (Dinas Sosial), Bupati, dan DPRD Manokwari untuk menjadi suatu bahan pertimbangan dan evaluasi kerja. Agar bisa dapat mengatasi masalah yang dimaksudkan. (*)
Penulis adalah mahasiswa Unipa Manokwari, Papua Barat
Editor: Timoteus Marten