Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi – Kopi menjadi komoditas unggulan di wilayah adat Meepago di Papua merupakan impian bersama para petani dan pegiat kopi. Dari sekian banyak jenis, kopi Modio adalah salah satu kopi warisan leluhur dari Kampung Modio, Distrik Mapiha Tengah, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, yang menjanjikan masa depan warga setempat.

“Implementasi dari misi tersebut ditunjukkan dalam wujud kerja nyata serta komitmen dan konsisten petani kopi di Modio, berpuluh puluh tahun lamanya,” kata Ketua Kelompok Petani Kopi Tihoubutu, Andreas Tekege (49), kepada Jubi, di Nabire, Jumat (19/2/2021).

Tekege mengatakan kopi Modio adalah warisan dari orangtua serta leluhur mereka di Modio. Mereka mewarisi juga tradisi merawat kopi, menanam, hingga memanen dan memasarkannya.

“Saya tidak tahu saya generasi berapa yang mengelola kopi. Karena kopi adalah warisan dari orangtua saya. Saya meneruskan kopi peninggalan mereka di Kampung Modio dan Putapa Distrik Mapia Tengah,” katanya.

Lanjut Tekege, sejak masa kecilnya harga kopi berbeda dengan harga kopi saat ini. Ia, membeberkan juga perbandingan harga kopi tahun 1990-an hingga saat ini.

“Saya mengelola kopi bersama almarhum bapak saya. Seingat saya waktu itu harga kopi sekilo Rp500 ribu. Sekarang harga kopi per kilo Rp100 ribu. Tapi sebelum ada pandemi Covid-19 harga per kilo Rp120 ribu. Ini harga di Nabire. Kalau di Jayapura per kilo Rp200 ribu. Harga di luar Papua beda lagi,” katanya.

Papua-kopi arabika-modio
Kopi arabika yang ditaman di kebun Andreas Tekege di Modio dan Putapa, Kabupaten Dogiyai, Papua – Jubi/Hengky Yeimo

Tekege mengatakan sekitar tahun 1990-an, sejak Kabupaten Dogiyai masih bergabung dengan Kabupaten Nabire, dirinya pernah mengantar kopi menggunakan pesawat dari Mapiha ke Nabire.

“Saya jual sekilo kopi di pabrik kopi Cendrawasih dengan harga Rp20 ribu. Saat itu kegiatan saya pernah diliput oleh Papua Pos Nabire,” katanya.

Kata Tekege masing masing keluarga di Modio dan Putapa kini diwajibkan menanam kopi dan mempunyai lahan kopi. Sebab kopi adalah warisan orangtuanya.

“Petani yang mereka punyai berasal dari dua kampung yaitu Modio dan Putapa. Jumlah petani saat ini ada 48 orang. Mereka membersihkan lahan, merawat, hingga mereka memanen,” katanya.

Tekege mengatakan kelompoknya pernah dibina oleh LSM lokal, nasional, dan internasional terkait pengelolaan kopi yang moderen itu seperti apa.

“Kami banyak berterima kasih kepada Yapkema yang terus membina hingga membuka pemasaran kopi sehingga kami kerja tidak sia-sia,” katanya.

Tekege mengatakan ia mendapat bantuan dari Dinas Perkebunan Kabupaten Dogiyai berupa bangunan kios untuk menaruh barang dagangannya.

“Saya mempunyai satu kios sehingga semua hasil panenan saya tampung di kios tersebut. Banyak orang yang biasa mengunjungi kiosnya untuk menyeduh kopi Modio Putapa,” katanya.

Kata Tekege, ia pernah merekrut petani dan membiayai mereka. Tetapi karena mereka tidak betah akhirnya mereka keluar.

“Saya pernah merekrut petani kopi untuk dua lokasi. Saya gaji mereka Rp100 ribu sampai Rp1 juta. Tapi mereka tidak mau kerja dan tinggalkan lahan kopi,” katanya.

Tekege mengatakan hingga saat ini Ia memunyai 868 pohon kopi yang sudah berbunga. Sementara yang masih tunas jumlahnya tidak terhitung.

“Jenis kopi yang ditanami adalah kopi Arabika,” katanya.

Tekege mengatakan pada bulan Desember 2020, mereka memanen sekitar 2 ton kopi. Sementara panen tahun 2021 belum bisa diperkirakan. Hasil panen distribusikan di café-cafe di Nabire dan Jayapura.

“Kalau di Nabire kami mengantara langsung ke Kafe Enauto. Di Jayapura kami kirim menggunakan kapal laut ke Pak Reba. Mereka yang kemudian menjual ke luar Papua,” katanya.

Tekege menceritakan pengalamannya saat mengikuti  Expo pada tahun 2018 di Kebayoran Jakarta.

“Kami mendapatkan kopi terbaik dengan nilai tertinggi. Banyak orang yang mengatakan bahwa kopi Meepago sama dengan kopi Luwak,” katanya.

Papua-kopi Arabika-Modio
Kopi arabika yang ditaman di kebun Andreas Tekege di Modio dan Putapa, Kabupaten Dogiyai, Papua – Jubi/Hengky Yeimo

Tekege mengatakan semasa kegiatan pada 2018 silam mereka pernah menanyakan apakah pemerintah memberikan bibit, pupuk, dan lainnya. Pemerintah tidak pernah memberikan  pupuk apalagi bibit kopi.

“Saya mengatakan kepada mereka bahwa kami di Papua, khususnya di Modio, menanam kopi tanpa pupuk. Kami hanya mengandalkan pupuk alamiah untuk pengembangan kopi,” katanya.

“Biji Kopi yang jatuh dari atas pohon ke tanah itu tumbuh subur. Kualitasnya berbeda jauh dengan kopi yang ditanami menggunakan pupuk,” imbuhnya.

Tekege mengatakan mereka mendapatkan bibit kopi dari pohon pohon kopi yang bertumbuh tinggi. Kalau di luar Papua mereka menanam kopi menggunakan pupuk. Bahkan pupuk itu di produksi oleh perusahaan tersendiri.

“Kalau kami di Modio saat biji kopi jatuh lalu bertunas kami menyemai untuk pembibitan. Kami mengucap syukur kepada Tuhan karena hingga sampai sekarang kami menanam kopi tanpa pupuk,” katanya.

Direktur Yapkema, Hanok Herison Pigai, mengapresiasi petani kopi asal Modio binaanya tersebut.

“Saya setelah memberikan pelatihan peserta yang langsung mengelola kebun kopinya adalah Andreas Tekege. Tekadnya kuat dalam mengembangkan kopi di kampung halamannya,” katanya.

Pigai mengatakan atas prestasinya Andreas mendapatkan hadiah dari Yapkema berupa uang pembinaan dan pengembangan usahanya.

“Dia kader terbaik yang saya lihat dan layak mendapatkan apresiasi dari kami. Tidak menutup kemungkinan ia bisa mendapatkan bantuan dari siapapun atas kerja keras, ketekunannya mengembangkan kopi di Modio dan Meepago,” katanya. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Leave a Reply