Menakar stigmatisasi dan keterlibatan imam Katolik dalam konflik Papua

Imam-imam Papua saat jumpa pers, Senin (8/6/2020), di Rumah Imam Projo-Condios, Jayapura - Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Fransiskus Batlayeri

Read More

Pengantar

Konflik Papua merupakan situasi yang sangat kompleks dari segi penyelesaiannya. Dalam kerumitan masalah Papua yang sangat kompleks itu, kenyataan agama-agama hadir di Papua juga mendapat desakan yang sama akan suaranya bagi mereka yang terus menjadi korban.

Tak luput dari itu Gereja Katolik Papua sering disoroti oleh manusia Papua karena kurang vokalnya posisi Gereja Katolik Papua dalam menggaungkan suara pembelaan bagi mereka yang menjadi korban tindakan elite negara.

Banyak hal yang membuat orang bertanya-tanya. Mengapa Gereja Katolik hanya diam? Mengapa para imam Katolik banyak yang membisu? Mengapa banyak imam Katolik yang kurang ‘vokal’? Mengapa para uskup diam?

Masih banyak pertanyaan lain yang tentunya membingungkan manusia Katolik Papua saat ini. Dalam keterpurukan dan ketertindasan, mereka selalu mengharapkan suara gembala yang hadir dalam memecah kebisuan yang terjadi.

Secara praksis kehadiran dan keterlibatan (Gereja) dalam menanggapi realitas Papua yang terjadi itulah yang diharapkan oleh manusia Papua.

Dalam kurun waktu 100 tahun lebih Gereja Katolik hadir di Papua (1905-2020), tapi orang Katolik Papua masih saja bernostalgia dengan seruan yang sama. “Dulu zaman misionaris boleh mereka begini dan begitu kalau sekarang semua sama saja malah lebih hancur”.

Keluhan sekaligus teguran yang keluar dari beberapa umat asli ini menjadi cambuk yang baik untuk direfleksikan bersama.

Mengapa mereka lebih suka dengan situasi masa lampau zaman misionaris dari pada situasi Gereja Katolik lokal saat ini? Apa yang salah dengan tindakan Gereja lokal saat ini, terutama para imam Katolik Papua sebagai pemimpin umat Katolik Papua?

Pada dasarnya konflik Papua adalah sistematisasi kepentingan yang terbungkus dalam sejumlah persoalan yang terjadi. Dengan begitu posisi Gereja Katolik selalu jelas secara universal.

Gereja Katolik hadir tanpa bungkusan kepentingan. Gereja laju dalam memperjuangkan harkat dan martabat manusia Papua.

Dalam artian ini sejumlah imam selalu terlibat dalam persoalan HAM karena unsur dasar yang manusiawi selalu diperjuangkan oleh Gereja Katolik dengan bercermin pada Yesus yang menjadi tumpuan hidup semua orang beriman kristiani.

Tidak jarang akibat dari keterlibatan imam Katolik ini memang posisi para imam sangatlah dilematis. Artinya bahwa mereka ‘disemprot’ dari berbagai sisi dan situasi.

Dengan demikian kadang semboyan “bicara salah tidak bicara juga salah’ selalu menjadi kritikan pedas yang dialamatkan kepada para imam Katolik.

Posisi ‘serba salah’ dari imam Katolik di Papua ini juga yang tak jarang membuat mereka sering disebut separatis ketika berpihak pada masyarakat asli dalam penderitaan. Kadang mereka sering disebut ‘kaki tangan’ negara ketika mereka berelasi dengan oknum pejabat dan negara.

Dengan stigmatisasi yang gencar dilakukan dari berbagai sisi ini, para imam tetap berdiri dan berusaha, untuk mencoba memahami situasi konflik Papua dari sisi ajaran Gereja Katolik.

Universalitas ajaran Gereja Katolik (Magisterium, Kitab Suci, dan Tradisi) tetap menjadi pedoman tertinggi dalam mengkaji sejumlah persoalan, terutama keterlibatan imam Katolik dalam situasi konflik Papua.

Imam Katolik dan politik praktis

Situasi konflik Papua erat kaitannya dengan sistematisasi dan pandangan politik. Bahkan pemikiran dan tindak tanduk dunia Politik telah merembes masuk ke dalam lingkup kehidupan Gereja Katolik.

Tentunya hal ini tidak bisa dihindari. Oleh sebabnya dalam gereja Katolik ada hukum yang mengatur keterlibatan imam dalam dunia politik.

Kitab Hukum Kanonik menjadi acuan yang selalu tepat melihat kedudukan imam Katolik sebagai seorang pribadi dalam keterlibatan politik itu sendiri. Kitab Hukum Kanonik 1983, atau dalam bahasa Indonesia biasa disingkat KHK atau Kan.

Kitab Hukum ini adalah susunan atau kodifikasi peraturan kanonik untuk Gereja Latin dalam Gereja Katolik. KHK 1983 dikeluarkan pada 25 Januari 1983 oleh Paus Yohanes Paulus II dan berkekuatan Hukum sejak Minggu pertama Adven tahun 1983.

Pertanyaan yang sering kali muncul adalah apakah imam Katolik boleh terlibat dalam politik dan menduduki jabatan publik? Bagaimana Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik mengatur hal itu?

Untuk mengkaji persoalan ini penulis memaparkan tulisan dari RD Rikardus Jehaut, imam Katolik dan doktor hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana, Roma dan hakim tribunal Keuskupan Ruteng (Flores). Tulisan ini dimuat dalam laman Konferensi Waligereja Indonesia, Mirifica (mirifica.net, April 2018).

Reverendus Dominus (RD) Rikardus menulis persoalan ketentuan Hukum Kanonik tentang keterlibatan imam Katolik dalam politik sebagai berikut:

Secara eksistensial, imam adalah makhluk politis yang beragama dan makhluk agamis yang berpolitik. Sebagai manusia, politik melekat pada diri seorang imam sebagai hak kodrati, sehingga politik menjadi hak fundamental seorang imam.

Hak ini tidak diberikan oleh penguasa sehingga tidak bisa diabaikan oleh siapapun. Dalam tataran hukum, hak politik merupakan hukum kodrati (ius naturalis). Hukum kodrati masuk tataran hukum tertinggi yang tidak bisa dibatalkan hukum positif (ius positivum) yang dibuat manusia.

Hukum positif membuat hukum kodrati ini menjadi lebih jelas, lebih adil, lebih benar, dan lebih wajar daripada hukum positif.

Atas dasar itu, maka sebagai manusia, imam juga memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sebagai warga negara yang baik, imam berkewajiban untuk terlibat dalam politik lewat upaya sadar dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan bonum commune yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, § 2).

Dan nilai-nilai injili, seperti inklusivitas, pilihan mendahului orang miskin, HAM, solidaritas dan subsidiaritas, kebaikan umum (bdk. Kan. 747, § 1) harus mewarnai cara berpolitik seorang imam Katolik.

Berbagai nilai inilah yang menjadi dasar visi politiknya yakni membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum, terutama kelompok masyarakat yang dirugikan.

Selanjutnya dalam tulisannya RD Rikardus menegaskan, kendati di satu pihak, diakui bahwa imam memiliki hak politik yang inherent dalam dirinya sebagai manusia, namun Gereja Katolik mengatur hak politik imam ini.

Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 kan. 287, §2 menyatakan bahwa para imam dilarang untuk turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang, hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.

Ketentuan yuridis ini memiliki pertautan yang erat dengan paragraf yang pertama dari Hukum Gereja Katolik yang tertera pada kanon. 287, §1, di mana, dikatakan bahwa para klerus (imam) hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan dengan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia (clerici pacem et concordiam iustitia innixam inter homines servandam quam maxime semper foveant).

Berkaitan dengan norma kanon 287 ini, RD Rikardus menekankan dua bentuk kewajiban yang berlaku bagi para imam Katolik, yakni:

Pertama, para imam Katolik (klerus) memiliki kewajiban yang bersifat positif, habitual dan permanen untuk membantu mempromosikan dan menjaga harmoni dan perdamaian di antara sesama.

Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang berakar pada keadilan. Hal ini berarti bahwa seorang imam berkewajiban, untuk dengan sekuat tenaga, membela hak-hak asasi manusia sebagai kewajiban yang muncul dari tuntutan keadilan yang bersifat natural atau positif.

Meskipun misi yang dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya adalah misi religius, berdasarkan Injil yang dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia (bdk. Gaudium et Spes 41) dan selalu dan di mana-mana menyampaikan penilaian morilnya, termasuk berbagai hal yang bersentuhan dengan tata politik jika hal itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa.

Untuk maksud tersebut, Gereja dapat menggunakan berbagai sarana yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan semua orang sesuai dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda (bdk. Gaudium et Spes 76).

Kewajiban untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan, serta membela hak-hak asasi manusia memiliki dasarnya dalam human dimension dari misteri Penebusan (bdk. Ensiklik Redemptoris Hominis; KHK kan. 474, §2; kan. 768, §2; Kongregasi Doktrin Imam, Nota dottrinale circa alcune questioni riguardanti l’impegno e il comportamento dei cattolici nella vita politica, 24-XI-2002, n. 1 )

Dalam hubungan dengan keterlibatan imam dalam konteks sosial-politik, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan bahwa bersama dengan seluruh Gereja, para imam diwajibkan, untuk dengan sekuat tenaga, memilih pola tindakan yang pasti, ketika berhadapan dengan persoalan seputar pembelaan hak asasi manusia yang fundamental dan promosi pengembangan diri manusia yang utuh, serta pencarian terhadap berbagai penyebab yang mengakibatkan belum terwujudnya perdamaian dan keadilan.

Berbagai sarana yang digunakan untuk maksud itu harus selalu sesuai dengan Injil.

Prinsip-prinsip ini valid tidak hanya dalam lingkup individual, tetapi juga di bidang sosial, dan dalam hal ini imam harus membantu umat awam untuk mengabdikan diri dengan membentuk hati nurani mereka secara benar (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1194).

Teks Sinode ini jelas memperlihatkan bahwa para imam dipersatukan dengan semua anggota Gereja dalam melayani keadilan dan perdamaian.

Namun di sisi lain, juga menegaskan bahwa peran para imam dalam tindakan sosial dan politik tidak sama dengan peran awam.

Hal ini digarisbawahi lebih jelas dalam Katekismus Gereja Katolik:

“Bukanlah urusan gembala-gembala Gereja supaya secara langsung campur tangan di dalam struktur politik dan di dalam organisasi kehidupan sosial. Tugas ini termasuk dalam perutusan awam beriman, yang karena dorongan sendiri, bekerja sama dengan sesama warga negaranya ” (KGK, n. 2442)

Tentu saja, seorang imam memiliki hak untuk memiliki pendapat politik pribadi dan menggunakan hak suara sesuai dengan hati nuraninya.

Sinode Para Uskup Katolik menyinggung hal ini dengan mengatakan bahwa dalam keadaan di mana ada terdapat perbedaan yang sah menyangkut  pilihan politik, sosial, dan ekonomi, para imam, seperti semua warga negara lainnya, memiliki hak untuk membuat pilihan pribadi mereka sendiri.

Namun mengingat bahwa pilihan politik secara alami bersifat kontingen dan tidak pernah sepenuhnya memadai dan cara abadi untuk menafsirkan Injil, imam, yang merupakan saksi dari hal-hal yang akan datang, harus menjaga jarak tertentu dari jabatan politik atau keterlibatan politik tertentu (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1195).

Selain itu, penting untuk disadari bahwa hak imam untuk menyatakan pilihan pribadinya  dibatasi oleh berbagai tuntutan dari pelayanan imamatnya. Keterbatasan ini juga dapat menjadi bagian dari wujud penghayatan aspek kemiskinannya sebagai imam seturut teladan Kristus sendiri.

Di tengah realitas sosial-politik, seorang imam harus menjadi a strong sign of unity, tanda persatuan yang kuat, untuk dapat  memberitakan Injil secara meyakinkan.

Lebih jauh dari itu, ia harus menghindari pemberian pilihannya sendiri sebagai satu-satunya yang sah, dan dalam komunitas Kristen, ia harus menghormati kedewasaan kaum awam (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1196), dan bahkan bekerja untuk membantu kaum awam mencapai kedewasaan dengan membentuk hati nurani mereka (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1194).

Dia harus melakukan apa yang mungkin untuk tidak menciptakan musuh dengan mengambil posisi politik yang menyebabkan ketidakpercayaan umat atau membuat umat beriman yang dipercayakan kepada penggembalaannya menjauhkan diri;

Kedua, RD Rikardus menuliskan bahwa sebagai ketentuan umum, para imam Katolik (klerus) dilarang untuk turut mengambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh (in factionibus politicis atque in regendis consociationibus syndicalibus activam partem ne habeant).

Apa yang menjadi dasar dari larangan ini?

Sebagai entitas sosio-religius, Gereja menghendaki agar para klerus sebagai public figures sungguh-sungguh dapat diandalkan untuk mendamaikan dan merukunkan sesamanya tanpa diskriminasi ketika terjadi ketidakadilan, kekerasan, pertentangan dan permusuhan di antara manusia.

Politik adalah bidang yang rawan atau rentan dengan pertentangan dan permusuhan, yang sarat dengan kepentingan diri atau kelompok.

Dengan melarang para klerus untuk terlibat dalam politik, Gereja hendak menjaga identitas diri imam sebagai pemersatu.

Larangan seperti ini sama sekali tidak meniadakan hak politik para imam. Imam tidak dilarang memberikan suaranya dalam pemilu, bicara tentang politik, mengkritisi kebijakan politik dan kebobrokan praktik politik kekuasaan, atau menyerukan imbauan moral-politik.

Kewajiban dan misi kaum klerus adalah sungguh-sungguh menghormati kebebasan yang sewajarnya yang menjadi hak semua orang di dunia ini (bdk. Presbyterorum Ordinis 9) dan membangun komunitas Kristiani yang rukun bersaudara tanpa harus menjadi hamba dari ideologi atau partai manapun (bdk. Presbyterorum Ordinis 6).

Mendorong dialog: Cara imam Katolik terlibat

Politik, sejatinya, bertujuan untuk mengupayakan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama. Politik bersifat eksistensial dan juga merupakan salah satu sarana keselamatan.

Keterlibatan imam dalam politik yang menghidupkan dan menyelamatkan dapat dibenarkan, sejauh mereka senantiasa terlibat aktif dalam memberikan pencerahan kepada umatnya atau dalam advokasi serta penyadaran politik masyarakat di tingkat akar rumput.

Dengan hati nurani yang jernih, visi keselamatan dan juga keberpihakan pada kaum kecil dan sederhana, seorang imam, misalnya, dapat memberikan pendidikan politik terhadap warga gereja atau masyarakat dengan memberikan kriteria-kriteria moral-etis yang sangat membantu umat dan masyarakat, untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan kesehariannya.

Tugas imam Katolik ketika terlibat dalam situasi konflik adalah jelas, bahwa imam tetap mengedepankan dialog damai yang memungkinkan keselamatan semua manusia tanpa terkecuali.

Di samping itu imam juga tetap vokal dalam memperjuangkan keadilan bagi mereka yang miskin dan menderita. Pilihan mendahulukan orang miskin (option for the poor) adalah pilihan yang diteladani dari Yesus sendiri.

Dengan demikian, tindakan politik imam Katolik adalah menyuarakan yang benar berdasarkan fakta dan data yang terjadi. Cara kerja ini tentunya ditempuh melalui dialog. Dialog adalah sarana bukan tujuan. Hal ini yang pertama-tama harus dipahami oleh semua pihak.

Dialog memungkinkan keadilan tercipta. Jika keadilan tercipta, maka kedamaian bisa digapai bersama.

Tentunya dalam dialog, imam Katolik akan mengedepankan kebenaran karena kebenaran adalah fakta dan kebaikan tertinggi yang harus dihormati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Atas dasar inilah kita bisa mengambil contoh dengan melihat teladan dari sosok Almarhum RD Neles Kebadaby Tebay yang mendorong dialog sebagai sarana menyelesaikan masalah Papua.

Dalam bukunya yang berjudul “Dialog Jakarta-Papua”(sebuah perspektif Papua), almarhum RD Neles Tebay mengemukakan, bahwa persoalan Papua itu melibatkan rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.

Hal ini tentunya berkaitan dengan sejarah politik yang panjang lebar bahasannya. Persoalan ini jelas bersifat vertikal.

Ketika menawarkan solusi penyelesaian masalah dengan sarana dialog, RD Neles Tebay pun tidak luput dari berbagai ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar orang Papua sendiri.

Ketika mencoba membangun komunikasi dengan masyarakat akar rumput, ia dituduh dan dicap sebagai separatis oleh elite pemerintah.

Begitu pun sebaliknya ketika ia menjalin relasi dengan beberapa oknum pejabat negara dan mengadakan pertemuan guna mengatur agenda dialog, ia juga diancam dan dituduh sebagai ‘kaki tangan’ negara oleh masyarakatnya sendiri.

Ini adalah realitas ‘serba salah’ dan pergumulan dilematis yang dihadapi oleh imam Katolik ketika terlibat dalam situasi konflik.

Gereja Katolik percaya bahwa dalam dialog yang dikedepankan adalah harkat dan martabat manusia. Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian menjelaskan dengan tegas bahwa Gereja Katolik melihat dalam diri setiap manusia citra Allah sendiri yang menemukan kepenuhan dirinya di dalam Yesus Kristus, puncak wahyu Allah.

Dengan demikian, setiap manusia mempunyai martabat yang wajib dihormati. Seluruh Ajaran Sosial Gereja (ASG) Katolik menghormati martabat pribadi manusia.

Masyarakat yang adil dapat tercapai apabila didasarkan pada martabat pribadi manusia. Maka, hak-hak asasi manusia harus dibela, baik secara pribadi maupun dasar sebagai keseluruhan.

Dalam dialog  yang terjadi adalah ‘duduk sama rendah berdiri sama tinggi’. Dialog tidak mementingkan tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing pihak.

Dialog lebih tepatnya adalah mengedepankan kebenaran. Semua pihak haruslah tunduk pada kebenaran. Kebenaran itu adalah kesesuaian antara fakta dan persepsi. Apa yang benar-benar terjadi haruslah dihargai dan dijunjung tinggi sebagai kebenaran tertinggi.

Berkaitan dengan persoalan konflik Papua, sejarah panjang peradaban manusia Papua telah membuktikan kebenaran itu, sehingga tunduk pada kebenaran haruslah menampik semua yang berbau kepentingan pribadi dan elite.

Eksistensi manusia Papua dalam sejarah peradabannya inilah yang kemudian perlu mendapatkan perhatian serius dalam dialog.

Gereja Katolik mengajarkan prinsip kesejahteraan umum. Prinsip yang berangkat dari martabat dan kesatuan serta kesetaraan dengan semua orang.

Sejalan dengan paham ini imam Katolik bergerak berdasarkan spiritualitasnya menekankan pelayanan yang setara dengan semua orang.

Bersuara vokal dan lantang baik di ‘mimbar’ dan menerapkannya dalam keteladanan hidup, menjadi pekerjaan berat yang harus terus digaungkan dalam menghadapi kehidupan konflik di tanah Papua.

Prinsip ini yang kemudian diharapkan oleh semua manusia Katolik Papua tanpa terkecuali. Tergerusnya kehidupan iman Katolik akibat ‘bencana sekularisme’ menjadi titik tolak hilangnya kepercayaan terhadap peran imam Katolik saat ini. Subjektivitas mendahului objektivitas adalah murni persoalan yang terjadi dalam Gereja.

Perhatian akan dipusatkan kepada individu dan latar belakangnya dari pada bobot dan isi kualitas pembicaraan maupun pelayanan.

Inilah sebab stigma yang selama ini juga didapat oleh para imam Katolik. Kecenderungan melihat subjek tanpa mengkaji objektivitas ajaran dan teladan menjadi kelemahan juga sekaligus pekerjaan rumah yang berat  bagi imam Katolik, untuk terus terlibat memperjuangkan kebenaran dari segi ajaran sosial Gereja.

Penutup

Gereja Katolik selalu percaya bahwa kekuatan Gereja bukanlah pada hierarki dan institusi (jabatan fungsional) Gereja, melainkan berasal dari situasi dan kondisi penderitaan umat.

Dengan demikian keterlibatan umat dalam iman, harapan dan kasih adalah senjata utama untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi. Dalam penderitaan, pengharapan itu selalu berakar kuat.

Inilah senjata utama Gereja dalam keterlibatannya menghadapi situasi konflik.

Berdasarkan situasi konflik Papua yang terjadi, maka para imam lokal (diosesan) Papua di tahun 2015 mencanangkan suatu tema besar yakni “Suka duka umat adalah suka duka para imam Katolik”.

Semboyan ini yang kemudian menjadi pekerjaan yang harus  terus digaungkan dalam keseluruhan hidup para imam Katolik di Papua.

Menjadi imam Katolik di Papua memang butuh sikap militansi yang kuat dan keberpihakan yang jelas dan tidak abu-abu. Juga tidak diharapkan memiliki sikap yang cuek atau acuh tak acuh.

Pada dasarnya menjadi imam Katolik yang dituntut adalah keteladanan, juga suara vokal yang terus bergaung membela kaum tertindas.

Posisi Imam Katolik Papua memang ‘serba salah’ tetapi perlu disadari bahwa Gereja Katolik  tidak menghasilkan imam untuk memupuk kebencian dan perpecahan di antara manusia.

Gereja Katolik hadir untuk terus memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara non kekerasan. Gereja Katolik hadir dengan prinsip menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

Dengan demikian, jika ada imam Katolik yang bersuara akan ketidakadilan dan diskriminasi tentunya itu lahir dari Ajaran Sosial Gereja berdasarkan prinsip-prinsip hukum Gereja yang berlaku.

Semua itu dilakukan demi kebenaran yang diimani, sehingga segala bentuk stigma yang beredar selama ini harus dihentikan demi kemanusiaan dan nilai kebenaran yang diperjuangkan. (*)

Penulis adalah mahasiswa pada STFT Fajar Timur dan anggota Aplim Apom Research Group (AARG)

Related posts

Leave a Reply