LP3BH Manokwari: Kesimpulan TGPF Intan Jaya lemah dan menggelikan

papua-kekerasan-intan-jaya
Ilustrasi jejak lubang peluru di lokasi penembakan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani - Jubi/Dok. Komnas HAM 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, Christian Warinussy, mengatakan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya sangat lemah dan menggelikan.

“Sudah terbaca dan bisa diprediksi sejak awal sebelum TGPF Intan Jaya dibentuk. Benar-benar menggelikan. Hasil ini semakin menunjukkan kemerosotan nilai kemanusiaan di atas negara demokrasi seperti Indonesia,” kata Warinussy, sebagaiman tertuang dalam rilis pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Kamis (22/10/2020).

Read More

Sebagai advokat dan pembela hak asasi manusia yang pernah menerima penghargaan internasional John Humphrey Freedom Award di Kanada pada tahun 2005, Warinussy mengatakan selain lemah, kesimpulan TGPF Intan Jaya tersebut tidak untuk mendudukkan permasalahan kematian Pendeta Zanambani pada proporsi yang sebenarnya menurut hukum.

“Laporan TGPF sama sekali tidak menyentuh konteks persoalan yang menjadi latar belakang hadirnya pasukan keamanan negara di sekitar wilayah Sugapa, Kabupaten Intan Jaya tersebut. Apakah karena ada gangguan keamanan yang mengancam keutuhan negara? Atau karena alasan ketersediaan potensi sumber daya alam yang sangat menjanjikan?.”

Lebih jauh Warinussy mengatakan peristiwa kematian Pendeta Yeremias Zanambani sesungguhnya mirip dengan kasus meninggalnya dua pemuda, Eden Bebari dan Roni Wandik, pada 13 April 2020 di Mile 34 Timika-Papua.

Kasus kematian Pendeta Zanambani, Eden Bebari, dan Roni Wandik jelas-jelas berawal karena kecurigaan aparat keamanan (TNI) bahwa mereka sedang mencari dan membawa makanan bagi Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) yang disebut sebagai Kelompok Sipil Bersenjata (KSB).

Tragisnya, baik Pendeta Zenambani maupun Eden Bebari dan Roni Wandik, diduga keras telah ditembak dalam jarak dekat dengan menggunakan senjata api laras panjang.

“Ini cenderung memenuhi amanat pasal 7 huruf b dan pasal 9 huruf a dari UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” kata Warinussy.

Lembaga yang seharusnya bekerja dalam proses hukum kasus-kasus tersebut sesuai amanat undang undang, imbuh Warinussy, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Sama sekali kita heran saja, karena tak ada catatan atau rekomendasi TGPF yang ditujukan dan atau perlu ditindaklanjuti oleh sebuah lembaga negara resmi di bidang pro justisia pelanggaran HAM, seperti Komnas HAM,” katanya.

Baca juga: PAHAM Papua: Hasil TGPF Intan Jaya tidak tegas

Sebelumnya, Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf Kawer, menilai hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF Intan Jaya tidak tegas dalam mengungkap penembakan terhadap Pendeta (Pdt) Yeremia Zanambani. Kawer menyatakan penyelidikan kasus itu seharusnya dilakukan tim ad hoc bentukan Komisi Nasional HAM, sehingga hasilnya bisa ditindaklanjuti dengan penyidikan dan proses hukum.

Hal itu dinyatakan Gustav Kawer saat dimintai tanggapan atas pengumuman hasil investigasi TGPF Intan Jaya bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, di Jakarta, Rabu (21/10/2020).

“Iya, hasil investigasi belum terlalu tegas. [TGPF menyebut ada] indikasi [keterlibatan] oknum aparat [dalam penembakan Pdt Yeremia Zanambani, atau [keterlibatan] pihak ketiga,” kata Kawer.

Kawer menyatakan kesimpulan TGPF Intan Jaya yang tidak tegas menyebabkan tidak terbacanya alur dugaan pelanggaran HAM dalam penembakan terhadap Pdt Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 lalu di Kabupaten Intan Jaya, Papua.

“Arahnya ke perilaku oknum,” kritik Kawer.

Meskipun Komnas HAM telah menurunkan tim untuk menyelidiki kasus penembakan Pdt Yeremia Zanambani, Kawer menyayangkan mengapa Komnas HAM tidak membentuk tim ad hoc atau Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP HAM). Padahal, pembentukan KPP HAM merupakan alur pro justitia yang justru diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM). (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply