Kaleidoskop Kepulauan Pasifik (2)

Papua-Kerusuhan di Honiara
Kerusuhan di Honiara telah membangunkan kembali trauma komunitas diaspora Kepulauan Solomon. - ABC News/ Evan Wasuka

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Ketakstabilan politik 

Meskipun perbedaan pendapat adalah bagian yang sehat dari demokrasi, ada sejumlah yang dapat mengarah pada ketakstabilan politik di Pasifik tahun ini. Vanuatu dan Kepulauan Solomon pun tidak luput dari perselisihan ini, namun realisasi dari pertentangan dalam negeri masing-masing itu sangat berbeda.

Read More

Di Vanuatu, krisis kepemimpinan yang terjadi baru-baru ini dipicu oleh perselisihan antara ketua parlemen dan Perdana Menteri, yang berlanjut dengan upaya PM itu untuk mencopot sang ketua parlemen dari jabatannya. Ketua parlemen menolak untuk undur dan Mahkamah Agung memihak padanya.

Akibatnya, 19 Anggota Parlemen (MP) dari kubu pemerintah, termasuk sang perdana menteri sendiri, memprotes parlemen dengan memboikot sidang parlemen. Ketua Parlemen kemudian memutuskan bahwa, karena boikot tadi, para MP telah mengosongkan kursi mereka.

Selanjutnya, keputusan ketua parlemen lalu ditantang melalui jalan yang panjang dan berliku di tingkat pengadilan. Pada akhir Agustus, para MP masih menjadi bagian dari parlemen Vanuatu, dan putusan pengadilan banding setelah itu telah mendukung para MP.

Sementara di Kepulauan Solomon, pada 24 November 2021 kerusuhan pecah di Honiara. Awalnya massa mendesak pengunduran diri Perdana Menteri Manasseh Sogavare. Namun aksi itu lalu berubah menjadi huru-hara. Dimulai dengan pembakaran sebuah bangunan di dalam kompleks parlemen dan kantor polisi, lalu, menurut laporan, penjarahan dan pengrusakan properti sementara massa bergerak ke arah Distrik Kukum di Honiara.

Polisi lalu mendirikan pos-pos pemeriksaan di sekitar kota sambil menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa. Beberapa bangunan di kompleks Chinatown di Honiara dijarah and dibakar, empat nyawa melayang akibat kerusuhan itu.

Kekacauan itu adalah tanda eskalasi konflik yang sedang berlangsung antara pemerintah Provinsi Malaita dan pemerintah pusat. Selama ini, perbedaan pendapat antara kedua pihak ini umumnya ditunjukkan dengan perdebatan antara Premier Provinsi Malaita, Daniel Suidani, dengan PM Sogavare atas keputusan Sogavare untuk mengakui Tiongkok.

Premier Suidani sangat kritis terhadap keputusan tersebut, dan sejak keputusan itu diumumkan ia masih mempertahankan hubungan antara Provinsi Malaita dengan Taiwan. Malaita, provinsi terpadat di negara itu, memiliki sejarah konflik yang panjang  dengan Provinsi Guadalcanal di mana pemerintah nasional berlokasi, dan menentang keputusan pemerintah Sogavare pada 2019 untuk secara resmi mengakui Tiongkok, bukan Taiwan seperti sebelumnya.

Namun Mihai Sora, seorang peneliti untuk Pacific Islands Program, percaya bahwa persaingan geopolitik antara Taiwan/AS dan Tiongkok bukan pemicu utama kerusuhan di Honiara. Menurutnya, hal-hal yang  dilakukan oleh negara-negara besar untuk mengumpulkan dukungan dari pihak-pihak lokal – tanpa mempertimbangkan keadaan sosial dan politik yang di dalam negara tersebut – dapat menyebabkan destabilisasi kohesi sosial di negara-negara yang rentan seperti Kepulauan Solomon.

Kerusuhan ini mirip dengan kerusuhan di Honiara pada 2006, di mana puluhan usaha di Chinatown juga dijarah dan dibakar menyusul kemenangan Snyder Rini sebagai perdana menteri yang diduga berkat dukungan dana dari Taiwan.

COP26 

Dalam pertemuan iklim global, COP26, di Glasgow November ini, aktivis-aktivis muda asal Pasifik mencuri perhatian. Salah satunya, aktivis perubahan iklim muda dari Samoa, Brianna Fruean, membawakan pidato di hadapan COP26, dimana ia menyebut orang-orang muda di Kepulauan Pasifik bukan korban dari krisis iklim, tetapi generasi pembawa harapan yang tangguh. Menurut Fruean, pertanyaan yang sebenarnya adalah apakah orang-orang memiliki kemauan politik untuk melakukan hal yang benar dalam mengatasi krisis iklim.

Sementara itu hanya empat negara Kepulauan Pasifik yang diwakilkan oleh para pemimpin mereka dalam acara diskusi perubahan iklim PBB itu akibat pembatasan perjalanan terkait pandemi Covid-19. Hanya Fiji, Papua Nugini, Tuvalu, dan Palau yang akan diwakili langsung oleh kepala-kepala negara mereka pada COP26.

Dengan absennya sejumlah pemimpin Pasifik dari negosiasi itu, atau dengan hadirnya tim negosiasi yang lebih sedikit anggotanya, berarti tidak akan mungkin bagi negara-negara ini untuk hadir secara langsung di semua pertemuan selama KTT COP26 ini.

Covid-19 dan kemajuan program vaksinasi 

Sejak 1 Desember 2021, Fiji telah membuka perbatasannya untuk pelancong internasional. Dengan lonjakan kasus Covid-19 sejak itu, pemerintah menanggapi dengan mengubah kebijakannya. Mulai 1 Januari 2022, pengunjung internasional yang datang ke Fiji sekarang harus menunjukkan hasil tes negatif PCR yang diambil tidak lebih dari 48 jam sebelum keberangkatan.

Fiji dan Samoa memang berbeda karena progres vaksinasinya yang cepat. Pada Juni 2021, tingkat infeksi Covid-19 per kapita Fiji dilaporkan sebagai yang paling tinggi di dunia, tetapi pemerintahnya dengan cepat mengubah situasi itu, terutama berkat kebijakan ‘no-jab no-job’ yang kontroversial. Menurut Kemenkes Fiji, pada akhir Desember ini, sudah 97% orang dewasa di sana yang telah menerima vaksin tahap pertama dan 91,9% telah menerima vaksinasi penuh.

Sama seperti Fiji, berkat kampanye peluncuran yang efektif, Samoa dan Tonga tampaknya bisa mencapai pencapaian serupa pada akhir 2021 atau awal 2022. Di Tonga, menurut Matangi Tonga, 96% dari 76.911 populasi negara itu yang berusia 12 tahun ke atas telah menerima dosis pertama mereka, sementara 79% telah menerima vaksinasi lengkap.

September lalu Pemerintah Samoa yang baru telah menetapkan karantina wilayah selama dua hari, dimana seluruh masyarakat Samoa diminta untuk tinggal di rumah dan mengikat kain berwarna merah di depan rumah mereka jika ada orang yang belum menerima vaksin Covid-19 tinggal di rumah tersebut.

Tim vaksinasi ditempatkan di setiap desa dan akan langsung menuju ke rumah-rumah masyarakat. Kampanye yang sama mereka lakukan pada 2019 saat wabah campak pecah.

Namun, di negara-negara Melanesia yang padat seperti Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu, perbedaan akan progres cakupan vaksin Covid-19 sangat drastis.

Di Kepulauan Solomon, terlepas dari kampanye sosialisasi Covid-19 pemerintah, termasuk Perdana Menteri Manasseh Sogavare sebagai orang pertama yang menerima vaksin, sebagian besar warganya disana masih juga enggan. Orang-orang disana masih tidak yakin bahwa pemberian vaksinasi dilakukan untuk kepentingan terbaik mereka. Dengan laju vaksinasi sekarang, populasi orang dewasa di Kepulauan Solomon diperkirakan baru akan menerima vaksinasi penuh pada pertengahan tahun 2026.

Di Vanuatu, Kementerian Kesehatan memperkirakan program vaksinasi Covid-19 mereka baru akan mencapai target pada akhir 2023. Karena keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang terlibat dalam peluncuran vaksin dan penyebaran teori-teori konspirasi melalui internet, model proyeksi dari Lowy Institute memperkirakan target 80 % vaksinasi orang dewasa baru bisa dicapai pada Mei 2025.

Situasi yang paling memprihatinkan dilaporkan di Papua Nugini dengan 5% populasi menerima vaksinasi Covid-19. Penyebaran informasi yang salah telah menurunkan kepercayaan publik pada tenaga kesehatan, pemerintah, dan lembaga-lembaga kesehatan. Negara ini memiliki cakupan vaksin terendah secara global untuk Covid-19, dan diperkirakan hanya sepertiga dari populasi orang dewasanya yang sudah menerima vaksinasi penuh pada April 2026.

Saat ini tidak ada kasus Covid-19 yang aktif di Samoa, Tonga, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon. (*)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply