Istana Mambesak dan stand up komedi ala Papua

papua-mambesak
Kelompok musik akuistik Manbewarek, Selasa (4/8/2020), melakuan gladi bersih untuk tampil dalam diskusi daring dan peluncuran buku dalam rangkaian peringatan HUT ke-42 Kelompok Musik Mambesak di Museum Universitas Cenderawasih, Rabu (5/8/2020) – Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Lahirnya grup Mambesak pada 5 Agustus 1978 telah menanamkan nilai budaya Papua maupun para tukang cerita mob alias stand up komedi zaman sekarang. Pasalnya, setiap malam Minggu ada panggung senja di depan Istana Mambesak, tepatnya di Museum Universitas Cenderawasih (Uncen) di Kota Jayapura-Papua, ada musik dan cerita mob.

Setiap grup boleh tampil, termasuk para pelajar, untuk mengisi acara musik dan tari serta cerita mob. Salah satu grup yang pernah tampil adalah grup mob dan lawak dari SMA Gabungan (Kota Jayapura), yang personilnya terdiri dari Marthen Chaay dan Marthen Mauri (sekarang di Swedia) serta Ian Gebze.

Read More

Panggung ini juga melahirkan banyak seniman muda Papua untuk berkarya dan mengenal jati dirinya sebagai orang Papua. Seniman dan juga seorang Antropolog, mendiang Arnold Aap, juga memberikan kesempatan kepada pemuda untuk tampil bercerita lucu alias mob agar semua bisa tertawa dan terhibur di panggung Istana Mambesak.

Mengapa mob mendapat panggung dalam Istana Membesak? Meminjam buku karya Zhanna Dolgopolova berjudul Mati Ketawa Cara Rusia, telah membuktikan bahwa rasa humor yang tinggi mampu bertahan di tengah masyarakat yang tertekan. Rasa humor itu pula seperti asal yang sulit ditangkap oleh jaring maupun disemprot obat nyamuk. Humor alias mob kerap kali lahir sebagai bentuk pembangkangan terhadap kekuasaan yang senantiasa hadir dan menemukan kran untuk mengeluarkan semua unek-uneknya di masyarakat di dunia ini.

Baca juga: Kelompok musik Mambesak menyatukan orang Papua

Baca juga: Ditulis 9 tahun, buku sejarah Mambesak bisa menjadi cikal bakal Mambesakologi

Selain itu, menurut Agusly Irawan dari Universitas Kristen Petra Surabaya dalam papernya  berjudul Tertawa dalam Bingkai Tradisi, Studi Deskriptif Mob sebagai Tradisi Berkomunikasi Masyarakat Papua, menyebutkan Papua memiliki kekhasan dalam komunikasi tradisional adalah mob.

Mob merupakan sebuah bentuk komunikasi yang sifatnya kelompok yang lebih berisi pada penyampaian humor-humor yang memiliki tujuan untuk menghibur kerumunan orang yang hadir dan mendengar. Seseorang akan tampil berbicara tentang sesuatu yang sifatnya humor atau lelucon. Tentu saja akan ditanggapi oleh orang lainnya dan akhirnya saling bergantian untuk menyampaikan humor atau cerita lucunya masing-masing.

Lalu, sejak kapan istilah mob itu lahir? Tak tahulah sejak kapan tetapi istilah April mob atau mop sendiri lahir zaman Belanda jelang 1 April. Akhir Maret jelang memasuki 1 April sudah pasti banyak orang mendapat tipu alias kena mob. Hingga ada yang menyebut MOP adalah singkatan dari Mati ketawa Orang Papua.

Jika disimak sebenarnya mob itu bisa lahir antar generasi, misalnya generasi orang Papua zaman perang Pasifik pasti akan menceritakan pengalamannya dalam menyaksikan perang.

Ada satu cerita ketika perang Pasifik 1944 di Biak, saat berkecamuk perang antara tentara Jepang melawan serdadu Sekutu Amerika Serikat. Suatu sore seorang tentara Sekutu bertemu masyarakat dan memakai bahasa tarzan meminta makanan. Kontan masyarakat kampung di Biak menunjuk ke kebun keladi dan mengatakan japan-japan.

Tiba-tiba tentara Sekutu menghamburkan peluru ke kebun keladi karena menyangka ada tentara Jepang. Padahal yang dimaksud dengan japan-japan dalam bahasa Biak adalah keladi.

Singkat kata, mob berkisah tentang pengalaman hidup dan kritik sosial serta menertawakan diri sendiri dan mungkin juga orang lain. Terima kasih Istana Mambesak  telah memberikan panggung bagi para tukang cerita mob. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply