Gerakan Tungku Api

papua-uskup-saklil
Mendiang uskup Timika, Mgr. John Philip Saklil (tengah), yang mencetuskan Gerakan Tungku Api - Jubi/Abeth You

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Aris Yeimo

Tanah Papua selalu dikatakan “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Selain menyediakan banyak kekayaan alam, Tanah Papua juga menyediakan panorama alam nan indah.

Read More

Dengan banyaknya kekayaan alam yang dimiliki, orang Papua semestinya hidup damai, tentram dan serba berkecukupan.

Harapan untuk membangun kesejahteraan hidup sudah pasti dapat terwujud tanpa harus bergantung pada orang lain. Tetapi harapan ini bertolak belakang dengan realitas.

Banyak orang Papua hidup serba tidak berkecukupan. Telah terjadi banyak masalah yang mendatangkan luka mendalam bagi mereka sejak berintegrasi dengan Indonesia.

Ketidakadilan yang melahirkan kemiskinan di Papua sungguh sangat tidak masuk akal. Alam yang begitu kaya dan indah sesungguhnya bisa menjawab kebutuhan hidup orang Papua bahkan lebih dari cukup, tetapi sangat disayangkan, kekayaan alam yang begitu besar tidak membuat orang Papua sejahtera.

Kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Sungguh realitas yang sangat kontradiktif. Banyak bentuk ketidakadilan yang terjadi selama ini telah membuat orang Papua tetap hidup dalam kemiskinan meski otonomi khusus sudah digulirkan juga untuk menjawab kompleksitas masalah yang ada (Raharusun, Konstitusi Pers: 2009)

Mengenal gerakan tungku api

Seiring berkembangnya zaman dengan segala kompleksitas kepentingan pragmatiknya, ekonomi orang asli Papua kian merosot. Hutan dibakar demi kepentingan pribadi dan kelompok, tanah dijual, laut dan sungai dicemari zat kimia, bahkan kearifan lokal yang menjadi sumber utama ekonomi masyarakat tidak diakomodir dengan baik.

Implikasinya dapat kita temukan dalam kehidupan masyarakat sekitar kita. Kemiskinan semakin menghantui kehidupan mereka. Akibatnya, muncul banyak penyakit sosial di tengah kehidupan masyarakat.

Dengan melihat realitas saat ini, Mgr. John Philip Saklil (almarhum) mencetuskan sebuah gerakan pastoral transformatif yang disebut Gerakan Tungku Api. Gerakan ini dilahirkan pertama-tama atas dasar keprihatinan Gereja akan situasi kemiskinan yang terus melilit kehidupan orang Papua, khususnya masyarakat Kamoro-Amungme di Timika (papua.antaranews.com, 4/3/2017).

Kemiskinan yang dialami masyarakat bukan karena mereka tidak memiliki potensi untuk bersaing atau tidak memiliki kekayaan alam, tapi tidak mampu mengolah.

Melalui Gerakan Tungku Api, beliau mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mengkampanyekan gerakan ini di setiap daerah dengan beberapa semboyan yang dicetuskannya: “Stop Jual Tanah”, “Orang Papua Bisa Hidup Tanpa Uang Tetapi Tidak Bisa Hidup Tanpa Dusun”, “Stop Jual Dusun”, “Lebih Baik Hidup Dari Hasil Keringat Sendiri Daripada Bergantung Pada Orang Lain”.

Sebagai bentuk keprihatinan Gereja terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat Papua pada umumnya, Gerakan Tungku Api secara khusus diartikulasikan oleh para petugas pastoral (klerus maupun awan) Keuskupan Timika dengan mengajak umat untuk membangun kebun sendiri, menanam buah-buahan, sayur-sayuran, memelihara ternak, membangun koperasi, memetakkan tanah adat dan melindungi tanah ulayat masyarakat.

Beberapa petugas pastoral sudah mempraktikkannya. Misalnya, pabrik kopi yang sedang dikelola paroki Modio – Dogiyai, Koperasi Maria Bintang Laut milik Keuskupan Timika bekerja sama dengan PT Freeport yang mengolah timbangan ikan dan pabrik es, pemetaan tanah ulayat yang sedang dilakukan tim pastoral dekenat Paniai. Semua usaha ini telah menjadi bagian dari visi bersama.

Masing-masing petugas pastoral mengartikulasikan Gerakan Tungku Api dengan caranya masing-masing sesuai dengan konteks geografi dimana mereka berkarya.

Mengapa frasa “tungku api” dijadikan sebagai landasan dasar gerakan ini? Tungku api, menurut Mgr John Saklil merupakan simbol kesejahteraan hidup keluarga, juga dipandang sebagai perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam yang menjamin kebutuhan dan kesejahteraan hidup masyarakat adat (STFT Fajar Timur, Limen: 2017).

Yang dimaksudkan dengan simbol kesejahteraan adalah ketersediaan sumber daya alam; hutan, sagu, dusun, kayu, ubi, tanah, dan sebagainya dikelola demi kesejahteraan orang asli Papua. Inilah semangat yang terkandung dalam Gerakan Tungku Api.

Tanah sebagai dasar pengembangan ekonomi orang asli Papua

Orang Papua memahami tanah sebagai “ibu”. Di atas tanah semua makhluk hidup bereksistensi. Tanah layaknya ibu yang memelihara anak-anaknya; memberi segala sesuatu yang menjadi dasar bagi keberlangsungan hidup dalam berbagai dimensi (Erari, Tanah Kita, Hidup Kita: 1999). Baik dimensi ekonomi, budaya, sosial, politik juga spiritual yang tidak bisa begitu saja, bahkan tidak mungkin terukur dan tergantikan oleh uang.

Orang Papua melihat tanah sebagai subjek dan bukan objek yang dapat diperlakukan seenaknya. Karena nilai kesakralan terhadap tanah, maka untuk melindungi hak ulayat masyarakat setempat, pemerintah telah menetapkan Peraturan daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah dimana peraturan daerah ini dikeluarkan sebagai pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanahnya.

Selain itu, otonomi khusus tahun 2001 juga menjamin terlaksananya pembangunan dengan mengakomodasi kearifan lokal seperti yang tertuang dalam Pasal 64 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat.

Dalam perspektif filsafat budaya, tanah dikategorikan ke dalam bentuk kearifan lokal berwujud nyata. Secara teoritis, kearifan lokal dipahami sebagai gagasan-gagasan, ide-ide, pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, untuk diikuti oleh masyarakat setempat. Sedangkan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat adat terdiri atas nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, filsafat, hukum adat dan aturan-aturan.

Kearifan lokal terbagi menjadi dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata dan tidak berwujud. Kearifan lokal berwujud nyata misalnya, tarian adat, tanah ulayat, makanan khas, arsitektur, dan sebagainya. Sedangkan bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah, wejangan-wejangan yang disampaikan secara verbal secara turun-temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional (Jehuru, STFT Fajar Timur, Filsafat Budaya: 2012).

Seluruh perangkat kearifan lokal yang telah dijelaskan ini tentunya dimiliki oleh orang Papua. Mereka memiliki nilai-nilai budaya yang sangat luhur serta sumber daya alam yang kaya akan “susu dan madu”.

Kekayaan tersebut tidak hanya sekadar menjadi sebuah kebanggaan di mata dunia tetapi lebih dari pada itu memiliki nilai luhur bagi mereka sendiri. Segala sesuatu menyangkut kebudayaan dipandang sebagai subjek karena mereka adalah satu-kesatuan. Yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain.

Karena itu, untuk melaksanakan pembangunan dalam segala aspek, secara khusus ekonomi kerakyatan, dibutuhkan sebuah pendekatan sosio-antropologis. Karena itu, paradigma relevansi antara manusia Papua sebagai subjek sekaligus objek atas pembangunan dan keyakinan kesakralan nilai tanah yang dimilikinya perlu dibangun. Sehingga, baik pemerintah maupun masyarakat dapat menjadikan tanah sebagai landasan dalam membangun ekonomi masyarakat.

Memahami konteks mata pencaharian lokal orang asli Papua

Jan Boelaars dalam bukunya, “Manusia Irian: Dahulu – Sekarang – Masa Depan” (1989), secara eksplisit menjelaskan etnografi suku-suku di Papua. Dalam pembahasannya terdapat klasifikasi mata pencaharian berdasarkan geografi suku tertentu. Suku-suku di pegunungan misalnya, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berkebun dan beternak.

Begitu juga konteks suku-suku di pesisir dengan menangkap ikan dan meramu. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai konteks dimana mereka berada.

Secara antropologis, untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan segala ritusnya dalam setiap suku di Papua berimplikasi pada kepemimpinan, relasi sosio-politis, pembagian peluang ekonomi dan pelayanan kesejahteraan.

Dengan menghidupi nilai dalam rutinitas itu, mereka mampu mengatur kehidupan bersama sehingga segala sesuatu dapat berjalan baik dan keberlangsungan hidup perorangan maupun kelompok terjamin.

Bayang-bayang kehidupan leluhur setiap suku di Papua dahulu kadang-kadang menjadi semacam kerinduan utopis masa kini. Sayangnya, kita tidak bisa terus bernostalgia. Dunia semakin modern dan kita berada dalam kungkungannya.

Pertanyaannya adalah apakah kebiasaan baik para leluhur itu masih dapat dimungkinkan dalam konteks sekarang? Apakah kebiasaan itu masih relevan?

Orang Papua kini semakin menyadari pentingnya menjaga dusun, melindungi tanah ulayat dan tidak menjualnya. Seruan untuk tidak menjual tanah oleh berbagai kalangan (pemerintah, MRP, DPRP, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemuda) mulai bermunculan dimana-mana.

Secara implisit, nilai-nilai religi dan sosio-antropologis itulah yang diperjuangkan oleh Gerakan Tungku Api.

Bagaimana tindak lanjut?

Dengan berupaya mengartikulasikan semangat Gerakan Tungku Api dalam relevansinya dengan konteks pengembangan ekonomi masyarakat, penulis hendak memberikan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah, KAAP, MRP, dan DPRP/D Provinsi Papua terkait upaya pengembangan ekonomi masyarakat asli sesuai tupoksinya:

Pertama, mengawal seluruh produk hukum yang berkaitan dengan upaya menjaga keutuhan tanah ulayat orang asli Papua.

Hari ini, masalah paling urgen yang dihadapi orang asli Papua adalah tanah ulayat. Banyak tanah ulayat dijual. Banyak orang Papua semakin kehilangan tungku api. Asap tidak lagi hidup di setiap tungku api di rumah-rumah. Masa depan orang Papua semakin tidak jelas. Pandangan bahwa tanah adalah “ibu” semakin hari semakin hilang;

Kedua, menyiapkan alat kerja masyarakat. Dahulu orang Papua tidak mengenal uang. Memang ada pertukaran sosio-politis tetapi tidak dalam bentuk uang yang dikenal seperti sekarang.

Mereka hidup apa adanya dengan upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak mengenal uang sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Oleh karena itu, hal paling penting yang mesti dilakukan adalah menyiapkan seluruh alat kerja bagi para petani. Berikan dorongan pula kepada mereka agar giat bekerja;

Ketiga, menyediakan lapangan kerja. Saat ini kita mendapat banyak kemudahan sering berkembangannya zaman.

Mentalitas orang Papua pun berubah dari produktif ke konsumtif atau sering juga disebut “bermental instan”. Orang Papua semakin meninggalkan budaya kerja dan mengharapkan belas kasih dari orang atau kelompok lain.

Oleh karena itu, penyediaan lapangan kerja akan sangat membantu mereka, tidak saja dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup tetapi dengan demikian mereka juga mampu menghidupkan kembali etos kerja yang telah ada sejak dahulu;

Keempat, mengembangkan pangan lokal masyarakat asli. Banyak bahan pangan saat ini yang diimpor dari luar Papua. Beras misalnya. Beras bukanlah makanan pokok orang asli Papua. Makanan pokok orang asli Papua yakni ubi atau petatas dan sagu. Kedua makanan pokok dan pangan asli lainnya (kopi, buah-buahan, sayur-sayuran) harus mendapat perhatian serius, agar upaya pelestarian, pengembangan serta pemasarannya berjalan efektif dan efisien;

Kelima, sumber daya manusia. Filsuf Yunani, Sokrates, mengatakan, “orang melakukan kesalahan karena dia tidak tahu”. Pernyataan ini sekaligus mau menyadarkan kita bahwa pendidikan sangatlah penting, baik pendidikan formal, maupun nonformal. Banyak kerugian dihasilkan akibat ketidaktahuan.

Kewajiban semua pihak adalah menjamin pengetahuan yang baik bagi setiap pelaku ekonomi khususnya orang asli Papua. Pengetahuan adalah jawaban dari harapan orang Papua untuk menjadi tuan di rumah sendiri. Dengan mengetahui, maka mereka akan mampu mengolah. (*)

Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply