Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Markus Haluk
Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi berpidato pada hari pertama Sidang Umum PBB secara virtual, 22 September pukul 20.30 waktu New York atau pukul 23 September pukul 07.30 Waktu Indonesia Barat. Tahun ini merupakan tahun pertama Jokowi berpidato di Sidang Umum PBB sejak ia menjabat Presiden pada 2014.
Sejak lima tahun terakhir, Presiden Jokowi selalu mendelegasikan tugas itu kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, kali ini Jokowi tidak mengutus Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo mendukung bangsa Palestina untuk nerdeka.
“Palestina adalah satu-satunya negara yang hadir di konferensi Bandung yang sampai sekarang belum menikmati kemerdekaannya. Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya.”
Sejak Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno sebagai inisiator Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955, pemerintah dan rakyat Indonesia secara konsisten mendukung kemerdekaan rakyat dan bangsa Palestina.
Pada waktu yang sama melalui KAA di Bandung, Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi saat ini, Pemerintah Indonesia terus menyangkal dan membunuh hak bangsa Papua untuk menentukan nasib bagi kemerdekaan politik. Saat ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo memainkan berbagai peran strategis demi mewujudkan hak kemerdekaan Palestina.
Salah satu faktor utama Indonesia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB adalah demi memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Tetapi pada saat yang sama Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB bekerja keras untuk menghadang agenda Papua Merdeka masuk di meja Dewan Keamanan PBB dan berbagai forum regional dan internasional.
Situasi ini bagaikan pepatah klasik “Semut di seberang lautan tampak, Gajah di pelupuk mata tak tampak”. Atau bahasa Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Injil Matius, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui,” (Matius 7:3).
Fakta ini yang terjadi pada pemimpin Indonesia.
Penyangkalan dan pembungkaman ruang demokrasi di West Papua
Sejak awal terpilih sebagai Presiden Indonesia pada 2014 hingga saat dimana Presiden Jokowi bicara di sidang Umum PBB berupaya keras menjadi pahlawan untuk Palestina. Tetapi sebaliknya menjadi pembunuh bagi rakyat dan bangsa Papua.
Fakta bahwa selama 57 tahun (1963-2020) Indonesia menduduki Papua, ruang demokrasi dibungkam dengan senjata hukum dan senjata militer. Penangkapan, pembunuhan, dan operasi militer kepada rakyat Papua dianggap hal biasa.
Pembunuhan terhadap rakyat dan bangsa Papua terjadi di depan mata rakyat pun selalu disangkal dan dianggap hal biasa. Nyawa manusia Papua dianggap benda yang tidak ada nilainya.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, Presiden Jokowi melalui aparat keamanan terus melakukan pembungkaman. Terus terjadi pengiriman pasukan nonorganik dari luar Papua ke Papua.
Pemerintah juga menggerakkan operasi buzzer di media sosial. Kerja tim buzzer begitu sistematis dan masif. Semua fakta dan peristiwa di Papua di-hoax-isasi. Lebih dari 18 media abal-abal beroperasi masif di Papua untuk meng-counter media cetak dan elektronik yang memberitakan fakta kejahatan negara di Papua.
Para menterinya, saling curi star dalam merebut popularitas dan kue kekayaan Papua. Ada yang sudah menjadi menteri tetapi mereka masih merasa sebagai jenderal aktif TNI-Polri. Sebaliknya, ada pejabat kepolisian di daerah merasa sebagai gubernur, sedangkan presidennya mengambil alih tugas teknis menteri tertentu.
Presiden Jokowi sering mengunjungi Papua, tidak sentuh akar masalah
Sejak 2014, Presiden Jokowi lebih dari 10 kali berkunjung ke Tanah Papua. Selama kunjungan di Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) ia terus bicara pembangunan. Pertanyaannya ialah pembangunan untuk siapa?
Selama kunjungan Presiden Jokowi di tanah Papua aspirasi Politik dan HAM yang terjadi di depan mata dan kepalanya dianggap angin lalu. Pada akhir Desember 2014, saat hadiri acara natal Bersama di Lapangan Mandala Kota Jayapura, Papua, Jokowi berjanji untuk menyelesaikan penembakan empat orang siswa di Paniai pada Desember 2014. Kini sudah memasuki enam tahun tetapi tidak ada tanda-tanda penyelesaiannya.
Dengan kata lain, penyangkalan masalah sejarah politik dan HAM terus dilakukan rezim ini. Kekerasan, represi aparat keamanan, penangkapan, penahanan, penembakan dan pembunuhan terus kapan saja mereka ingin lakukan.
Hanya kurang dari satu minggu ini banyak rentetan peristiwa pelanggaran terjadi di Papua. Berikut ini ada rangkumkan peristiwa penembakan, pembunuhan, dan pembungkaman ruang demokrasi di Papua:
- Pada 20 September penembakan dan pembunuhan Pdt. Yeremia Sanambani S.Th di Hitadibapa Intan Jaya.
- Pada 19-20 September gabungan TNI/Polri melakukan sweeping Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Mahasiswa terhadap mahasiswa Papua di beberapa asrama di Sulawesi Utara: Kota Manado, Tomohon dan Tondano.
- Pada 21 September 2020, aparat keamanan di Sulawesi Utara (Manado) membungkam dan menghadang massa aksi mahasiswa Papua yang melakukan aksi mendukung Petisi Rakyat Papua penolakan Otonomi Khusus Papua di kantor gubernur Sulawesi Utara.
- Pada 22 September Pdt. Alfred Degey, S. Th ditemukan tak bernyawa di Kabupaten Nabire.
- Pada 23 September juga 7 orang pemimpin aksi massa yang melakukan aksi penolakan Otsus Jilid II dan mendukung Petisi Rakyat Papua di Timika ditangkap dan dibubarkan di Timika.
- Pada 24 September 2020 ribuan massa aksi di Nabire yang melakukan aksi menolak Otonomi Khusus Papua Jilid II dan Mendukung Petisi Rakyat Papua ditangkap dan dibawa ke Polres Nabire.
- Pada 25 September 2020, di Kota Makassar yang mendukung Petisi Rakyat Papua tolak Otonomi Khusus Jilid II dikepung dan diintimidasi oleh ormas Indonesia di Kota Makassar.
Dengan melihat fakta sejarah pendudukan dan kejahatan kemanusiaan Indonesia di Tanah Papua, sudah waktunya diingat kepada Presiden Joko Widodo, jangan hanya mendukung kemerdekaan rakyat Palestina, tetapi mulailah dengan Papua Merdeka sebelum ke Palestina Merdeka. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif ULMWP di West Papua
Editor: Timoteus Marten