Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Epoha Kebada Tebai
Munculnya semangat atas sebuah gerakan dan seruan mengenai “stop jual tanah” dan gerakan tungku api (memiliki kebun sendiri, kandang sendiri), menjaga dan melindungi serta mengolah tanah sendiri yang digagas oleh Mgr. John Gayabi Philip (alm) selaku uskup Keuskupan Timika dan sekaligus sebagai ketua PSE Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), lahir dari sebuah fenomena masyarakat mengenai transaksi menjual-beli tanah adat atau hak ulayat di hampir seluruh Tanah Papua.
Di Jayapura, misalnya, dalam beberapa tahun belakangan ini penjualan tanah kian marak. Para pemilik lahan tidak segan-segan menjual tanah jika ditawarkan pembayaran dalam jumlah besar (Jubi.co.id, 23/4/2019).
Fenomena jual tanah tidak hanya terjadi di Papua, tetapi juga di Papua Barat. Orang menjual tanah tanpa memandang dan memaknai pentingnya tanah bagi kehidupannya.
Teologi tanah
Berteologi tentang tanah bertolak dari landasan biblis (kitab suci) yang berbicara mengenai tanah, yakni, kitab Kejadian. Ketika awal mula Allah menciptakan alam semesta, Allah memandang baik adanya atas seluruh karya alam ciptaan-Nya, yakni, tanah, laut, bumi, udara, serta segala isinya yang ada di dalam muka bumi ini. Allah melihatnya bahwa semua baik adanya. Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohon yang menghasilkan buah yang berbiji, Allah melihat bahwa semua itu baik (Kejadian 1:12).
Dalam konteks ini (tanah), di sana penulis kitab Kejadian, mengisahkan mengenai hubungan Allah dan tanah secara mendalam. Bahwasanya, Allah menciptakan manusia dari debu tanah. Artinya bahwa ketika Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya, Allah tidak menggunakan bahan ciptaan lainnya, tetapi Allah justru menggunakan tanah untuk menciptakan manusia (Kejadian 1:26-27).
Atas dasar ini, penulis menekankan bahwa tanah bersifat sakral atau suci dan menyelamatkan kehidupan manusia. Oleh karena itu, tanah bagi kehidupan manusia tidak dapat dijadikan sebagai barang komoditas (perdagangan) yang dapat diperjual-belikan. Akan tetapi, setiap orang dipanggil dan diutus untuk terus menjaga atau melindungi dan memelihara, serta melestarikan dan mengolah tanah. Tanah dan alam semesta sebagai rumah bagi keutuhan hidup manusia, alam, dan lainya.
Pandangan St. Fransiskus mengenai alam atau tanah
Santu Fransiskus dari Asisi yang dikenal sebagai pencinta alam yang radikal mendefinisikan bahwa alam sebagai rumah bagi seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa semua makhluk di atas tanah ini memiliki satu pencipta yang sama, yakni, Allah Sang Pencipta.
Dalam konteks inilah St. Fransiskus bersyukur dan memuji, serta memuliakan Tuhan yang sudah menciptakan dan menganugerahi semua ciptaan-Nya di atas tanah ini.
Dalam karyanya yang dikenal, Gita Sang Surya, ia bersyukur sambil memuji: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhlukMu, terutama Tuan saudara matahari: dia terang siang hari, melalui dia kami Kau beri terang. ia menyapa bulan, matahari dan ciptaan lain sebagai saudara-saudari. Terpujilah Engkau Tuhanku, karena saudari bulan dan bintang-bintang di cakrawala kau pasang mereka, gemerlapan, megah, dan indah. Terpujilah Engkau, Tuhanku karena saudara Angin, dan karena udara dan kabut, karena langit yang cerah dan segala cuaca, dengannya engkau menopang makhluk hidup ciptaan-Mu. Terpujilah Engkau Tuhanku, karena saudari Air, dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni. Terpujilah Engkau Tuhanku, karena saudara Api, dengannya Engkau menerangi malam; dia indah dan cerah ceria, kuat dan perkasa. Terpujilah Engkau Tuhanku, Karena saudari Ibu pertiwi, dia menyuap dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan.”. (Katolisitas-indonesia.blogspot.com, 7 Desember 2020).
Artinya, melalui kidung itu St. Fransiskus benar-benar merepresentasikan dirinya sebagai seorang pencinta alam yang ulung. Ia menemukan suatu nilai tertinggi dalam seluruh ciptaan-Nya, termasuk tanah sebagai ciptaan Allah.
Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang berakal budi terus dipanggil dan diutus, untuk menghormati dan menghargai tanah dan alam semesta dengan menjaga, melindungi, memelihara, serta mengolah tanah di atas muka bumi ini.
Makna tanah bagi orang asli Papua
Setiap suku bangsa memiliki konsep dan makna tentang tanah. Orang Melanesia pada umumnya dan orang asli Papua pada khususnya memiliki pandangan dan makna yang khusus atas tanah dalam kehidupan sehari-hari. Orang asli Papua dapat memandang tanah sebagai mama dan rumah.
Konsep dan pandangan mengenai tanah sebagai mama dapat diartikan dan dimaknai sebagai mama (tanah) yang selalu menyediakan segala sesuatu bagi orang asli Papua (OAP), sehingga tanah bagi OAP dapat dimaknai sebagai mama yang selalu memberikan kehidupan. Sedangkan, konsep dan makna tanah sebagai rumah dapat diartikan dan dimaknai sebagai tempat tinggal bagi semua makhluk ciptaan Allah, sesama manusia, orang asli Papua, dan lainnya. Tanah adalah seorang mama dan sebuah rumah atas eksistensi OAP di Papua.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa tindakan menjual dan membeli tanah adat atau hak ulayat dapat mengancam eksistensi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, khususnya orang asli Papua yang melakukan jual-beli tanah adat atau hak ulayat yang bersifat sakral dan menyelamatkan bagi eksistensi dan keutuhan bagi seluruh makhluk hidup, yaitu, manusia, hewan, dan segala isinya di muka bumi ini.
Tanah memiliki hubungan vertikal (Allah dengan manusia) yang terjadi di dalam kisah penciptaan pada kitab Kejadian, tetapi tanah juga memiliki hubungan horizontal (manusia-alam, hewan, dll) juga telah diuraikan oleh penulis kitab Kejadian. Dalam konteks inilah, tanah memiliki hubungan yang intim dan mendalam dengan Allah dan semua karya ciptaan lainnya.
Gagasan Mgr. Jhon Philip Gaiyabi Saklil mengenai gerakan “tungku api” dan “stop! menjual tanah” serta seruan menjaga dan melindungi serta mengolah tanah-dusun, dan sejumlah nasihat, yakni hidup dari hasil olah tanah atau dusun dan bukan hasil jual dusun dan tanah, masih terus ada bersama kita, di tengah-tengah kehidupan kita yang tinggalkan oleh sang Gembala bagi domba-dombanya. Mari menjaga, melindungi, dan mengelola tanah, karena tanah adalah rumah dan mama bagi kehidupan kita orang asli Papua. Stop jual tanah! (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten