Dimana ‘Undang-Undang Hutan Konservasi’ Tambrauw?

papua-hutan
Ilustrasi hutan di Tanah Papua – Jubi/Timo Marten

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Fransiskus Xaverius Sie Syufi

Kabupaten Tambrauw, Papua Barat merupakan kabupaten yang diwacanakan oleh pemerintah daerah sebagai kota (daerah) konservasi. Dilihat dari letak geografis luas wilayah 11.529,18 km2 (id.m.wikipedia.org) dengan hamparan hutan yang sangat luas dan masih perawan, sehingga lahirlah Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten Tambrauw Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Kabupaten Konservasi.

Read More

Tambrauw merupakan salah satu kabupaten pertama di Papua Barat yang memutuskan diri sebagai kabupaten konservasi, yang ada bersama di bawah naungan Provinsi Papua Barat yang memiliki Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) Nomor 10 tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Berkelanjutan, sebagai tindak lanjut komitmen mereka atas deklarasi menjadi provinsi konservasi lima tahun lalu (www.forestdigest.com).

Berdasarkan perda di atas belum adanya suatu hasil kajian ilmiah yang menyosialisasikan poin-poin inti yang dihasilkan tim perumus hutan konservasi tersebut. Pemkab dan DPRD Tambrauw sebagai wakil rakyat harus dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat tentang hutan konservasi. Namun hingga kini belum ada kepastian hukum yang legal tentang hutan konservasi itu.

Wacana hutan konservasi ini belum diakomodasi secara sempurna, sehingga hal ini menjadi kendala yang perlu disikapi secara serius dan tegas oleh pemangku kekuasaan (bupati, DPRD, dan Dishut) di Tambrauw. Yang menjadi kesan buruk pemerintah, baik eksekutif, maupun legislatif adalah terjadinya pembodohan publik dalam memberikan informasi mengenai kejelasan hukum yang dihasilkan untuk melindungi hutan konservasi.

Alam Tambrauw masih alami dengan hamparan hutan tropis, sungai, flora dan fauna endemik dan sangat berbeda dengan sebagian besar wilayah hutan di Tanah Papua dan Indonesia. Fenomena alam Tambrauw sangat menjanjikan dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, baik persebaran flora dan fauna, maupun hutan tropisnya.

Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik ini, harus mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hak-hak masyarakat dan kepastian hukum untuk pemerintah, serta masyarakat yang menjaga, melindungi, dan melestarikan alam, agar kelak anak cucu dapat menikmati hasil alam, yang masih utuh dan mutu tanpa ancaman pengerusakan alam oleh tangan-tangan manusia yang serakah.

Sebagai tindak lanjut dari adanya kawasan hutan konservasi, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat hanya melakukan aksi pelarangan berupa sasi adat di setiap kawasan hutan yang memiliki potensi sumber daya alam sasi-sasi ini seperti; pelarangan perburuan liar, perburuan dengan menggunakan senjata api (senapan angin/cs, senapan gas, dan senjata otomatis).

Dari pelarangan ini, seperti yang dikatakan masyarakat Tambrauw, Milda Wabia, 22 November 2020, “yang saya tahu cuma ada beberapa daerah saja yang mereka lakukan pelarangan, entah (baik) laut, maupun hutan, untuk membatasi mata pencaharian orang setempat atau mereka (yang berasal) dari luar daerah.”

Pernyataan ini menandakan bahwa Wabia turut prihatin dengan kebijakan Pemkab Tambrauw yang belum prorakyat secara utuh dan tuntas melakukan semua proses dari wacana hutan konservasi tersebut, untuk menjadi suatu perda dengan legalitas hukum yang tegas dan mengikat semua komponen masyarakat setempat, agar tetap melindungi kelestarian alam sekitarnya.

Yang dapat dilihat dari beberapa distrik di Kabupaten Tambrauw tentang tanda-tanda larangan, baik yang dibuat oleh pemerintah, maupun masyarakat sekitar, misalnya, dua kampung di Distrik Miyah, yaitu, Kampung Affair dan Mouk, yang ditanamkan papan nama tentang daerah kawasan yang dilindungi agar tidak melakukan perburuan liar, baik oleh masyarakat setempat, maupun masyarakat luar. Selain itu ada Kampung Wefiani, Distrik Amberbaken, pemuda dan masyarakat membuat larangan untuk para nelayan di laut dan pemburu di darat.

Seiring perkembangan dunia dan persaingan pasar ekonomi global yang semakin ketat, pemerintah perlu menangani masalah hutan konservasi ini dengan membuat perda yang mengacu pada sasaran kebutuhan hidup masyarakat daerah, demi melindungi hak hidup, baik hak milik, maupun hak pakai masyarakat dalam suatu tatanan kehidupan sosial, agar masyarakat tahu batasan-batasan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, untuk melakukan aktivitasnya.

Kalau dalam hal ini pemerintah tidak cerdas (reflektif) menyikapinya, maka semua harapan masyarakat akan sirna, karena secara leluasa kapitalis besar akan masuk ke Tambrauw untuk melakukan investasi dan ini akan menjadi ancaman bagi hutan dan makhluk hidup di dalamnya.

Pemkab Tambrauw dan Provinsi Papua Barat bisa belajar dari daerah lain, seperti perusahaan Korindo di Merauke dan PT Freeport Indonesia di Timika, yang dengan leluasa menebang habis hutan untuk menanam kelapa sawit dan menggali hasil tambang emas tanpa melihat kehidupan masyarakat atas hak ulayat, sehingga terjadi banyak ketimpangan dalam masyarakat melalui pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan) yang tidak memadai. Pemkab Tambrauw bisa belajar lebih bijak mengambil peran dalam pembangunan daerah melalui hutan konservasi, sebab hutan konservasi menghasilkan oksigen sekaligus pendapatan daerah yang besar.

Hutan konservasi dapat dipahami secara tradisional sebagai tempat keramat atau pemali, yang mana telah dimuat dalam buku Meneropong Suku Mpur (Yafet Syufi, eds 2015). Secara tradisional sudah ada pemahaman mengenai hutan konservasi lokal, hanya saja tak ada legalitas hukum tertulis yang mampu melindungi sebagaimana mestinya. Kalau dibiarkan, maka pemerintah gagal dalam mewujudkan harapan dalam pembangunan jangka panjang bagi masyarakat dan anak cucu.

Pemda dan legislatif belum maksimal dalam memberikan rasa aman dalam kepastian hukum yang mengatur dan mengikat. Pemerintah daerah sudah membentuk tim perumusan hutan konservasi yang diketuai Dr. Sepus Marten Fatem. Namun, sejak dibentuknya, tim ini belum menghasilkan suatu badan hukum. Entah tingkatan lobinya sudah sampai sejauh mana, supaya tidak memakan waktu yang lama dan memboros anggaran.

Untuk itu, pemda bisa memikirkan Via media aurea set (jalan tengah adalah jalan emas) sebagai solusi, untuk memudahkan proses percepatan perumusan ini. Saya yakin masih banyak intelektual Negeri Penyu Belimbing, yang dapat mempertanggungjawabkan ini, hanya saja belum diberikan kesempatan oleh pemerintah.

Proses perjuangan Kabupaten Tambrauw yang besar ini bisa berdiri dan hadir di tengah-tengah masyarakat, maka akan terasa aneh kalau tidak ada Undang-Undang (Perda) Hutan Konservasi. Ini menjadi catatan penting yang perlu ditinjau kembali oleh Pemkab dan DPRD Tambrauw, agar segera menindaklanjuti wacana hutan konservasi, supaya ada instrumen hukum yang legal. Percuma (DPRD) banyak mengeluarkan argumen tidak berisi dan pesannya kosong kalau tidak menghasilkan peraturan ini.

Pemkab Tambrauw juga segera memfasilitasi DPR Papua Barat jalur otsus dan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, untuk mengevaluasi sekaligus melobi kepada pihak akademisi Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), agar bisa menjadi tim perumus undang-undang tersebut.

Kalau ini dibiarkan, maka akan menjadi pekerjaan rumah untuk pemimpin selanjutnya, dan masyarakat akar rumput tetap menjadi korban. Pemerintah yang baik adalah pemeirntah yang mampu berkonsep dan mempertanggungjawabkan konsepnya hingga memperoleh hasil yang memuaskan untuk segenap rakyat di negeri yang dipimpinnya. Corruption optimi pessima (Jatuhnya kebaikan adalah kejatuhan terburuk). (*)

Penulis adalah mahasiswa Unipa Manokwari, Papua Barat

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply