Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Engelbert Dimara
Setiap bakal pasangan calon (paslon) kepala daerah membutuhkan dana yang sangat besar untuk kepentingan pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada), tetapi tahukah Anda berapa jumlah dan dari mana mendapatkan dana sebesar itu? Biasanya pada tahap awal, tiap paslon sudah menyiapkan Rencana Anggaran Biaya (RAB), yang kemudian akan dilampirkan di proposal dan digunakan untuk mencari dana.
Demi menggapai maksud dan tujuannya, setiap paslon akan berusaha mencari dana sebanyak yang dibutuhkan. Tentu maksud dan tujuan dari setiap paslon untuk maju dalam kontestasi politik di daerahnya itu baik, tetapi sangat disayangkan jika paslon yang terpilih kemudian terikat hutang dari perjanjian-perjanjian dengan berbagai pihak untuk mendapatkan dana. Demi menyelesaikan utangnya, tujuan yang baik tidak tercapai secara maksimal, karena ternyata rakyat terpaksa dikorbankan. Rakyatnya kehilangan tanah atau sumber daya alamnya untuk kepentingan investasi.
Pilkada dan tujuannya
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau pilkada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005).
Artinya pilkada harus dilakukan secara demokratis, di mana rakyat sendiri yang memilih pemimpinnya secara langsung. Tujuannya adalah, supaya kepala daerah terpilih harus bekerja dan bertindak atas nama rakyat. Rakyat pun dapat memberi kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Marijan (2010:37) dalam Cucu Sutrisno (2017) mengatakan, “Bahwa dilaksanakannya pilkada bertujuan agar kepala daerah benar-benar bertindak atas nama rakyat. Sehingga pemilihannya harus dilakukan sendiri oleh rakyat melalui Pemilu.” Pandangan Marijan ini kemudian ditambahkan oleh Sutrisno, dengan mengatakan, “Penyelenggaraan pilkada untuk memilih kepala daerah merupakan mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan kepala daerah yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.”
Pelaksanaan pilkada ini secara umum tentu bertujuan untuk memilih pemimpin yang akan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya, sehingga semua roda pembangunan dapat berjalan dengan baik, dan rakyat hidup sejahtera dalam segala aspek kehidupan, termasuk terjaminnya hak hidup dan hak kepemilikan atas sumber daya alamnya.
Untuk itu diharapkan para paslon haruslah figur-figur yang memiliki niat dan tujuan yang mulia, serta benar-benar siap bertarung untuk mewujudkan impian mereka.
Kesiapan pasangan calon
Setiap figur yang hendak maju dalam pilkada, harus benar-benar siap. Kesiapan misalnya dari sisi kemampuan finansial, kemampuan intelektualitas, mempunyai jaringan sosial yang luas, berintegritas, dan bermoral baik.
Kesiapan seperti di atas merupakan modal para paslon, yang oleh sosiolog Prancis Pierre Felic Bourdieu disebut sebagai modal politik. Ia membagi modal politik menjadi modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik (Agus Dinas, Modal Politik dalam dara.co.id, 8 November 2018). Yang menjadi perhatian di sini adalah modal ekonomi, lebih khusus lagi mengenai dana atau uang—modal yang digunakan untuk membiayai seluruh proses, belanja partai politik atau biaya pengumpulan KTP oleh paslon independen, biaya kampanye, ongkos saksi-saksi di setiap TPS, pengawalan suara sampai penetapan oleh KPUD, serta berbagai biaya lainnya.
Untuk itu, setiap paslon harus mempunyai kesiapan dana yang cukup. Berapa besar kisaran dana yang dibutuhkan oleh setiap paslon? Tentang hal ini pelaksana tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, Senin (2/12/2019) seperti dilansir kompas.com, 3 Desember 2019 mengatakan, paslon dalam pilkada bias mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pilkada. Biaya minimal yang harus dikeluarkan paslon di kisaran Rp 25 – 30 miliar, bahkan ratusan miliar untuk pemilihan bupati dan triliunan untuk pemilihan gubernur. Paslon petahan mungkin memperoleh dana sebesar itu. Bagaimana dengan paslon yang baru mencalonkan diri, darimana mereka memperolehnya?
Sponsor dana dari pemodal dan kompensasinya
Dukungan dana itu bias darimana saja, tergantung kemampuan paslon untuk mencari atau mengupayakannya. Bahtiar melanjutkan, uang tersebut tidak seluruhnya berasal dari kantong pribadi paslon, tetapi juga pihak sponsor (pemodal) untuk menyokong ongkos politik paslon dalm pilkada. Dari kantong pribadi, paling tidak, sekitar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar.
Jelas bahwa sumber dana dari paslon sendiri nilainya kecil. Tapi nilai yang besar merupakan sponsor dari pihak pemodal. Tentu dengan perjanjian yang mengikat secara hukum, termasuk bentuk kompensasinya.
Kalau kompensasinya berupa izin bisnis di daerah, maka bisnisnya bisa berupa usaha perdagangan. Misalnya membangun mal atau supermarket, atau usaha perhotelan, serta usaha properti. Selain itu ada juga izin lokasi untuk investasi di sektor pengelolaan hutan, perkebunan sawit, dan pertambangan.
Semua jenis usaha seperti di atas tentu akan berhubungan dengan masyarakat adat. Pembangunan mal, supermarket, hotel, perumahan atau rumah toko (ruko) semuanya butuh tanah. Untuk mendapatkan tanah harus berurusan dengan masyarakat adat sebagai pemilik dalam hal pelepasan tanah.
Yang menjadi masalah adalah jika izin lokasi pengelolaan hutan, perkebunan dan pertambangan. Perusahaan mendapat izin lokasi dari kepala daerah tanpa sepengetahuan masyarakat adat pemilik sumber daya alam. Hal ini yang akan menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan. Jika terjadi konflik, maka apa yang harus dilakukan atau bagaimana jalan keluarnya? Akan sulit mencari solusi terbaiknya, jika terlanjur dibuat perjanjian dan diberikan izin lokasi, sehingga pihak investor telah masuk dengan usahanya di wilayah milik masyarakat adat.
Oleh karena itu, diharapkan setiap figur yang berniat menjadi kepala daerah harus menyiapkan dana sebelum waktunya mencalonkan diri. Tetapi kalau terpaksa menerima dukungan dana dari pemodal, maka perjanjian kompensasinya cukup dengan izin untuk usaha perdagangan, properti, dan perhotelan. Jangan izin lokasi pengelolaan sumber daya alam milik masyarakat adat, karena tujuan dari pilkada bukan sekadar sukses pelaksanaannya, dan paslon terpilih kemudian menjadi kepala daerah. Tetapi kepala daerah terpilih harus bertanggung jawab menciptakan kesejahteraan, tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya. (*)
Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Tinggal di Kota Jayapura
Editor: Timoteus Marten