Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Felix Degei
“Jika tak kenal maka tak sayang. Dikenal maka disayang adalah ungkapan yang dirasa sangat cocok untuk mengawali tulisan ini. Orang saling memberikan reaksi bahwa ia sayang terhadap sesama, tentu dengan berbagai cara. Salah satu cara yang lazim adalah dengan praktik memilih dan dipilih. Tentunya, aktivitas ini adalah hak asasi dari setiap orang, tanpa dipaksakan ataupun karena keterpaksaan. Sehingga tulisan ini mengulas idealnya pesta demokrasi yang menjunjung tinggi nilai Langsung Umum Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil)”.
Dalam konteks menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Serentak pada 9 Desember 2020, tentu aktivitas mengenal dan memilih menjadi hal yang harus diputuskan oleh setiap pemilih terhadap setiap pasangan calon (paslon) untuk masa kepemimpinan 2020-2025.
Sederetan calon yang pemilih harus kenal dan pilih adalah baik yang mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur (cagub dan cawagub), walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati (cabup dan cawabub) di seluruh Republik Indonesia.
Berdasarkan data resmi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia 2020 ada sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020.
Rencana pelaksanaan Pemilukada sudah semakin jelas setelah ada pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Jadwal dan Program, Surat Edaran KPU dan Bawaslu terkait pelaksanaan Pilkada di tengah Pandemik COVID-19.
Sehingga sudah sekitar tiga bulan lamanya, secara resmi para paslon telah memperkenalkan diri dengan visi dan misi yang hendak mereka wujudkan jika terpilih sebagai kepala daerah selama lima tahun ke depan. Proses perkenalan mereka terhadap publik telah dilakukan dengan berbagai cara meski dalam situasi pandemi covid-19. Misalnya dengan cara memasangkan baliho, spanduk, pamphlet, dan berbagai atribut kampanye lainnya. Baik itu melalui media massa maupun pemajangan langsung di sepanjang pinggiran jalan raya.
Bahkan penyampaikan visi dan misi para calon telah disampaikan dalam metode debat kandidat. Komisi Pemilihan Umum dari setiap daerah telah melaksanakan setidaknya dua kali debat kandidat. Setiap kali debat dipandu oleh para pembawa acara yang berpengalaman. Debat tersebut menjadi lebih istimewa karena setiap pertanyaan yang ditujukan pada para bakal calon disusun langsung oleh tim panelis. Tim panelis dalam debat pemilukada berasal dari berbagai kalangan seperti para praktisi pendidikan atau akademisi, politikus, ekonom, sosiolog, serta budayawan atau seniman.
Tentu melihat, membaca serta mendengarkan pemaparan visi dan misinya sepintas orang bisa berkesimpulan bahwa mereka adalah para paslon yang pantas, sehingga layak dipilih sebagai kepala daerah selama lima tahun. Alasannya tentu karena dengan membaca, mendengarkan dan memahami setiap kata indah, bermakna yang dimuat pada aksesoris kampanye mereka. Kata-kata yang dimuat adalah menyangkut pangakuan terhadap diri pribadinya sendiri. Padahal, idealnya penilaian itu biasanya datang dari orang lain atas semua yang telah dilakukan oleh seseorang.
Berikut ini beberapa contoh pengakuan diri yang lazim tersurat pada setiap atribut kampanye. Misalnya, ada yang mengaku dirinya peduli dan prorakyat. Ada yang mengaku dirinya pejuang keadilan. Ada yang mengaku dirinya beriman. Ada yang mengaku dirinya anti-KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Ada yang mengaku dirinya amanah. Ada yang mengaku dirinya pintar. Ada yang mengaku dirinya tegas, dan lain sebagainya.
Tentu itu semuanya hanya bertujuan untuk mencari simpati dari warga. Selain pangakuan diri, di sana juga terlihat berbagai janji yang katanya mereka akan realisasikan jika kelak terpilih jadi kepala daerah selama lima tahun kedepan. Serentetan janji mereka itulah yang selanjutnya dipahami sebagai visi dan misi yang hendak mereka wujudkan.
Oleh karena janji adalah utang, sebaiknya ada yang mencatatnya untuk menjadikan bahan protes saat setelah mereka terpilih. Apalagi kini dengan berbagai kemudahan dalam media teknologi dan internet, setiap orang dapat meliputnya. Meski hal demikian dipahami sebagai lagu lama yang hanya diputar kembali untuk mencari dukungan belaka.
Khusus para wartawan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mesti menjalankan fungsi kontrol terhadap setiap program pemerintah: apakah pemerintah secara konsisten telah melaksanakan program pembangunan sesuai visi dan misi serta rencana strategi (renstra) dari pemerintah pusat atau belum)? Karena kedua elemen ini sesungguhnya berperan sebagai anjing penjaga (watch dog) atas setiap kebijakan pemerintah.
Adapun beberapa contoh dari janji-janji yang lazim terlihat seperti, ada yang berjanji akan memperhatikan dan memperjuangkan nasib rakyat. Ada yang berjanji akan memberantas KKN. Ada yang berjanji akan memperjuangkan aspirasi rakyat kecil. Ada yang berjanji akan membangun bangsa dan negara tanpa ada diskriminasi. Dan, masih banyak lagi janji yang sesungguhnya menggugah hati warga supaya memilihnya.
Kendati terlihat pengakuan diri mereka yang baik dengan janji-janji yang gemilang, masyarakat hendaknya bijak dalam pemilihan nanti. Kebijaksanaan dari warga harus ditunjukkan setelah merenungkan kembali pengalaman hidup. Sebagian besar dari paslon adalah para pemimpin dimasa sebelumnya (incumbent). Sebagian lagi pernah menjabat dengan berbagai jabatan lain. Sehingga kinerja mereka selama itulah harus dijadikan sebagai tolak ukur (barometer) dalam menentukan pilihan.
Ingat pengalaman adalah guru yang baik (experience is the best teacher) bagi setiap orang. Sehingga, tentu setiap kita memiliki pengalaman yang berbeda-beda dengan figur para calon kepala daerah yang saat ini sedang mencari sensasi. Jangan terbuai dengan badai pandemi Covid-19. Karena pilihanmu akan sangat berdampak pada roda pembanguan daerah selama lima tahun mendatang. Memilih petahana yang tidak memiliki jiwa membangun adalah sama halnya dengan jatuh tergelincir di tempat yang sama dimana kita perna jatuh sebelumnya.
Ada dua pertanyaan yang harus direnungkan kembali sebelum setiap pemilih masuk di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pertama: Apakah memang benar para paslon ini, selama hidup mereka itu sesuai dengan pengakuan diri mereka pada setiap aksesoris kampanye mereka atau tidak? Kedua: Apakah janji-janji mereka yang nan-gemilang itu memang benar dan terlihat dalam keseharian hidup mereka sejauh ini atau belum?
Kedua pertanyaan refleksi singkat di atas adalah hal yang sangat penting untuk menentukan nasib hidup Anda dan saya selama lima tahun ke depan. Ingat proses pemilihan kita di balik meja TPS hanyalah kurang lebih selama 1 menit. Tetapi jika kita salah memilih, maka hal penyesalan yang akan menaungi kita selama lima tahun kedepan. Resepnya hanya satu yakni: kita ikut memilih secara Langsung Umum Bebas dan Rahasia (Luber) dengan menjunjung tinggi nilai Jujur dan Adil (Jurdil).
Untuk mengakhiri tulisan singkat ini, penulis hanya mau menekankan bahwa pekerjaan mengenal adalah hal yang paling penting. Proses pengenalan tersebut harus secara holistik dan menyeluruh. Dalam hal pemilukada, maka setiap warga harus mampu mengenal setiap figur yang hendak dijagokan dan memilih baik secara fisik maupun secara psikis serta dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Pemimpin ideal adalah ia yang bertanggung jawab dan jujur serta mampu mendistribusikan keadilan.
Hal ini dirasa krusial karena pemilihan yang hendak kita lakukan pada Rabu, 9 Desember 2020 adalah satu-satunya cara demokratis untuk menentukan siapa pemimpin atau kepala daerah kita selama lima tahun mendatang. Pilihan ada pada rakyat yang memilih (people power): pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena sesungguhnya itulah manifestasi dari bunyi sila ke-4 Pancasila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan rakyat”. (*)
Penulis adalah akademisi dan pemerhati masalah pendidikan khusus orang asli (indigenous people) tinggal di Nabire Papua
Editor: Timoteus Marten