Papua No. 1 News Portal | Jubi
Merauke, Jubi – Petani di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua keberatan dengan kebijakan BULOG yang tak lagi membeli beras, sehingga gabah mereka menumpuk di rumah.
Sementara itu, BULOG Merauke tak bisa berbuat apa-apa karena kebijakan membeli beras dari petani merupakan aturan dari pusat.
Halaman depan rumah Saidan, 70 tahun, warga Kampung Sumber Mulya, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua, dipenuhi hamparan gabah yang dialasi terpal.
Tangannya sibuk memegang kayu untuk meratakan gabah. Cucuran keringat tak dihiraukan. Bajunya terlihat basah.
“Keseharian saya seperti begini. Jadi pagi-pagi sudah mengeluarkan gabah dari dalam rumah, lalu membentangkan sejumlah terpal dan menghambur gabah di atasnya untuk dijemur agar cepat kering,” ungkap Saidan saat ditemui di rumahnya, Kamis (1/10/2020).
Setelah gabah itu kering, dimasukkan dalam karung plastik. Ini adalah hasil panen musim kedua atau gadu dari empat hektare lahan milik Saidan. Tiap hektare menghasilkan 50 sak karung plastik gabah.
Hanya saja, kondisi yang terjadi setahun terakhir, gabah miliknya tak kunjung digiling.
“Kami tak bisa membawa ke tempat pengilingan, karena di sana ditolak. Alasan BULOG Sub Divisi Regional hanya menyerap gabah kering bukan beras. Bagaimana mau jual gabah, tentu kami rugi,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ratusan tumpukan gabah mendekam di rumah Saidan, termasuk dengan yang dipanen musim pertama atau rendengan.
“Buat apa jual gabah. Sementara pengeluaran saat pengolahan lahan hingga panen menggunakan mesin pemotong gabah untuk satu hektare saja, menyedot anggaran kurang lebih 5 juta,” katanya.
Dari informasi yang didapatkan, gabah yang dibeli dari petani oleh BULOG melalui mitra kerjanya Rp 4.300/kg. Tapi untuk penjualan beras di jual Rp7000-7500/kg. Saidin tak mendapat untung jika ia menjual gabah.
Dia berharap agar BULOG Merauke kembali menyerap beras, bukan lagi gabah, sehingga petani dapat menjual hasil kerja kerasnya selama ini.
Kepala Kampung Sumber Mulya, Muhamad Arwani, mengaku terdapat tujuh tempat penggilingan di kampungnya. Dari jumlah tersebut, enam di antaranya tutup sejak beberapa bulan terakhir. Penutupan tak ada hubungan dengan masa pandemi. Itu semata-mata karena BULOG Merauke hanya menyerap gabah bukan beras.
Hanya satu penggilingan beroperasi, karena ada pesanan beras dari Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel.
Lalu gabah yang dibeli dari petani juga jumlahnya terbatas, lantaran pesanan beras dari kabupaten tetangga di wilayah selatan Papua itu, tak rutin dikirim ke sana. Dengan demikian, umumnya gabah petani menumpuk di rumah.
Bukan hanya Saidan, tumpukan beras juga terdapat di kediaman petani lainnya, Gimo, 37 tahun.
“Bapak bisa lihat gabah saya yang menumpuk di dapur. Jumlahnya mencapai ratusan karung, karena tak bisa dibawa ke tempat penggilingan. Inilah kondisi yang sedang dialami dan dirasakan petani,” katanya.
“Kami sebagai petani kecil hanya bisa pasrah dan tak mampu berbuat banyak. Namun harapan besar kami agar pembelian beras oleh BULOG dapat direalisasikan,” pintanya.
Sementara data 2020 dari Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Merauke, menyebutkan terdapat 61.496 hektare lahan dibuka untuk areal persawahan. Dari total itu, pada musim tanam pertama dibuka petani seluas 36.155 hektare.
Untuk musim tanam kedua seluas 25.341 hektare. Namun ada penambahan realisasi pada musim gadu seluas 280 hektare. Dengan demikian, secara keseluruhan yang dibuka dalam dua musim tanam adalah 61.776 hektare.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Merauke, Ratna Nauce, mengatakan pembelian beras adalah menjadi ranah BULOG. Ia pun berharap BULOG bisa menyerap beras dari petani.
Ketika beras petani tak diserap, katanya, menjadi masalah besar, terutama musim tanam berikut dan juga biaya.
“Bagaimana petani membayar cicilan kredit di bank serta kebutuhan sehari-hari termasuk biaya anak sekolah ketika beras tak dibeli, kan ini persoalan serius,” kata Ratna.
Ratna mengakui dalam beberapa bulan terakhir, ada perubahan pembelian dari beras menjadi gabah.
“Nah, ketika program pembelian gabah dilakukan, spontan petani melakukan penolakan,” ujarnya.
Kebijakan pusat
Kepala BULOG Sub Divre Merauke, Papua, Djabiruddin, mengaku pada tahun-tahun sebelumnya tak pernah ada penyerapan gabah kering giling (GKG) dari petani. Hanya baru terjadi pada April 2020, setelah adanya perintah dari Perum BULOG agar dihentikan penyerapan beras petani dan lebih diutamakan gabah.
“Perintah itu kami laksanakan dan sebanyak 177 ton gabah berhasil diserap melalui para mitra kerja BULOG,” ungkapnya.
Memasuki bulan Mei, ada perintah pimpinan lagi, di mana selain gabah diserap juga beras dan itu disosialisasikan BULOG kepada petani termasuk mitra. Jadi ada dua skema pembelian dilakukan sekaligus. Saat itu, lebih banyak petani menjual beras.
“Tanggal 13 Juli, datang surat dari Perum BULOG bahwa yang diutamakan adalah pembelian gabah. Oleh karena tak ada petani menjual gabah, saya bersurat ke pimpinan di pusat meminta kalau dapat penyerapan beras dilakukan juga. Hanya saja tak ada jawaban sampai sekarang,” katanya.
Untuk harga gabah di tingkat petani Rp 4.300/kg. Kalau sudah masuk di gudang BULOG Merauke Rp 5.300/kg. Sedangkan beras di petani sekitar Rp 7.500/kg. Kalau masuk gudang Rp 8.000/kg.
“Betul dalam beberapa bulan terakhir, petani melalui mitra tak lagi memasukkan gabah di BULOG. Karena petani menolak menjual. Ya, kita tak mungkin memaksa mereka menjual,” ungkapnya.
Sejauh ini, beras yang ada di gudang BULOG sekitar 10.000 ton untuk kebutuhan Aparatur Sipil Negara dari beberapa kabupaten di selatan Papua. (*)
Editor: Angela Flassy