Hak atas tanah masyarakat adat terus diabaikan

Aktivis Lingkungan di Papua Barat
Para peserta diskusi tentang Hak-hak Masyarakat Adat Papua dan Lingkungan Hidup di Papua yang berlangsung di Kampung Bariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, pada 7 – 9 April 2021. - IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Puluhan rakyat dan aktivis organisasi mahasiswa dan pemuda di Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, menyatakan pemerintah telah mengabaikan hak masyarakat adat karena menerbitkan izin perkebunan kelapa sawit secara serampangan. Negara Indonesia dinilai tidak menunjukkan upaya untuk melindungi hak atas tanah masyarakat adat, khususnya di Kabupaten Sorong Selatan.

Hal itu disamapaikan Holland T Abago mewakili puluhan Rakyat dan aktivis yang menghadiri diskusi Hak-hak Masyarakat Adat Papua dan Lingkungan Hidup di Papua yang berlangsung di Kampung Bariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, pada 7 – 9 April 2021.

Read More

Abago mengkritik pemerintah daerah yang tak kunjung menerbitkan peraturan daerah untuk melindungi masyarakat adat di wilayahnya. “Pemerintah belum menerbitkan peraturan daerah yang mengakui, melindungi, dan menghormati keberadaan dan hak-hak Orang Asli Papua. [Padahal itu] menjadi perintah peraturan dan aspirasi masyarakat adat,” kata Abago, sebagaimana dikutip dari keterangan pers tertulis yang diterima Jubi pada Sabtu (10/4/2021).

Baca juga: Perkebunan kelapa sawit di Papua Barat serahkan 52 ribu hektare lahannya ke Pemerintah

Menurut Abago, pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus menerbitkan izin usaha perkebunan kelapa sawit di atas tanah ulayat masyarakat adat di Sorong Selatan. Ia menyatakan banyak izin usaha perkebunan kelapa sawit itu diterbitkan secara melanggar aturan dan standar usaha perkebunan kelapa sawit. “Kami juga menemukan praktik pemberian izin, perolehan hak atas tanah, dan usaha pengembangan kelapa sawit, dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai, norma dan hukum adat, serta kebiasaan budaya masyarakat adat Papua,” katanya.

Penguasaan tanah oleh pengusaha perkebunan sering dilakukan dengan intimidasi dan manipulasi, bahkan kekerasan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. “[Penguasaan tanah oleh pengusaha perkebunan] dilakuan dengan perusakan dan hilangnya hutan, hutan gambut, dusun, dan tempat penting lainnya, tempat sakral, tempat sumber pangan masyarakat, dan tempat bernilai konservasi. [Hal itu menyebabkan] hilangnya mata pencaharian masyarakat,” kata Abago.

Para pengusaha kelapa sawit juga dinilai tidak memenuhi kewajiban untuk memberdayakan dan memberikan manfaat sosial ekonomi secara merata kepada masyarakat adat. Usaha perkebunan kelapa sawit di Papua Barat dinilai telah mengeksploitasi buruh perkebunan.

Baca juga: KPK libatkan Ombudsman tertibkan izin konsesi sawit

Abago mengatakan Dinas Perkebunan Provinsi Papua Barat dan Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) Komisi Pemberantasan Korupdi (KPK) pada Februari 2021 merekomendasikan pencabutan sejumlah izin perkebunan kelapa sawit di Papua Barat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku pihak yang menerbitkan izin seharusnya memberikan klarifikasi resmi terkait penerbitan Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan kepada perusahaan yang dievaluasi Tim GNP-SDA KPK itu.

“Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka kami menolak berbagai izin pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit dan berbagai usaha pemanfaatan tanah dan dan kekayaan alam yang sedang dan akan berlangsung di tanah dan hutan adat kami. [Izin itu] melanggar hak-hak adat, hak hukum, tidak adil, merugikan dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan kelestarian lingkungan hidup,” katanya.

Abago menyatakan instansi pemerintah yang menerbitkan izin seharusnya segera mencabut dan membatalkan izin usaha perkebunan yang bermasalah itu. “Kami meminta [pemerintah] untuk membatasi dan menghentikan perusahaan agar tidak membuka hutan baru, dan tidak melakukan ekspansi lahan perkebunan,” katanya.

Baca juga: KPK: 13 perusahaan sawit di Papua Barat langgar aturan

Abago juga meminta Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan segera menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan, perlindungan dan penghormatan masyarakat adat di Sorong Selatan. Peraturan daerah itu dibutuhkan sebagai wujud tanggung jawab pemerintah daerah memenuhi dan melindungi Hak Asasi Manusia orang asli Papua. “Kami mendukung dan bersolidaritas atas berbagai upaya masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, pemuda dan mahasiswa memperjuangkan pemenuhan HAM, hak orang asli Papua, keadilan, dan kelestarian lingkungan hidup,” katanya.

Warga Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Sorong Selatan, Kristofol Konjol menyatakan masyarakat adat menolak berbagai penerbitan izin perkebunan di Sorong Selatan. “Kami tokoh masyarakat adat dari Kampung Manelek, Bariat, Nakna, dan Wamargege, Distrik Konda, Kampung Wersar, Tapiri, Ani Sesna, Distrik Teminabuan, Kampung Sayal, Distrik Saifi, Kampung Srer, Tofot, Distrik Seremuk, Kampung Ikana, Distrik Kais Darat ; Kampung Jaksiro, Distrik Moswaren di Kabupaten Sorong Selatan, bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan aktivis organisasi mahasiswa dan pemuda di Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Tambrauw, telah melakukan diskusi bersama tentang hak-hak masyarakat adat Papua dan lingkungan hidup di Papua,” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

 

Related posts

Leave a Reply