Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Kita terima kehadiran mereka [Kodim], tapi proses masuknya salah. Pemerintah tidak datang ke masyarakat [pemilik lokasi], tidak minta pendapat mereka, atau kasih [beri] tahu rencana bangun kodim. Bupati hanya bilang bangun kantor pemerintah, bukan kodim,” kata Moses Wakerkwa, pemuda asal Gome, Puncak-Ilaga, Papua.
MOSES Wakerkwa adalah pemuda asal Distrik Gome di Kabupaten Puncak-Ilaga, Provinsi Papua yang ditemui Jubi di Sentani pada Sabtu, 18 Juli 2020. Ia menjelaskan latar belakang penolakan pembangunan Kodim di atas lahan adat milik masyarakat di Kampung Yenggernok. Bupati Puncak-Ilaga, Willem Wandik, dituding menyalahgunakan kepercayaan masyarakat.
“Rencana yang kami dengar [lokasi] itu untuk bangun kantor pemerintah, jadi masyarakat setujui. Tapi, di tengah jalan, kami dengar [lokasi itu] mau dibangun kodim. Malah Bupati sudah bawa masuk alat berat hari Selasa ini [14/7/2020],” ungkap Moses.
Berikut ini adalah kronologis yang dijelaskan Moses Wakerkwa, termasuk di dalamnya adalah bagaimana suara pemilik lahan yang terkesan sengaja diabaikan.
Pagi itu, Senin, 24 Februari 2020. Halaman Gereja GKII Jemaat Bethel Yenggernok di Distrik Gome sudah dipenuhi masyarakat Puncak-Ilaga yang sedang mengikuti Retret Perkawan [Persekutuan Kaum Wanita] Gereja Kemah Injil Indonesia Daerah Gome. Hari itu, mereka sedang menantikan kunjungan Bupati Wilem Wandik dan Wakilnya, Pelinus Balinal, beserta rombongan, termasuk aparat keamanan.
Sementara, Moses Wakerkwa bersama beberapa pemuda lain sudah berada di Ilaga, ibu kota kabupaten Puncak.
“Dari sana kami ikuti rombongan pemerintah untuk ketemu masyarakat di gereja,” ujarnya.
Dalam perjalanan itu, rombongan pemerintah berhenti di satu lokasi sebelum tiba di gereja.
“Bupati bicara ke rombongan yang ikut, ada Danramil juga. Dia [Bupati] bilang ini lokasi untuk bangun kodim,” Moses mengulang pernyataan Bupati Wilem Wandik, kala itu.
Setelah beberapa saat, iring-iringan kendaraan rombongan Bupati Wandik yang turut dikawal anggota TNI bersenjata lengkap, melanjutkan perjalanannya ke gereja, lokasi dimana masyarakat Gome sudah menanti. Dalam sambutannya, Bupati Wandik menyampaikan hal-hal lain, termasuk rencana pembangunan kantor pemerintah di Distrik Gome, namun tidak dengan rencana pembangunan Kodim Ilaga.
Puncak Ilaga merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya. Kabupaten yang genap berusia 12 tahun pada 28 Juni 2020 ini, memiliki 25 distrik dengan 206 kampung. Untuk urusan keamanan, kabupaten ini masih berada di bawah pengawasan kepolisian setingkat polsek dan koramil.
“[Hal] yang buat pertanyaan, pemerintah tidak singgung ka, bicara ka, sama sekali di depan masyarakat tentang [rencana bangun] kodim. Padahal, waktu stop [berhenti dalam perjalanan ke masyarakat Gome] di tengah jalan itu, jelas bilang mau bangun Kodim,” kata Moses.
Selang beberapa hari, pertemuan lebih kecil pun dilakukan. Tepat di akhir pekan itu, Sabtu, 29 Februari 2020, Kepala Distrik Gome, Nius Tabuni, memfasilitasi pertemuan antara unsur pemerintah Puncak-Ilaga: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan [Usai Alom], Kabag Umum Setda Kabupaten Puncak Ilaga [Firom Balinal], Asisten III Danius Tabuni (saat itu), beserta staf. Dengan tokoh masyarakat termasuk pemilik hak ulayat, beberapa kepala kampung dari Distrik Gome, dan Danramil Ilaga beserta 6-7 anggota TNI bersenjata lengkap, di Kantor Distrik Gome.
Baca juga: Masyarakat tolak kehadiran Kodim di Puncak
Suara yang diabaikan
Elias Tabuni adalah salah satu pemilik atas lahan yang ditunjuk Pemerintah Puncak-Ilaga sebagai lokasi pembangunan kodim. Tabuni bersama kerabatanya sudah tiba di Kantor Distrik Gome sebelum pukul 10 pagi, waktu yang ditentukan untuk pertemuan dengan agenda mendengar pendapat semua pihak terkait rencana pembangunan kodim.
“[Pertemuan] mulai jam 10, bubar jam 12 siang,” kata Moses yang juga ikut hadir bersama 30-an orang lain, saat itu.
Menurut Moses, selama dua jam pembicaraan berlangsung, Elias Tabuni tidak sekalipun diberikan kesempatan bicara meski berulang kali meminta waktu untuk berbicara.
“Arah pembicaraan mereka [unsur pemerintah] supaya masyarakat lepas tanah itu untuk bangun kodim. Tetapi, mereka tidak kasih kesempatan buat Bapa Elias ini bicara. Padahal, dia terus minta waktu,” Elias melanjutkan, “di situ kita lihat, pemerintah abaikan suara masyarakat, tidak mau tahu pendapat pemilik tanah, dan mereka mau paksakan pembangunan secara sepihak,” timpalnya.
Sikap acuh, hingga hampir dua jam itu pun memicu protes. Sambil berdiri, suara keras bernada tinggi akhirnya terlontar dari mulut Elias Tabuni.
“Sampai di akhir, dia berontak, mau angkat kursi baru akhirnya dikasi kesempatan [bicara],” ucap Moses.
“Dia [Elias] bilang, ‘kamu [pejabat] yang bicara ini bukan kamu yang punya tempat. Itu tempat [tanah milik] saya. Honai saya berdiri di situ. Baru kenapa tidak kasih kesempatan saya bicara, padahal saya sudah minta waktu dari awal?!” Moses mengisahkan ulang peristiwa tersebut.
Pernyataan Elias Tabuni tidak mendapat respons balik dari peserta rapat. Semua membubarkan diri tanpa menghasilkan kesepakatan apapun antara pemerintah dengan masyarakat pemilik tanah. Selain Elias, kerabatnya di luar ruang pertemuan pun ikut memprotes
Sebelumnya dalam pertemuan itu, pihak TNI tidak banyak berbicara, selain dari unsur pemerintah.
“Saat kesempatan diberikan kepada Danramil, dia bilang, ‘kalau dulu, kita [TNI] mau bangun di mana saja, bisa. Tetapi sekarang sudah ada aturan. Kita [TNI] harus izin dulu sama yang punya tanah adat. Jadi, kita mau dengar langsung dari masyarakat di sini tentang rencana ini’,” ucap Moses mengulang perkataan Danramil, saat itu.
Hormati proses untuk hindari konflik
Setelah tiga bulan lebih lamanya tanpa kejelasan, pada Selasa, 14 Juli 2020, masyarakat Gome kembali dikagetkan dengan masuknya dua eksavator ke daerahnya.
“[Masuknya] alat berat itu dipimpin Bupati Willem Wandik. Masyarakat jelas kaget karena tidak ada pembicaraan lagi [sejak 29 Februari] dengan mereka baru tiba-tiba alat berat masuk untuk tujuan bangun kodim. Informasi dari atas [Ilaga], mereka [alat berat] itu sedang kerja,” kata Moses.
Moses Wakerkwa mengaku tidak anti pembangunan.
“Sama juga dengan Bapa Elias Tabuni dan masyarakat yang menolak saat ini,” jelasnya.
Moses berujar, ia bahkan menyadari bahwa pos polisi dan militer merupakan kesatuan dari berjalannya pemerintahan dan pembangunan di setiap kabupaten. Namun, sebagai pemuda daerah, Moses yang mewakili keluarga di Gome berharap pemerintah mengedepankan proses komunikasi yang transparan menyangkut pembangunan apapun, termasuk pembangunan kodim, dengan pemilik lahan.
“Kita terima kehadiran mereka [Kodim], tapi proses masuknya salah. Seharusnya, pemilik [lahan] diajak bicara. Tapi, Pemerintah tidak datang ke masyarakat [pemilik lokasi], tidak minta pendapat mereka, atau kasi [beri] tahu rencana bangun kodim. Bupati hanya bilang bangun kantor pemerintah, bukan kodim,” kata Moses.
Moses berharap pemerintah yang dipercaya masyarakat Puncak Ilaga terbuka dengan mendatangi masyarakat dan mendengar aspirasi mereka. Pasalnya, persetujuan awal mereka untuk melepas tanah adalah untuk pembangunan kantor pemerintah.
“Tempat bangun pasti ada, tapi dengarkan dulu apa maunya masyarakat Gome. Jangan sampai mereka yang terusir karena pembangunan kodim. Dasarnya, mereka siap berikan lahan. Pemerintah hanya perlu bicara dengan mereka,” harap Moses. [*]
Editor: Dewi Wulandari