Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Iliesa Tora di Nuku’alofa
Senin pagi 1 November 2021, ibu kota negara di Kepulauan Pasifik, Tonga, kota Nuku’alofa, yang biasanya sepi dipadati dengan berbagai jenis kendaraan.
Dapat terlihat banyak garis-garis antrian panjang di luar lokasi-lokasi vaksinasi, serta bank, gerai layanan remitansi Western Union dan toko-toko sementara orang-orang bergegas untuk bersiap-siap mengantisipasi pengumuman kebijakan karantina wilayah yang lebih ketat untuk pertama kalinya di negara kecil itu.
Hal ini terjadi beberapa hari setelah Kerajaan Tonga melaporkan kasus Covid-19 pertamanya.
Negara dengan populasi mencapai 100.000 orang, terletak 2.000 km sebelah timur Australia, telah berhasil melewati period pandemi hampir dua tahun terakhir ini dengan status bebas Covid-19, hal itu terjadi berkat kesigapan Tonga dalam menutup perbatasannya dari penumpang internasional.
Tetapi setelah penerbangan repatriasi dari Selandia Baru mendarat Rabu pekan lalu (29/10/2021) mengangkut bersamanya kasus Covid-19 pertama – seorang misionaris muda asal Tonga yang kembali dari Australia setelah melakukan pekerjaan misi dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir – negara Tonga pun segera bersiap menghadapi kemungkinan yang terburuk.
Kasus ini membuat orang-orang disana kaget dan panik.
Pemerintah telah mengkonfirmasikan pada hari Senin ini bahwa jumlah populasi yang memenuhi syarat dan telah menerima vaksinasi lengkap melonjak drastis, dari cakupan vaksinasi sekitar 35% sebelum kasus pertama ini dikonfirmasikan, menjadi 62% pada hari Senin karena akhir pekan yang padat vaksinasi, sementara orang-orang yang telah menerima dosis pertama tetapi tidak kembali untuk menerima tahapan kedua juga bergegas untuk mengejar vaksin Covid-19. Pada saat yang bersamaan, sekitar 88% populasi yang memenuhi persyaratan telah menerima dosis pertama mereka.
“Jelas sekali sekarang ada urgensi yang lebih tinggi untuk menerima vaksinasi,” tegas dr. Amelia Afuha’amango Tu’ipulotu, Menteri Kesehatan Tonga.
Pemerintah telah mengumumkan penerapan kebijakan karantina wilayah atau lockdown selama tujuh hari untuk mengisolasi Pulau Tongatapu, pulau utama di negara itu, dimana pembatasan yang diimplementasikan akan membatasi pertemuan publik dan mewajibkan pemilik usaha untuk merumahkan pekerjanya kecuali untuk layanan esensial, dan memastikan orang-orang tetap tinggal di rumah.
Tetapi banyak orang yang sudah merasa takut dan melakukan isolasi mandiri jauh sebelum pengumuman pemerintah.
“Saya dan suami saya memutuskan untuk langsung memvaksinasi kedua putri kami, usianya 14 dan 15 tahun, secepatnya dan tidak menunggu jadwal vaksinasi dari sekolah mereka. Kami juga memutuskan untuk segera melakukan isolasi mandiri secara sukarela,” ungkap Ofa Gutteinbeil Likiliki, yang bekerja sebagai Direktur pusat Women and Children Crisis Center (WCCC) di Nuku’alofa.
“Saya harus mempertimbangkan putra saya yang menderita asma dan saya ingin langsung mengeluarkannya dari sekolah, begitu juga dengan putri-putri saya sedang bersekolah. Saat itu hanya satu anak yang sudah menerima, saya ingin langsung menarik mereka dari sekolah masing-masing.
“Saya juga terkejut karena pemerintah mengambil waktu cukup lama untuk mengumumkan apa yang akan mereka lakukan pasca-pengumuman kasus yang pertama, terutama karena ada begitu banyak bocoran di media-media sosial… dan karena pemerintah juga tidak mengambil keputusan langsung untuk menerapkan lockdown, terutama setelah apa yang kita lihat terjadi di negara-negara lain seperti Fiji dan Selandia Baru, yang lebih dekat dengan kita.”
“Saya langsung mengambil keputusan bahwa karantina wilayah yang diumumkan oleh pemerintah mungkin akan dilakukan nanti, belakangan, namun saya dan keluarga saya langsung menerapkan isolasi mandiri sejak hari Jumat dan saya lalu mendesak orang-orang untuk juga melakukan isolasi di rumah, menggunakan masker Andakalian, dan tetap menjaga keamanan,” tutur Ramanlal Vallabh, yang merupakan presiden dari Media Association of Tonga.
“Saya khawatir karena kita punya kasus pertama Covid-19 di Tonga dan setelah melihat dan menyaksikan apa yang sudah terjadi di tempat-tempat lain seperti Fiji, Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat.”
Sementara itu, lebih dari 200 penumpang yang juga berada di dalam pesawat yang sama dengan penumpang terinfeksi tadi, serta semua staf bandara yang bekerja ketika pesawat mendarat, dan staf kesehatan, sedang ditampung di fasilitas karantina yang dikelola oleh pemerintah.
“Ketika kami mendapatkan konfirmasinya, kami langsung mengambil tindak tegas dan melakukan semua hal yang perlu kami lakukan. Pasien positif langsung diisolasi dan penumpang lainnya juga terus dipantau dengan ketat,” tekan Menteri Kesehatan Tu’ipulotu.
“Saya baru saja berbicara dengan dokter kami, tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, dan pasien kasus Covid-19 pertama kami. Mereka sangat berani, peduli, rendah hati, dan sopan. Mereka melakukan upaya yang terbaik untuk kasus pertama kami dan semua penumpang,” tambah Tu’ipulotu.
“Saya juga sempat berbincang-bincang langsung dengan kasus pertama kami dan menyampaikan dukungan dan kepedulian kami kepadanya dan keluarganya.”
Mengumumkan kasus itu pada Jumat lalu, Perdana Menteri Pdt. Dr. Pohiva Tu’i’onetoa menenangkan masyarakat: “Kami meminta masyarakat untuk tidak panik atau takut, tetapi untuk berdiri bersama-sama dan mendukung kami dalam melaksanakan tugas yang telah diberikan kepada kami. Kami berjanji untuk melakukan yang terbaik dan terus membagikan informasi yang benar dan akurat mengenai upaya penanggulangan kami.”
Sang Perdana menteri juga meminta masyarakat untuk tidak menyebarkan informasi yang salah, informasi “yang tidak benar dan menyesatkan, karena ini akan mempengaruhi kepercayaan dan dukungan publik terhadap pemerintah yang sangat diperlukan dalam pekerjaan penting ini”. (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo