Pangan lokal  Papua, nasibmu kini

Warga mengolah sagu menjadi bahan pangan, di Sentani, Kabupaten Jayapura - Jubi/Engelbert Wally.
Warga mengolah sagu menjadi bahan pangan, di Sentani, Kabupaten Jayapura – Jubi/Engelbert Wally.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Pandemik virus korona membuat aktivitas warga terbatas, dan belum ada titik terang kapan berakhir. Kota Wuhan, ibukota Provinsi Hubei pada Selasa, 24 Maret 2020 mulai membuka isolasi kotanya secara terbatas. Namun isolasi kota itu baru benar-benar berakhir pada 8 April 2020, bersamaan dengan melambatnya penyebaran virus di negara Tiongkok, sebagaimana dilansir tempo.co

Read More

Memang daratan Tingkok berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Penyebaran virus pun jelas antara manusia yang bepergian dengan pesawat terbang maupun kapal laut. Berbeda kalau di Pulau Jawa, pergerakan orang menggunakan bus kota, kereta, api dan penerbangan pesawat.

Lalu sampai kapan pandemic virus korona berakhir? Bagaimana pola konsumsi warga Papua selama ini dari pangan lokal ke beras dan kebutuhan lainya yang diproduksi di luar tanah Papua?

Mengutip arsip.jubi.id, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua Bidang Ekonomi, Mustakim, mengimbau pemerintah daerah agar mendorong peningkatan komoditas pangan lokal di tengah pendemi virus corona. Permintaan anggota DPR Papua itu muncul gara-gara pandemi korona mempengaruhi pasokan bahan pangan, yang 70 persen diantaranya didatangkan dari luar Papua.

Kalau mau dikaji lebih mendalam, upaya untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal di Papua sebenarnya sudah dicanangkan Pemerintah Provinsi Papua sejak dulu. Pembangunan pabrik pengolahan petatas misalnya, sudah diagendakan sekitar 2009 di Kabupaten Keerom.

Pabrik pengolahan petatas tersebut akan memproduksi beberapa jenis panganan, seperti biskuit serta mie, dan akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal Papua. Bahkan, mesin pengelolaan pabrik sudah ada dan disimpan di gudang milik Pemerintah Provinsi Papua.

Mantan Ketua Bappeda Provinsi Papua Muhammad Musa’ad pernah mengatakan lahan dan alat untuk membangun pabrik tersebut sebenarnya sudah lama tersedia. Belum diketahui mengapa hingga kini belum dijalankan. Padahal potensi tanaman pangan lokal di Papua cukup tersedia mulai dari petatas (Hipere), keladi, talas, sagu dan singkong semua cukup tersedia.

Mengutip arsip.jubi.id Mustakim tidak ingin pembangunan pabrik tepung petatas atau ubi jalar di Arso IV, Kabupaten Keerom terhenti atau mangkrak. Ia mengatakan, pembangunan awal pabrik di atas lahan seluas 10 hektar itu telah menghabiskan anggaran sekitar Rp 5 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua 2017.

Anggaran senilai itu digunakan membangun beberapa sarana pendukung pabrik, di antaranya barak karyawan dan dudukan mesin pengolahan petatas. Namun, dana pembangunan pabrik itu tidak dianggarkan lagi pada 2018 dan 2019, sehingga pembangunannya terhenti hingga kini. Pembangunan pabrik tepung petatas di Keerom mesti diselesaikan karena sejak 2008 lalu, Kementerian Perindustrian telah memberikan bantuan mesin pengolaan petatas.

Provinsi Papua sebenarnya memiliki keragaman sumber daya hayati  cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua  sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, sagu, gembili, dan jawawut atau pokem (gandum lokal Papua).

Masyarakat pegunungan tengah umumnya mengonsumsi ubi jalar atau hipere sedangkan masyarakat pesisir dataran rendah, talas, dan gembili di Selatan Papua. Masyarakat di pesisir pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok.

Namun di tengah melimpahnya pangan lokal ternyata masyarakat di Tanah Papua kini mengalami proses perubahan termasuk dalam makanan pokoknya yang semula sagu, umbi-umbian perlahan-lahan tergantikan oleh beras yang notabene bukan makanan asli orang Papua. Memang indikator ekonomi biasanya menjadi alasan utama beralih dari mengonsumsi umbi-umbian kepada beras dan sejenisnya.

Data BPS Provinsi Papua 2010 menyebutkan Konsumsi beras di Provinsi Papua Barat dan Papua rata-rata mencapai 132.000 ton per tahun. Dari besaran itu, sekitar 74 persen merupakan beras yang didatangkan dari luar daerah atau luar negeri.

Sedangkan kemampuan pasokan beras petani lokal masih sangat kecil, yakni hanya 26 persen per tahun. Itu pun umumnya dihasilkan oleh para petani pendatang. Mereka sebagian besar warga transmigran di Kabupaten Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Nabire, dan Merauke.(Kompas, Beras Mengalir, Sagu dan Ubi Tersingkir, Kompas 25 Juni 2015).

Perubahan pola konsumsi rumah tangga di kampung-kampung sebelumnya konsumsi  pangan lokal beralih mengkonsumsi beras. Hal ini berdampak pula di perkotaan di mana ketergangtungan terhadap beras lebih tinggi daripada umbi-umbian. Apalagi harga per tumpuk talas, keladi dan singkong lebih mahal dari sekilo beras. Akibatnya, makanan lokal menjadi makanan elite kalau dalam pesta, karena gengsi dan pura-pura kembali mencintai makanan lokal.

Kecenderungan mengosumsi beras juga sudah mulai terasa di wilayah pegunungan tengah Papua. Angka ketergantungan kalori terhadap beras sangat tinggi, yakni sudah mencapai 80-90 persen.

Artinya, ketahanan pangan di Papua sangat mengkhawatirkan di masa mendatang, karena konsumsi beras di tingkat rumah tangga bertambah besar. Di sisi lain, konsumsi pangan lokal cenderung menurun (Kiloner Wenda, 2012).

Mengutip arsip.jubi.id kehadiran beras miskin (raskin) atau kini “berganti kulit” dengan sebutan beras sejahtera (rastra), membuat masyarakat semakin melupakan panganan lokal. Efeknya dahsyat. Tidak hanya mereka di kota, masyarakat di kampung kini enggan menanam dan mengkonsumsi betatas, keladi dan sagu.

Raskin hadir bak candu, menyebabkan ketergantungan masyarakat, menyingkirkan panganan lokal. Meramu, berburu, dan berkebun yang menjadi tradisi hidup masyarakat asli Papua selama ini, perlahan ditinggalkan.

“Raskin ini membuat masyarakat malas lagi berkebun, menokok sagu, dan lainnya. Pola hidup masyarakat di kampung mulai mengalami pergeseran,” kata Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John Nasion Robby Gobai, sebagaimana dilansir arsip.jubi.id

Program ini termasuk salah satu dampak program pemerintah yang berprioritas komoditas beras pada 2012 hingga saat ini. Perubahan itu mengakibatkan menurunnya produksi pangan lokal. Adanya kebijakan ini membuat tujuan penganekaragaman tidak terjadi, karena pembagian beras untuk masyarakat miskin (raskin). Perubahan ini justru berdampak pada pola konsumsi rumah tangga dari makanan pangan lokal sagu dan ubi kepada beras.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply