Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Denise Fisher
Empat bulan sebelum jadwal referendum berikutnya untuk menentukan nasib politik Kaledonia Baru, seorang pemimpin pro-kemerdekaan Kanak telah mengecam pendekatan Prancis dalam menangani pandemi Covid-19 di wilayah itu sebagai ‘kolonialis’ dan ‘partisan’, dan mendesak agar perwakilan politik dan militer senior Prancis angkat kaki. Koalisi pro-merdeka, FLNKS atau National Kanak Socialist Liberation Front, telah berupaya menunda pemungutan suara dalam rangka referendum kedua itu, dari 6 September ke awal November.
Referendum September ini adalah bagian dari tahap akhir dari Perjanjian Nouméa 1998. Pemungutan suara ini dilakukan mengikuti referendum pertama tentang kemerdekaan Kalendonia Baru pada November 2018 lalu, dimana 57% suara memilih untuk ‘tidak’ merdeka. Di bawah ketentuan perjanjian itu, ada tiga referendum yang bisa diadakan, selama jawabannya atas pertanyaan mengenai kemerdekaan Kaledonia Baru masih ‘tidak’.
Dalam menanggapi pandemi Covid-19, Prancis memberlakukan karantina nasional pada pertengahan Maret untuk melawan penyebaran virus corona dan memperbarui legislasi untuk melonggarkan peraturan mengenai isolasi pada 12 Mei. Tidak seperti kota metropolitan Prancis, dimana angka kematian yang tingginya telah melebihi 28.000 jiwa, sejauh ini di Kaledonia Baru hanya ada 18 kasus yang dilaporkan, tanpa satupun kematian. Namun Kaledonia Baru menerapkan langkah-langkah pembatasan yang lebih ketat daripada di Prancis untuk pendatang baru di perbatasannya, ia mewajibkan isolasi selama 21 hari.
Pada 18 Mei, Presiden parpol Union Calédonienne (UC) yang pro-merdeka dan juru bicara FLNKS, Daniel Goa, menulis surat terbuka kepada semua orang Kaledonia Baru yang menyatakan bahwa pendekatan Prancis dalam penanganan pandemi Covid-19 di Kaledonia Baru itu bertentangan dengan Perjanjian Nouméa dan sengaja dirancang untuk mendukung kubu loyalis yang pro-Prancis menjelang referendum September ini.
Lebih khusus, Goa mengklaim bahwa langkah Prancis, yang menerapkan kebijakan nasional di Kaledonia Baru, itu tidak konsisten dengan UU Organik 1999 yang mengatur penerapan Perjanjian Nouméa. UU ini telah memberikan Kaledonia Baru wewenang atas urusan ‘perlindungan sosial, kesehatan dan kebersihan masyarakat, sanitasi dalam perbatasannya’ (Pasal 4). Dalam suratnya, ia menulis daftar sejumlah, dan emotif, contohnya baru-baru ini, dimana Pemerintah Prancis mengingkari janjinya kepada orang Kaledonia Baru yang tertulis dalam UU Organik tahun 1999. Ia berkata penerapan kebijakan tanggap virus Corona Prancis di Kaledonia Baru itu tidak sesuai, mengingat ada perbedaan yang besar antara Kaledonia Baru yang relatif bebas Covid-19, dengan Prancis, ia juga mengkritik penerbangan yang terus mendarat dari daerah Prancis yang lainnya, yang membawa masuk warga negara Prancis.
Goa menuduh pemerintah Prancis atas berbagai pengecualian dalam penerapan kebijakan isolasi lokal oleh pejabat-pejabat seniornya di Kaledonia Baru. Dia menyinggung kasus-kasus dimana Komisaris Tinggi Laurent Prévost sendiri, Sekretaris Jenderal-nya, dan personel militer yang diduga tidak menaati peraturan isolasi yang ditetapkan oleh pemerintah lokal. Dia mengatakan pengecualian seperti ini akan mengancam nyawa orang-orang Kaledonia Baru, menekankan bahwa 80% nyawa orang Kanak telah direnggut oleh penyakit asing di masa lalu yang ‘kuasi-genosida’. Dia juga menuliskan bahwa kebijakan itu melemahkan strategi perekonomian lokal, termasuk upaya untuk bekerja dengan negara-negara kepulauan regional lainnya yang bebas Covid-19 untuk membangkitkan kembali industri pariwisata.
Dia menuduh Prancis berkolusi dengan partai-partai loyalis, dan Prévost sengaja memasukkan kelompok loyalis dalam tim krisisnya. Goa mempertanyakan tujuan Prancis dalam memberikan bantuan keuangan selama pandemi Covid-19, menyebutnya sebagai suatu pengaturan yang tidak tulus karena dana bantuan tersebut akan dibayar kembali oleh pembayar pajak Kaledonia Baru. Dia menyebut pemerintah Prancis ‘penjajah kita’ yang secara sepihak berkuasa atas Kaledonia Baru pada 1841 dan 1853.
Goa juga berkata partainya tidak akan lagi berpartisipasi dalam dialog politik dengan mitra yang ‘partisan dan tidak loyal’, dan mengusulkan strategi baru untuk hubungan antara ‘jajahan’ dan ‘penjajah’. Dia mendesak agar Komisaris Tinggi Prévost dan timnya, Jenderal pasukan Prancis dan personelnya untuk meninggalkan Kaledonia Baru; agar penerbangan yang datang dari daerah metropolitan dan wilayah Prancis lainnya ditangguhkan; dan kebijakan Covid-19 Prancis agar tidak diterapkan di Kaledonia Baru. Jika tidak ada perubahan, UC akan meminta masyarakat untuk melindungi populasi, dan akan mengambil alih tanggung jawab untuk tindakan melindungi masyarakat.
Menanggapi surat tersebut itu, Prévost juga mengeluarkan surat terbuka yang menegaskan kembali bahwa tujuan kebijakan Prancis adalah untuk melindungi semua orang Kaledonia baru, sambil tetap menghormati Perjanjian Nouméa. Dia lalu menuduh Goa ingin melemahkan kesatuan masyarakat dan institusi Kaledonia baru yang sangat penting dalam memastikan penanganan krisis Covid-19 bisa berjalan dengan baik. Dia memperbarui komitmennya terhadap kebijakan setempat untuk isolasi selama 21 hari, dan membantah tuduhan Goa tentang dirinya, sekretaris jenderal, dan anggota militernya. Dia menerangkan bahwa ia telah melibatkan semua presiden provinsi (dari sisi pro-merdeka dan loyalis), Senat Adat (Kanak), dan institusi-institusi lokal lainnya dalam penanganan krisis ini.
Pemimpin-pemimpin loyalis juga menanggapi dengan tegas, menyebut tindakan gerakan pro-merdeka sebagai pemolitikan dari situasi pandemi Covid-19 yang dirancang untuk mendorong Prancis ke sisi mereka, dan kembali menegaskan posisi loyalis ingin jadwal referendum September dipertahankan.
Perdana Menteri Prancis, Édouard Philippe, mengambil posisi moderat. Di Majelis Nasional Prancis pada 19 Mei, menjawab pertanyaan dari anggota-anggota parlemen (MP) Kaledonia Baru, Philippe mengakui bahwa keputusan Prancis tertanggal 12 Mei telah mempersulit kebijakan lokal isolasi 21 hari, tetapi itu tidak sepenuhnya membatasi kebijakan lokal. Dia juga mengisyaratkan kemungkinan untuk merevisi UU itu ketika itu masih dibahas oleh Senat.
Pernyataan kedua sisi memperdalam perpecahan pada saat yang sensitif menjelang proses referendum yang genting ini. Tanda-tanda ketidakpuasan kubu pro-merdeka yang kuat, tersirat dalam kata-kata emosional mengenai masa lalu pra-Perjanjian Nouméa, mengisyaratkan non-partisipasi dalam proses Perjanjian Nouméa dan mendesak perspektif regional, mengingatkan Prancis akan tantangan untuk menjaga ketakberpihakan sementara ia mengatur referendum kedua Kaledonia Baru. (The Interpreter oleh Lowy Institute)
Denise Fisher adalah penulis buku France in the South Pacific: Power and Politics (2013)
Editor: Kristianto Galuwo