Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah meluncurkan program Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka yang masih berstatus kurikulum prototipe atau contoh itu akan memberikan kemerdekaan kepada siswa dan sekolah.
Pada jenjang SMA tidak ada lagi penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Siswa bebas memilih mata pelajaran yang disukainya. Kendati demikian, Kurikulum Merdeka diterapkan secara bertahap kepada sekolah yang siap. Artinya, sekolah tidak dipaksakan untuk menerapkannya.
Guru Biologi SMA Negeri 3 Jayapura, Papua Suprapto, M.Si sepakat dengan kurikulum baru tersebut. Alasannya, karena merupakan kebijakan pemerintah. “Sebab pada dasarnya pemerintah pasti sudah memikirkan yang terbaik,” ujarnya.
Menurut Suprapto kurikulum prototipe tersebut adalah lanjutan dari kurikulum sekolah penggerak yang diberlakukan sebelumnya, karena konteks isinya sama.
“Kurikulum prototipe ini embrionya dicobakan dulu di sekolah penggerak. Sekolah yang terpilih sebagai pioner untuk melaksanakan kurikulum adalah sekolah penggerak,” ujarnya.
BACA JUGA: Konflik membuat kegiatan belajar mengajar SMA Negeri 1 Beoga dipindah ke Timika
Kurikulum prototipe, jelas Suprapto, lebih kurang sama dengan kurikulum sekolah penggerak yang diterapkan di sekolah penggerak. Di mana pada kelas 10 mata pelajaran Kimia, Fisika, dan Biologi tidak lagi masing-masing satu mata pelajaran berdiri sendri, namun dilebur menjadi mata pelajaran IPA.
Normalnya siswa dapat memilih jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Bahkan dari kelas 10 siswa diseleksi berdasarkan nilai rapor, tes psikologi, dan lainnya.
“Di sekolah-sekolah penggerak itu di kelas 10 sudah tidak ada lagi mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi ,tapi sudah menjadi satu kesatuan IPA. Begitu juga rumpun IPS, yakni Sejarah tidak berdiri sendiri, Geografi berdiri sendiri, dan Ekonomi berdiri sendiri. Layaknya seperti masih di SMP,” katanya.
Suprapto mengatakan, nanti di kelas XI baru difasilitasi untuk anak-anak yang mempunyai minat tersendiri akan dipisahkan. Siswa bisa memilih minat mata pelajaran tertentu yang mengacu pada profesi apa yang diambil.
Contohnya, salah seorang anak ingin mengambil jurusan kedokteran dan yang satu lagi ingin menjadi insinyur. “Di kelas XI dua anak ini mungkin di mata pelajaran tertentu sama, tetapi pada saat peminatan akan berbeda,” ujarnya.
Dampak positif kepada anak dengan kurikulum seperti ini, kata Suprapto adalah minat siswa akan lebih fokus. Siswa akan belajar lebih banyak tentang mata pelajaran yang diminatinya sesuai dengan profesi apa yang akan diambilnya nanti di Perguruan Tinggi.
“Siswa lebih enaklah, sebab jurusannya akan difasilitasi sesuai minatnya,” katanya.
Sedangkan untuk guru, kata Suprapto, akan berhadapan dengan pengaturan jadwal, karena sebagian anak mata pelajaran yang diambilnya pasti akan sama.
Ia mencontohkan di kelas XI ada 30 siswa. Jika dibagi rata 10 anak mengambil IPA, 10 mengambil IPS, dan 10 mengambil Bahasa, maka satu hari atau dua hari dalam seminggu akan diatur jadwalnya, khusus anak-anak yang kelompok peminatannya sama.
Selain itu dampak lain bagi guru adalah kurangnya beban jam pelajaran. Artinya akan berdampak pada pembayaran tunjangan sertifikasi guru. Sementara sertifikasi guru harus memenuhi 24 jam mengajar untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi.
“Ada kekhawatiran guru tidak akan mendapatkan jam yang cukup sehingga tunjangan nggak dibayarkan. Itu kekhawatiran seorang guru,” ujarnya.
Karena akan ada guru yang akan mengajar banyak dan ada yang mengajar sedikit. Misalnya kelas XI ada enam kelas, bisa saja tiga kelas ingin mengambil IPS dan dua kelas mengambil IPA dan satu kelas mengambil bahasa. Ketika peminatnya banyak gurunya banyak jam, tapi bagi yang peminatnya sedikit banyak gurunya yang akan tidak mengajar.
Akan tetapi, menurut Suprapto, jika Kurikulum Merdeka menjadi bagus saat diterapkan yang perlu disiapkan adalah guru harus siap kapan saja menerima hal baru. Karena tidak semua guru siap menerima hal baru.
Suprapto mengatakan hal yang perlu diperhatikan pemerintah ketika menerapkan kurikulum prototipe ini adalah harus menyiapkan sumber belajar. Pemerintah juga harus bijak meregulasi tentang jam mengajar guru, karena ditakutkan akan banyak guru yang jam mengajar banyak dan ada banyak guru yang tidak mengajar.
“Hal ini sekalian menjawab kekhawatiran guru soal sertifikasi. Selain itu pemerintah harus bijak membuat regulasi jam mengajar guru,” katanya.
Guru Bahasa Indonesia SMA YPPK Taruna Dharma Jayapura, Papua Juliana S.Pd mengatakan kurikulum prototipe atau kurikulum merdeka tentu bagus. Namun yang perlu diantisipasi adalah akan ada mata pelajaran yang tidak akan diminati siswa.
Ia mencontohkan jika siswa ingin menjadi dokter maka mata pelajaran yang diutamakan adalah Biologi, Fisika, dan Matematika. Akan ada mata pelajaran yang otomatis jamnya berkurang, misalnya PKN dan Agama.
Padahal mata pelajaran PKN dan Agama merupakan mata pelajaran karakter. Jadi untuk membina karakter siswa otomatis akan lebih berkurang. Jadi memang pengetahuan akan bertambah, namun pembinaan karakter akan berkurang.
Menurutnya sekolah harus memikirkan solusi, di antaranya pembinaan karakter akan lebih ditingkatkan pada kegiatan-kegiatan di OSIS.
Juliana mengatakan perlu adanya evaluasi secara berkala jika nantinya kurikulum prototipe atau Kurikulum Merdeka diterapkan di SMA. “Mau tidak mau kita (sekolah) harus siap dengan kurikulum baru ini,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi