Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 1 Beoga, Kabupaten Puncak, Papua lumpuh sejak perang suku dan eskalasi konflik bersenjata pada pertengahan tahun 2021 lalu. Karena sebagian murid mereka mengungsi ke Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, para guru akhirnya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di Timika.
Hal itu disampaikan salah satu guru SMA Negeri 1 Beoga, Evanggelis Penehas Wandagau. Menurutnya, perang suku dan eskalasi konflik bersenjata di Beoga bukan hanya melumpuhkan kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 1 Beoga, namun juga sekolah yang lain.
“Jadi, [kegiatan belajar mengajar] SD, SMP, maupun SMA di Beoga lumpuh semenjak konflik. Proses belajar mengajar, khususnya untuk SMA Negeri 1 Beoga, dilangsungkan di Kabupaten Mimika,” kata Wandagau saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Selasa (15/3/2022).
Baca juga: Solidaritas Pro Demokrasi & Mahasiswa Puncak Se-Jawa & Bali datangi KPAI dan Komnas HAM RI
Menurutnya, pemindahan kegiatan belajar mengajar SMA Negeri 1 Beoga dari Beoga ke Timika sudah terjadi sejak Juni 2021. “Perang suku [terjadi] bulan 6 tahun 2021, [sejak saat itu] kami sudah pindahkan aktivitas belajar mengjaar di Timika. Sudah berjalan, dan anak-anak didik kami sedang bersiap mengikuti Ujian Nasional di tempat pengungsian, di Kabupaten Mimika,” katanya.
Wandagau mengatakan kegiatan belajar mengajar di Timika itu diikuti 4 siswa kelas 12. “Semantara untuk jumlah siswa dari kelas 10 – 12, [totalnya] berjumlah 40 orang yang kami ajar,” katanya.
Wandagau menjelaskan pada pertengahan tahun 2021 terjadi perang suku atau pertikaian antar warga di Beoga. Setelah itu, terjadi eskalasi konflik bersenjata antara pasukan TNI/Polri dan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
“Jadi anak-anak SD, SMP, dan SMA [di Beoga] sebagian sudah keluar dari Kota Beoga. Ada yang melanjutkan studi di Nabire, Timika, atau Jayapura. Sebagian ada yang tinggal di kampung halaman, dan mereka tidak bisa bersekolah. Mereka masih menunggu guru yang mengungsi ke kota untuk kembali mengajar mereka,” katanya.
Menurut Wandagau, hingga kini belum ada petunjuk ataupun langkah dari Dinas Pendidikan Puncak untuk membuka sekolah di Beoga, dan menghimpun kembali anak-anak sekolah untuk kembali bersekolah. “Siswa SD, SMP, dan SMA merasa jenuh, dan [banyak yang] sudah tinggalkan Beoga,”katanya.
Wandagau menyatakan tidak mudah memulihkan kegiatan belajar mengajar semua jenjang pendidikan di Beoga. Ia mencontohkan, gedung SD di Beoga terlanjur rusat karena kosong.
“Sekolah yang rusak itu sempat saya tambal papan di bagian dinding sekolah yang rusak. Masyarakat bikin rusak, masuk [dan] tidur di bangunan sekolah, sehingga saya mengambil langkah demikian,” katanya.
Wandagau berharap Dinas Pendidikan Kabupaten Puncak segera mengambi langkah untuk merespon terhentinya kegiatan belajar mengajar semua jenjang sekolah di Beoga. “Proses pemulihan dari pihak pemerintah terhadap anak-anak juga tidak ada,” katanya.
Baca juga: Mahasiswa asal Papua di Bali minta Bupati Puncak berhenti urus pemekaran
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Puncak, Lukius Nawegalen mendesak Pemerintah Kabupaten Puncak menangani dan memulangkan para warga sipil yang mengungsi. Nawegalen juga meminta Pemerintah Kabupaten Puncak berkomunikasi dengan TNI/Polri untuk membahas upaya pemulangan warga yang mengungsi.
Lukius Nawegalen menyatakan Bupati Puncak, Willem Wandik harus membuat langkah konkret untuk menangani warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Puncak, Papua.
“Bupati Puncak, Willem Wandik harus mencari cara memulangkan pengungsi. Misalnya, memulai komunikasi dengan aparat untuk kembali ke kota, dan memulangkan warga ke kampung halaman mereka,” kata Nawegalen. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G