Papua No. 1 News Portal | Jubi
Dogiyai, Jubi – Otonomi Khusus (otsus) bagi orang Papua dikatakan tidak berlaku, gagal, dan telah mati. Sementara dari pemerintah pusat mengatakan Otsus Papua berhasil. Rakyat Papua melihatnya dari realitas, sedangkan pemerintah fokus dari sisi politik dan idealitas.
Hal itu ditegaskan petugas Pastoral Keuskupan Timika, Diakon Marius Goo. Dia mengatakan bahwa rakyat mengatakan otsus telah gagal total lantaran masih menjamurnya kesenjangan sosial antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya di seluruh Indonesia. Pembangunan tidak adil dan tidak merata.
“Rakyat Papua menjadi korban atas nama pembangunan karena pembangunan terlaksana hanya sebatas kata-kata, tulisan, dan bukan praktek. Realitas amat berbeda dari tulisan dan omongan pemerintah pusat. Bukti-bukti telah disampaikan oleh 57 Pastor Pribumi Papua dan Bapak Natalius Pigai yang (pernah) bergulat dalam Komnas HAM RI. Jadi terkait pelaksanaan otsus, kami orang asli Papua melihat dari realitas otsus, sementara pemerintah pusat fokus dari politik dan idealitas. Ya di sini berbeda,” ungkap Marius Goo kepada Jubi di Dogiyai, Senin (17/8/2020).
Alumnus STFT Fajar Timur Abepura, Kota Jayapura ini, mengatakan dalam tampuk penyelenggaraan pemerintahan di Papua, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dikuasai oleh orang-orang non Papua.
“Penerimaan PNS, bukan 80:20, melainkan hampir 50:50. Terlihat orang asli Papua disingkirkan secara tersistematis dan sedang menjadi penonton di tanahnya sendiri,” ucapnya.
Atas dasar itu, ia katakana, makin meningkatkan nasionalisme di kalangan rakyat Papua.
“Rakyat Papua merasa ditipu dan memilih jalan merdeka. Bahkan otsus diambilnya sebagai jalan tempuh memasuki gerbang kemerdekaan,” katanya.
Baca juga: Aksi penolakan indikasikan kegagalan Otsus Papua
Pastor Albertho John Bunai, penanggungjawab 57 imam pribumi Papua saat menggelar konferensi pers di Jayapura, 21 Juli 2020, menegaskan bagi orang asli Papua, otsus adalah masakan dari 20 tahun lalu dan telah basi.
“Jadi jika masih dilanjutkan dan diberi makan ke rakyat, maka itu adalah racun,” ujarnya tegas.
Ia mengungkapkan dibangunnya rumah sakit yang mewah di era otsus, lebih dari itu pelayanan kesehatan harusnya menyelamatkan nyawa OAP. Namun kenyataanya banyak orang asli Papua (OAP) yang sakit ringan, namun pulang dalam keadaan meninggal dunia.
“Orang asli Papua mesti menjadi pelaku pasar. Nyatanya, dana otsus yang mestinya digunakan untuk memberdayakan masyarakat lokal seperti mama-mama Papua dan usaha kecil OAP, tetapi digunakan untuk pembangunan fisik, bukan membangun manusia. Dana otsus menjadi rebutan antara pemerintah daerah dan militer, sehingga masyarakat dikorbankan, dikriminalisasi, diseparatiskan, dan akhirnya dikorbankan dengan percuma,” ungkapnya. (*)
Editor: Dewi Wulandari