Otsus dalam genggaman elite

Ilustrasi, demo Otsus Papua gagal – Jubi/Dok
Ilustrasi, demo Otsus Papua gagal – Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM

Read More

Berbagai masalah seputar proyek demokrasi dan kesejahteraan publik diera otonomi khusus (otsus) jelas tak semata berakar pada desain institusional desentralisasi tetapi paradigmatik dan politik. Pernyataan gagalnya desentralisasi untuk menghadirkan kesejahteraan dan pelayanan publik yang lebih baik di banyak daerah (termasuk Papua) hingga hari ini, misalnya, adalah pembacaan hasil ekonomi politik yang mendasar.

Belasan tahun kita sibuk dengan desain kebijakan yang bersifat institusional, dari mana lalu mengalir deras berbagai proyek atas nama kesejahteraan dalam kerangka kelembagaan baru demokrasi, sementara pada pihak lain kita lalai dalam memeriksa struktur relasi kekuasaan yang timpang dan masi dikuasai oleh segelintir elite.

Sebenarnya, majunya demokrasi, meningkatkan kesejahteraan sosio-ekonomi, serta membaiknya layanan dasar bukan semata ditentukan oleh regulasi atau institusi tetapi pula sebagai hasil dari power relation. Penguasaan otoritas formal dalam suatu jabatan publik yang didukung  oleh beberapa orang yang berkuasa dari kelompok tertentu berarti penguasaan instrumen negara.

Arah kebijakan dan alokasi sumber daya APBD berupa proyek, bantuan sosial hingga perizinan investasi di sektor pertambangan jelas amat sarat predatory-interest (Harris Jhon dkk, Politisasi Demokrasi, Jakarta: Demos 2004). Sementara publik hanya menunggu  tetesan sisa.

Suara Gereja, LSM, dan akademia memang dibiarkan muncul, namun efek tandingnya tidak sebanding, bahkan kerap pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang telah ada, melalui berbagai modus peredaman dari yang bersifat kecil hingga kepada koersif.

Sembilan belas tahun berotonomi khusus, desain kebijakan publik di level  nasional maupun lokal gagal menyadari satu karakter khas desentralisasi  yang lahir pada konteks formasi. Tidak tuntasnya perubahan struktur ekonomi-politik, termasuk relasi kuasa dan para aktor lama di dalamnya.

Cerdiknya, kelompok yang umumnya datang dari masa lalu ini tak menolak berbagai perubahan kelembagaan demokrasi lantara mereka mengerti betul, karakter kekuasaan yang dicangkok dalam kelembagaan itu masih mewarisi nilai dan struktur hubungan lama. Ahli-ahli beradaptasi dengan pranata baru demokrasi, mereka berhasil memanipulasinya sebagai jalan baru konsolidasi kekuasaan membajak arah demokrasi, mengambil aset sumber daya publik (Center for strategic and International Studies, Kemampuan Politik Lokal untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: 2001).

Situasi struktural inilah yang melatari sulitnya pilkada langsung. Yang terjadi adalah kalangan elite politik dan birokrasi justru bersekutu dengan oligarki bisnis. Pada tahapan ini, kita semua perlu melihat otonomi ini dalam perspektif relasi kuasa antar pemangku peran dalam entitas lokal, sehingga advokasi yang dilakukan mesti pula melibatkan upaya intervensi  bahkan pelibatan diri dalam ruang permainan yang ada sebagai tanda tumbuhnya keberdayaan politik warga.

Sejak otonomi khusus mulai diterapkan kurang lebih satu dekade lalu, dasar hukum pokok peraturan pemerintah daerah diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843).

UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan otonomi khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia (Wikipedia, Sejarah Otonomi Khusus Papua). Selalu menempatkan demokrasi sebagai salah satu jalan menuju masyarakat sejahtera.  Gagasan dalam undang-undang itu bermakna jelas.

Demokrasi pada dirinya mengandung nilai-nilai instrumental, di dalamnya nilai-nilai mendasar kesejahteraan sebagai puncak akhir. Rumusan normatif ini kiranya telah mencerminkan perkembangan  gagasan pemerintah lokal yang modern.

Namun, kenyataan di lapangan saat ini, setelah belasan tahun kita berotonomi, ketika fase transisi semestinya bergeser ke konsolidasi desentralisasi, gerak maju (pencapaian) desentralisasi serasa macet di  tataran instrumentalis, yang tentu lebih dijelajahi oleh agenda elite ketimbang agenda publik yang menjadi tujuan puncak. Bahkan dalam instrumen demokrasi itu, kita tak sekunjungnya beres meletakkan dasar kelembagaan demokrasi yang kokoh dan sistematis, bagi keberlangsungan proses publik lokal yang demokratis dan memberi sumbangan nyata kesejahteraan publik.

Desentralisasi yang hanya menghasilkan demokrasi terjebak dalam kesejahteraan yang menjauh semacam itu jelas makin menyulitkan ikhtiar membuka akses keadilan bagi segenap warga negara yang selama ini berada di garis tepi pembangunan.

Padahal, negara lewat perangkat pemerintahnya tidak hanya berperan sebagai institusi alternatif tatkala warga negara belum mampu menyantuni dirinya atau hanya menjadi substansi ketika pasar terbukti gagal bekerja, melainkan dalam dirinya menjadi pihak yang bertanggung jawab guna mengurai segala litani masalah dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warga sebagai ungkapan politik dari makna yang mendasar dari keadilan itu sendiri. Singkatnya bukti kesejahteraan dalam suatu kehidupan bermasyarakat adalah fungsi dari tanda hadirnya negara. (*)

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply