Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Alexander Gobai
Otonomi khusus (otsus) di Tanah Papua telah menjadi isu hangat di tingkat nasional bahkan dunia internasional, tidak terkecuali para pencari keadilan politik di Tanah Papua. Semangat (pelaksanaan) otsus selama 20 tahun di Tanah Papua mengungkapkan berbagai perspektif tentang keberhasilannya.
Secara sederhana, otsus membicarakan tentang (pelaksanaannya sesuai) undang-undang (Nomor 21/2001). Bahwa sesungguhnya UU itu membicarakan tentang berbagai persoalan di Tanah Papua dari semua sektor, termasuk hak politik orang asli Papua.
Namun, dengan berjalannya waktu muncul pandangan dari berbagai elemen bahwa undang-undang ini juga membicarakan (mengatur) tentang dana.
Secara logika, ada UU Otsus, maka dana otsus ada. Belakangan berbagai lembaga pemerintahan dan tokoh-tokoh Papua membicarakan tentang otsus, bahwa dana otsus akan berakhir 2021. Sedangkan undang-undang otsus tidak akan berakhir, sebab tidak ada pasal yang membicarakan berakhirnya undang-undang otsus.
Jika melihat dinamika di Tanah Papua belakangan ini, ada tiga bentuk komponen yang sedang berupaya dan bekerja keras mendorong otsus, baik dorongan dalam bentuk penolakan, maupun dengar pendapat dan melanjutkan otsus.
Versi pertama
Dilansir dari Kilaspapua.com 4 Agustus 2020, Ketua DPR Papua, Jhon Banua Rouw, menyebutkan bahwa sesungguhnya pemerintah pusat telah memberikan kebijakan khusus sebelum ada otsus, Papua sangat tertinggal jauh dengan daerah lain. Namun DPRP mendapat informasi dari pusat, bahwa otsus dilanjutkan dengan revisi undang-undang.
“Ada surat dari pusat hanya merevisi pasal 34, itu yang akan didiskusikan. Makanya, diharapkan agar persepsi masyarakat sama sehingga tidak lagi ada polemik di tengah masyarakat tentang Otsus itu,” katanya, saat menyampaikan sambutan pada pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen di Gedung Silas Papare, Serui.
Selain itu, anggota DPR RI Dapil Papua, John Jiffy Mirin, (Rmoljakarta.com, 2 Juli 2020) menyatakan bahwa otsus merupakan satu solusi dari masalah kesejahteraan Papua. Meski begitu, otsus banyak (hal) yang harus dievaluasi. Ia menilai pada dasarnya landasan filosofis otsus sudah sangat baik, hanya saja pelaksanaannya di lapangan yang harus dibenahi.
Sedangkan, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, meminta Komisi II DPR RI mengutamakan pembahasan RUU tentang Otonomi Khusus Papua, sebab RUU tersebut hanya berlaku selama 20 tahun, sehingga akan berakhir pada tahun 2021.
“Nah ini (RUU tentang Otsus Papua) urgen karena perlu diselesaikan tahun ini, karena tahun depan 2021 UU ini berakhir,” kata Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 22 Januari 2020, seperti yang dilansir di kompas.com.
Konteks otsus bagi elite-elite politik adalah otsus harus dilanjutkan, karena dianggap telah membuahkan hasil bagi rakyat Papua. Otsus versi Jakarta akan didorong dan membuat rakyat Papua percaya bahwa otsus telah berhasil.
Salah satu contoh dari argumen ini adalah pengumuman hasil CPNS Formasi 2018. Dalam pengumuman itu, hampir seluruh pencari kerja berfokus pada lapangan pekerjaan. Mereka yang lolos CPNS akan lebih fokus dalam pekerjaan mereka, sedangkan yang tidak lolos, tentu akan melakukan berbagai kegiatan, seperti demo dan kampanye di media sosial tentang nasib mereka.
Dalam kondisi yang darurat, Jakarta tentu akan menggantikan formasi baru dalam memberikan kenyamanan bagi rakyat Papua, apakah pemekaran Provinsi Papua dan kabupaten/kota, ataukah membuka pendaftaran CPNS Formasi 2019/2020 tahun ini.
Versi kedua
Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua, telah melangsungkan berbagai kegiatan dalam rangka mendorong Rapat Dengar Pendapat (RDP). Dengar pendapat rakyat telah dimuat dalam UU Otonomi Khusus.
Konteks dengar pendapat rakyat itu mencerminkan isi dan makna dari amanah UU Otsus itu, sehingga semua elemen rakyat Papua memiliki hak yang sama, untuk memberikan pendapatnya dalam satu forum resmi, guna memperbincangkan pelaksanaan otsus selama 20 tahun di Tanah Papua.
Sebagai lembaga representasi hak-hak asli orang Papua, segala unek-unek dan beda pandangan dalam satu masalah, kembali ke honai (MRP) untuk dibicarakan, apa kemauan rakyat Papua dari berbagai perspektif.
Dilansir suarapapua.com, Majelis Rakyat Papua (MRP) secara resmi memberi mandat kepada para tim anggota MRP, untuk segera menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan otsus selama 20 tahun di Tanah Papua.
Hal tersebut disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib, saat ibadah penguatan kepada pimpinan dan anggota MRP dalam menyiapkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Tanah Papua, Selasa (4/8/2020).
RDP yang akan digelar oleh MRP akan melibatkan MRP Provinsi Papua dan Papua Barat, agar semua komponen rakyat Papua dapat memberikan pendapat terhadap implementasi otsus selama 20 tahun di tanah Papua, sesuai ketentuan pasal 77 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Dua versi berbeda, bagaimana pendapat rakyat Papua?
Berdasarkan dua versi yang muncul, antara suara DPR Papua dan MRP tentang otsus, maka kehadiran kedua pihak di tengah-tengah rakyat Papua yang selalu merindukan keadilan sangat penting.
Kedua belah pihak harus menyatukan perspektif, sebab otsus membicarakan tentang harga diri orang asli Papua, yang sudah sekian tahun merasakan penderitaan, jeritan dan tangisan tentang nasib dan hidupnya.
Perspektif itu jangan abu-abu. Nasib rakyat Papua harus diutamakan dari pada persoalan dana triliunan tetapi tidak membuahkan hasil bagi rakyat Papua.
Dalam menyikapi kondisi ini, rakyat Papua dan mahasiswa Papua telah melangsungkan berbagai kegiatan, seperti, menjalankan petisi rakyat Papua menolak otsus, demonstrasi mahasiswa menolak otsus dan berbagai kegiatan lainnya.
Keberlangsungan itu mencerminkan kondisi ketidaksejahteraan di Papua meski diberikan dana triliunan tiap tahun. Kematian, pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan, intimidasi, diskriminasi dan lain sebagainya menjadi perhatian publik, bahwa otsus benar-benar telah gagal mengindonesiakan orang Papua ke dalam NKRI.
Rakyat Papua menginginkan kebebasan dan kemerdekaan secara de facto dan de jure. Rakyat tidak akan diam jika tidak ada satu pandangan yang baik dalam membicarakan tentang tanah Papua. Oleh sebab itu, DPR Papua, MRP dan Gubernur Papua, sesungguhnya harus menyamakan pendapat tentang otsus.
Akhirnya, penulis menyarankan beberapa solusi sebagai berikut:
Pertama, otsus harus dikembalikan kepada internal rakyat Papua dan dibicarakan di honai dan harus disamakan perspektifnya;
Kedua, jika ingin evaluasi, maka harus dievaluasi secara keseluruhan, termasuk hak politik rakyat Papua;
Ketiga, jika ingin evaluasi, perlu mengundang organisasi perlawanan (KNPB, ULMWP dan TPNPB), termasuk pihak ketiga dari luar negeri;
Keempat, jika tidak diindahkan poin, 1, 2, dan 3, maka berikan kebebasan kepada rakyat Papua yang menentukan. (*)
Penulis adalah eks tapol korban rasisme dan tinggal di Jayapura
Editor: Timoteus Marten