Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Perwakilan masyarakat adat dan pimpinan organisasi masyarakat sipil di Papua menolak menolak RUU pertanahan.
Penolakan itu antara lain dinyatakan oleh perwakilan Masyarakat Adat Moi; Masyarakat Adat Yerisiam Gua; Masyarakat Adat Marind; Walhi Papua; Yayasan Pusaka; Foker LSM Papua; Greenpeace Indonesia; Perkumpulan Belantara Papua; LBH Papua; AMAN Sorong Raya; SKPKC Fransiskan Papua, KPKC GKI di Tanah Papua; SKP Keuskupan Agung Merauke; Yayasan Anak Dusun Papua; PTPPMA Papua; YALI Papua; Papuan Voices; JERAT Papua; LP3BH; Perkumpulan Panah Papua; Jaringan Advokasi Perampasan Tanah – Papua; Yayasan Teratai Hati Papua; ELSAM; Protection International; Papua Forest Watch; LAPEMAWIL.
Perwakilan masyarakat yang selama ini memperjuangkan hak masyarakat adat, keadilan dan lingkungan di Tanah Papua, setelah membaca dan mempelajari proses dan substansi Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan (RUUP), yang diinisiatif oleh DPR ini, maka mereka berpendapat, bahwa:
RUUP tidak sejalan dan belum memuat aspirasi masyarakat akar rumput untuk penataan ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah secara adil dan berpihak pada rakyat miskin, sebaliknya diindikasikan dan kecenderungan melindungi kepentingan para pemodal.
“Misalnya pasal yang mengatur luas dan perpanjangan HGU (Hak Guna Usaha); dan pemutihan perusahaan yang melanggar ketentuan (Pasal 154, RUUP),” ujar Aiesh Rumbekwan Direktur Eksekutif Walhi Papua melalui rilisnya (24/9/2019) di Jayapura.
Menurutnya RUUP berpotensi merampas tanah-tanah milik rakyat melalui mekanisme tertentu, misalnya jika tanah milik dan atau tanah adat tidak dapat dibuktikan hak atas tanahnya melalui proses penetapan hukum dan dalam waktu tertentu (5 tahun), maka tanah tersebut menjadi tanah negara
“(Pasal 153, RUUP); ketentuan ini berpotensi menghilangkan tanah adat dan mengabaikan hukum adat yang menjadi landasan pembentukan UU Pokok Agraria 1960 (Pasal 5),”.
Dan RUUP masih menafikan fungsi sosial dan kepentingan perlindungan lingkungan sebagaimana ketentuan UUPA (Pasal 6 dan Pasal 15); RUUP berpotensi melanggar hak masyarakat dan pengrusakan hutan untuk menjalankan kewajiban dan program usaha kebun masyarakat “20 persen” yang diwajibkan kepada korporasi (Pasal 150, RUUP); kebijakan program ini akan menjadi pemicu deforestasi dan masyarakat adat belum tentu setuju dengan penggundulan hutan dan penghancuran sendi kehidupan sosial budaya, dan sosial ekonomi masyarakat disekitar dan dalam kawasan hutan tersebut.
RUUP juga masih memuat ketentuan pasal pengecualian yang merugikan masyarakat dan masih buruknya tata kelola agraria, serta menguntungkan kepentingan tertentu, antara lain RUUP Pasal (18) yang mengecualikan pembatasan pemilikan tanah untuk kepentingan skala ekonomi tertentu dan kepentingan strategis nasional; RUUP Pasal (62), yang mengecualikan informasi data tertentu yang tidak dapat dibuka kepada publik;
RUUP tersebut memuat pasal yang berpotensi mengkriminalisasikan warga dan aktifis pergerakan pembela hak agraria dalam menuntut dan menyuarakan hak- haknya, seperti RUU Pasal 141 dan Pasal 145;
“Kami juga menemukan bahwa proses merancang dan menyusun RUUP tersebut sangat terbatas dan minim keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil,” ujarnya.
Frangky Saparante dari yayasan Pusaka menambahkan, berdasarkan latar belakang tersebut, pihaknya menyatakan dan meminta kepada anggota DPR dan pemerintah untuk segera menghentikan proses pembahasan RUU Pertanahan tersebut karena berpotensi menghilangkan kedaulatan dan hak-hak kami atas tanah adat dan hak hidup sejahtera.
Dan RUUP ini tidak sesuai dengan konstitusi, visi kesejahteraan dan keadilan, berpotensi menciptakan dan memperkeruh konflik pertanahan yang merugikan negara dan masyarakat.(*)
Editor: Syam Terrajana