Oleh: Frangky Samperante*
Setelah memastikan diri terpilih sebagai Presiden kedua kalinya, Ir Joko Widodo memperkenalkan Omnibus Law, guna sebagai konsep penyederhanaan hukum dibidang ekonomi. Presiden Joko Widodo mengeluhkan banyaknya peraturan yang mengatur laju investasi sehingga proses untuk berusaha berbelit-belit, tumpang tindih, panjang dan menghambat penanaman modal.
Di bulan februari secara resmi Pemerintah menyerahkan hasil pembahasan Omnibus Law dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Cipta kerja ke DPR RI, saat disusun pemerintah RUU ini bernama Cipta lapangan kerja yang kemudian di satire menjadi RUU Cilaka (petaka atau kemalangan) oleh masyarakat sipil.
Untuk menyusun RUU Cipta Kerja Presiden membentuk Satgas Omnibus Law. Ada 127 orang dilibatkan menyusun RUU Cipta Kerja. Sebagian besar dari mereka berasal dari kelompok asosiasi pengusaha. Sisanya perwakilan pemerintah provinsi, kabupaten dan kementerian terkait.
Tidak ada partisipasi rakyat baik dari kelompok buruh, petani, nelayan, masyarakat adat atau kelompok masyarakat sipil lainnya dalam proses penyusunan.
Isi dari RUU Cipta Kerja sangat bersentuhan dengan kepentingan rakyat, sementara rakyat hanya kebagian jatah sosialisasi setelah RUU disusun yang pada akhirnya mendapatkan penolakan keras dari rakyat. Komposisi satgas sangat berselerakan kepentingan pengusaha seperti yang diharapkan Presiden Joko Widodo.
Ada 79 UU yang terdampak dari hadirnya RUU Cipta Kerja, isinya bertujuan menyederhanakan persyaratan perizinan berusaha diberbagai sektor. Sektor yang terdampak adalah kelautan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, ketenaganukliran, perindustrian, perdangan, metrologi legal, jaminan produk halal, standarisasi penilaian kesesuaian, pekerjaan umum dan perumahan rakyat, transportasi, kesehatan obat dan makanan, pendidikan dan kebudayaan, pariwisata, keagamaan, pos, telekomunikasi dan penyiaran dan pertanahan dan keamanan.
RUU Cipta Kerja menghapus dan merubah pasal-pasal di 81 UU yang berlaku guna memangkas proses perizinan, mempermudah pengadaan tanah untuk usaha, mempermudah pemamfaatan sumber daya alam, memudahkan proses penanaman modal, merubah sanksi-sanksi berat menjadi lebih ringan kepada pelaku usaha. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menginventaris ketentuan-ketentuan yang dirubah oleh RUU Cipta Kerja.
Fokus kami menganalisa perubahan UU PPLH, UU Perkebunan, UU Kehutanan, dan aturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah. Kesimpulannya Omnibus Law akan sangat berdampak kepada kelangsungan masyarakat adat papua dan perlindungan sumber daya alam masyarakat adat papua.
RUU Cipta kerja menjadi ancaman serius bagi hutan dan masyarakat adat di Papua.
Di sektor perlindungan lingkungan hidup Omnibus Law menghapus pasal-pasal kunci yang mengatur perlindungan lingkungan didalam, menghapus izin lingkungan dan kriteria amdal, mempermudah proses berbagai perizinan, menghilangkan keterlibatan pemerintah melakukan pengawasan dam penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan.
Seluruhnya dikendalikan pemerintah pusat yang menjadi pemain inti dalam menentukan proses investasi. Omnibus Law menghilangkan partisipatif masyarakat terlibat memutuskan pelaksanaan sebuah proyek, menghilangkan kewajiban usaha dalam pemenuhan standar lingkungan, memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perusakan lingkungan yang sebelumnya sanksinya berupa pidana menjadi sanksi administratif, mengurangi hak atas informasi, menghapus kewenangan PTUN membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin, menghapus prinsip tanggungjawab mutlak (strict liabilty) kepada pelaku pencemaran, menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat.
Untuk sektor perkebunan, Omnibus Law mengubah pengaturan ulang penetapan batasan luas maksimum dan minimum penggunaan lahan usaha perkebunan, menghapus syarat-syarat pertimbangan penetapan luas perkebunan, menghapus larangan pemindahan hak atas tanah usaha perkebunan, menghapus batasan jangka waktu kewajiban pengusahaan hak atas tanah sejak diperoleh, mempermudah peralihan perusahaan ke modal asing, menghapus kewajiban pelaku usaha memfasilitasi perkebunan masyarakat minimal 20 persen, menghapus kewajiban pengusaha untuk melakukan pengelolaan amdal, analisis resiko dan pemantauan lingkungan.
Semangat serupa ditemui didalam Pasal yang merubah UU Kehutanan, Omnibus Law memfasilitasi pemanfaatan hutan lindung dalam perizinan usaha, mempermudah perolehan izin dikawasan hutan lindung, menghapus kontribusi atas usaha yang diperoleh (dana reboisasai, dana jaminan kinerja).
Omnibus Law kembali menghidupkan aturan penguasaan HGU selama 90 tahun, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan penguasaan HGU selama 90 tahun karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bayangkan penguasaan lahan selama 90 tahun akan menghancurkan pengetahuan generasi Papua.
Watak Politik Hukum Presiden Joko Widodo
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta turunannya telah cukup baik mengatur pengelolaan perlindungan lingkungan hidup mengikuti standar yang sepakati dalam konperensi tingkat tinggi tentang lingkungan hidup.
Kehadiran RUU Cipta Kerja hasil Omnibus Law mengubah hingga menghapus pasal-pasal kunci yang mengatur perlindungan lingkungan.
Kami menemukan perubahan UUPPLH menghilangkan kewajiban UKP/UPL, menghapus izin lingkungan, menghapus kriteria AMDAL. Tujuannya mempercepat proses investasi usaha.
Omnibus law juga menghilangkan keterlibatan pemerintah daerah untuk terlibat melakukan penilaian, pengawasan dam penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan. Seluruhnya dikendalikan pemerintah pusat yang menjadi pemain inti dalam menentukan proses investasi. Hal ini tentunya harus dilihat berhubungan dengan proses politik nasional dimana keterlibatan pengusaha-pengusaha besar memberikan dukungan dalam kontestasi pemilu.
Omnibus Law menghilangkan partisipasi masyarakat terlibat memutuskan pelaksanaan sebuah proyek, menghilangkan kewajiban usaha dalam pemenuhan standar lingkungan, memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perusakan lingkungan yang sebelumnya sanksinya berupa pidana menjadi sanksi administratif, mengurangi hak atas informasi, menghapus kewenangan PTUN membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin, menghapus prinsip tanggungjawab mutlak (strict liabilty) kepada pelaku pencemaran, menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal, menghapus Izin lingkungan menjadi kelayakan usaha yang hanya didasarkan pada pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup.
Untuk sektor perkebunan, Omnibus Law merubah atau menghapus pasal-pasal didalam UU No 38 Tahun 2014. Hal yang dirubah adalah pengaturan ulang penetapan batasan luas maksimum dan minimum penggunaan lahan usaha perkebunan, menghapus syarat-syarat pertimbangan penetapan luas perkebunan yang ada didalam ayat 2 pasal 14, menghapus larangan pemindahan hak atas tanah usaha perkebunan, menghapus batasan jangka waktu kewajiban pengusahaan hak atas tanah sejak diperoleh, mempermudah peralihan perusahaan ke modal asing tanpa harus ada persetujuan menteri guna kepentingan nasional, menghapus kewajiban pelaku usaha memfasilitasi perkebunan masyarakat minimal 20 persen, menghapus kewajiban pengusaha untuk melakukan pengelolaan amdal, analisis resiko dan pemantauan lingkungan.
Semangat serupa ditemui dalam Pasal yang merubah UU Kehutanan, Omnibus Law memfasilitasi pemanfaatan hutan lindung dalam perizinan usaha, mempermudah perolehan izin dikawasan hutan lindung, menghapus kontribusi atas usaha yang diperoleh (dana reboisasai, dana jaminan kinerja).
Melalui Omnibus Law terlihat watak politik hukum pemerintah yang sangat mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat. Politik hukum diarahkan kepada kepentingan investasi ekonomi kapital guna penguasaan sumberdaya alam. Hal ini selaras dengan semangat Presiden yang bermimpi memuluskan proyek-proyek besar pembangunan infrastruktur yang pada periode pertama mendapatkan kritik dan perlawanan dari masyarakat. Melalui Omnibus Law pemerintah tengah memperparah bencana ekologis bagi kehidupan ke depan.
Omnibus Law Perampas Sumber Daya Alam
Lantas bagaimana pengaruh RUU Cipta Kerja hasil Omnibus Law bagi masyarakat adat khususnya di Papua. Saat ini hanya Pulau Papua yang masih memiliki hutan alam dengan luasan terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Keteguhan masyarakat adat di Papua memegang nilai-nilai kearifan lokal telah menjaga keberadaan hutan. Menguatnya advokasi perlindungan hak-hak masyarakat adat didukung organisasi masyarakat sipil menjadi ancaman bagi pelaku capital menguasai sumber daya alam.
Inilah fungsi Omnibus Law melakukan deregulasi guna mempermudah cara –cara penguasaan hak-hak masyarakat adat melalui mekanisme hukum. Pengalaman Yayasan Pusaka melakukan advokasi hak-hak masyarakat adat di Papua menemukan keterlibatan erat pengusaha dan aparat Negara menabrak berbagai aturan guna penguasaan hak-hak masyarakat adat. Secara diam-diam terjadi pengalihan 1.389.956 hektar hutan alam milik masyarakat adat papua untuk menjadi perkebunan kelapa sawit.
Di Papua perkebunan diberikan kemudahan untuk menguasai lahan yang lebih luas dibandingkan di luar Papua.
Peraturan menteri agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN No 2 Tahun 1999 memperbolehkan sebuah perusahaan mendapat Izin usaha mencapai 40.000 hektar untuk wilayah Papua, lebih luas dua kali dari provinsi lain yang dibatasi 20.000 hektar. Yayasan Pusaka juga menemukan kurangnya pengawasan menyebabkan beberapa group perusahaan dapat menguasai luasan lahan melebihi batas maksimal 100.000 ha perolehan tanah yang diatur dalam permen 2/1999. PT Menara Group memiliki luas lahan 270.095 hektar di Kabupaten Boven Digoel, PT Korindo Group memiliki luas lahan 148.637 hektar di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Bumi Mitratrans Maju Group memiliki 115.540 hektar di Kabupeten Boven Digpel, ANJ Group memiliki lahan hampir mencapai 82.468 hektar di Kabupaten Sorong Selatan, kepemilikan lahan ANJ belum termasuk lahan lain yang berada di Sumatera. Semua wilayah penguasaan group perusahaan di atas saat ini mengalami sengketa dengan masyarakat adat.
Dugaan Skandal korupsi diduga kuat terjadi dalam peneribitan perizinan, akhir tahun 2019 Pejabat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua mengeluarkan pernyataan dalam sebuah wawancara dimedia menyebutkan pemalsuan Izin usaha group PT Menara dan PT Tulen Jayamas Timber Industries yang mengolah kayu hasil tebangan pembukaan perkebunan kelapa sawit di proyek tanah merah Boven Digoel. PT Tulen Jayamas diminta menutup operasionalnya. Tidak menutup kemungkinan skandal seperti ini terjadi di wilayah lain.
Temuan lain adalah maraknya izin-izin usaha perkebunan di Papua yang terbit dengan melanggar prosuder penerbitan. Izin-izin milik anak perusahaan ANJ Group di Sorong Selatan, PT Bintuni Agro Prima Perkasa di lembar Kebar Kabupaten Tambrauw, PT BMM Group di Boven Digoel diterbitkan tanpa dilengkapi adanya analisa dampak lingkungan. Ada dugaan pelaku usaha tidak mampu menyusun AMDAL karena besarnya dampak negatif dari operasional usaha. Mestinya ada konsekuensi pidana lingkungan hidup yang telah diatur dalam UU No 32 /2009 bagi pelaku usaha maupun pihak yang menerbitkan karena tidak memilii izin lingkungan.
Namun ke depan pelaku usaha akan merasa tenang dengan menggunakan RUU Cipta Kerja hasil Omnibus Law proses perizinan dipermudah dan sanksi pidana diringankan menjadi sanksi administratif.
Berkaca dari pengalaman buruknya pengelolaan perizinan dan minimnya upaya perlindungan hak masyarakat adat telah menciptakan konflik laten kedaulatan rakyat Papua. Maraknya investasi kapital justru tidak sebanding lurus dengan perbaikan ekonomi rakyat Papua, justru akumulasi investasi menyingkirkan kebudayaan dan kedaulatan masyarakat papua atas sumber daya hutan dan alam yang dimiliki scara lintas generasi. Walaupun Papua memiliki UU Otonomi khusus namun kehadiran berbagai UU sektoral dan Omnibus law kedepannya akan melumpuhkan penerapan UU Otsus.
Politik hukum Presiden Joko Widodo melalui Omnibus Law yang berpihak kepada investasi kapital serta mengabaikan hak masyarakat adat Papua, ke depan akan mengancam keberadaan hutan alam papua dan sumber daya alam lain di Papua.
Proses penghisapan kekayaan alam dan penyingkiran masyarakat Papua akan semakin masif, hal ini tentunya akan meningkatkan ekskalasi konflik terlebih pemerintah mengisolasi informasi dan media di Papua.
Lantas bagaimana menyikapi hal ini? salah satu cara terbaik adalah menolaknya.
Ada baiknya Presiden Joko widodo segera menarik RUU Cipta Kerja, kembali mendengar suara rakyat dan mengeluarkan tindakan memperkuat perlindungan hak masyarakat adat yang selama ini selalu menjadi ekspolitasi pembangunan.(*)
*Penulis adalah Direktur Yayasan Pusaka Papua