Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yosep Riki Yatipai
(Refleksi Teologis Kritis)
Ignacio Ellacuria, filsuf dan teolog dari Universitas Amerika Tengah di El Salvador, melalui refleksi teologisnya yang secara langsung menanggapi rakyat miskin dan tertindas khususnya di El Salvador, berpendapat, orang yang miskin dan tertindas adalah kenyataan “hamba Allah yang menderita” di zaman ini, di sekitar kita (Hartono Budi. 2003: 44). Beberapa pertanyaan yang mendasarinya ialah; apakah arti kehadiran umat Kristiani di tengah masyarakatnya? Bagaimanakah orang Kristiani memahami misi dan pelayanan Yesus bagi lingkungan masyarakat-Nya dan bagi umat manusia pada umumnya?
Selain itu, dari rumpun persoalan ini, apa yang mau dikatakan Yesus dalam penderitaan orang Papua? Rupa-rupa pertanyaan ini akan dibahas dalam konteks teologi pembebasan di Amerika Latin kemudian hubungannya di Papua.
Dari rumpun persoalan ini, kita akan menjawab pertanyaan pertama sebagai pendasarannya, sebelum memasuki pembahasan khusus tentang orang miskin dan teraniaya sebagai “rakyat yang tersalib” (the crucified people).
Sebagaimana dalam ajaran Kristiani memuat unsur ajaran keselamatan (soteriologi) dan ajaran tentang Yesus Kristus (kristologi), sehingga metafora atau kiasan tentang “rakyat yang tersalib” mendapatkan tempat yang sesuai dalam pembahasannya. Kemudian, kita akan menguraikannya lagi sebagai kepentingan teori dan praksis.
Ignacio Ellacuria: Metafora “rakyat yang tersalib”
Ellacuria menguraikan bahwa realitas dunia yang dijumpai umat manusia adalah sangat mengejutkan sekaligus menantang. Sebab, realitas dunia umat manusia ditandai dengan kehadiran orang miskin, tertindas, dan teraniaya yang merupakan mayoritas dari penduduk bumi, yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Kenyataan ini seyogyanya telah menggugah dan mendesak umat Kristiani serta semua orang yang berkehendak baik untuk memikirkan dan mencari jalan keluar dari masalah kehidupan di tengah Gereja dan masyarakat.
Selain itu, Ellacuria menjelaskan juga: “jika kita ingin memahami siapakah umat Allah, pentinglah bagi kita untuk membuka mata pada kenyataan di sekitar kita dimana Gereja hidup selama hampir 2.000 tahun, sejak Yesus mewartakan datangnya keselamatan dari Allah. Kenyataan ini adalah kehidupan mayoritas umat manusia yang secara harfiah dan dalam arti sebenarnya tersalib oleh penindasan kodrati, tetapi khususnya oleh penindasan historis dan personal” (Hartono Budi. 2003: 45).
Konteks kehidupan umat manusia yang terbilang kontroversial ini, hendaknya dipikirkan dan dicarikan pemecahan yang sesuai dan tepat pada konteks. Menurut Ellacuria, cara yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah kemiskinan dan penindasan yang berkepanjangan ini:
Pertama, tindakan mempertimbangkan dengan serius pemikiran dan pendekatan yang diusulkan oleh gerakan teologi pembebasan tentang masalah itu;
Kedua, diperlukannya suatu istilah dan uraian teologis baru untuk mendiskusikannya secara mendalam dan menyeluruh. Tentang usaha refleksi teologis ini, Jon Sobrino– filsuf dan teolog El Salvador–menuliskan komentarnya, “dalam pembicaraan diskusi Dunia Ketiga (Amerika Latin), Ignacio Ellacuria sering mengatakan, memang benar orang berbicara tentang Allah yang tersalib (the crucified God), tetapi sama pentingnya atau bahkan lebih penting sekarang ini untuk berbicara tentang rakyat yang tersalib (the crucified people)”.
Dengan melihat kata kunci pemikiran teologis Ellacuria, dan kebaruan refleksi teologis yang berbeda dengan konsep “Allah yang tersalib”, sebagaimana diperkenalkan oleh teolog Jerman Jurgen Moltmann awal 1970-an, Ellacuria sendiri mendasarkan pemikirannya tentang “rakyat yang tersalib” pada alasan soteriologis dan kristologis, yang baginya dapat menjelaskan realitas dunia sekarang, khususnya dengan kehadiran orang miskin dan tertindas di belahan dunia manapun.
Ellacuria menjelaskan metafora rakyat yang tersalib sebagai berikut:
Pertama, sebagai badan kolektif, yang dalam sejarahnya “disalibkan” oleh kelompok minoritas pemegang kekuasaan, yang menata dan menggunakan kekuasaannya untuk menindas mereka (rakyat). Ellacuria menjelaskan, “kita dapat dapat mengatakan sekali dan untuk seterusnya tentang siapa yang paling menyatakan karya penebusan Yesus sekarang. Tetapi secara kolektif dapat dikatakan, umat Allah yang tersaliblah yang paling menyatakannya; tetapi walaupun itu tepat, pernyataan itu tetap kurang jelas mendefinisikan siapakah umat Allah tersebut dan kita tidak dapat memahaminya begitu saja sebagai Gereja yang resmi, bahkan sebagai Gereja yang dianiaya. Tidak semua yang dinamakan Gereja adalah mereka yang tersalibkan atau Hamba Yahwe yang menderita, meskipun betul untuk dimengerti bahwa rakyat yang tersalib dapat dianggap sebagai bagian vital dari Gereja, justru karena mereka melanjutkan kisah sengsara dan wafat Yesus.”
Kedua, ia menunjukkan bahwa realitas rakyat yang tersalib masih perlu ditelaah secara lebih dalam, dan melebihi pola-pola penindasan yang ada. Oleh karena itu, sementara berpegang pada pola universal tentang orang-orang yang menindas atau “menyalibkan” sesamanya agar ia sendiri dapat hidup, subsistem “penyaliban” yang terdapat pada kedua kelompok, baik yang menindas maupun yang ditindas, harus diteliti.
Bagi Ellacuria, ciri-ciri dasar tidaklah lain dari kaitan dan kemiripan mereka dengan Hamba Yahwe yang menderita (dalam Kitab Yesaya) dan dengan Yesus sendiri (dalam Injil) yang secara istimewa menghadirkan misteri keselamatan Allah. Yang paling mendasar adalah bahwa mereka (rakyat yang tersalib) diterima sebagai Hamba Allah, tetapi penerimaan itu tidak dapat terjadi, kecuali melalui “kemiripannya” dengan apa yang terjadi pada Yesus yang disalibkan dalam sejarah;
Ketiga, ia menegaskan pentingnya pengidentifikasian secara tepat gambaran tentang rakyat yang tersalib. Hal ini penting untuk pendekatan teologisnya, yang didasarkan pada sejarah dan mengungkapkan minatnya yang kuat pada realitas sejarah itu sendiri.
Sekalipun demikian, Ellacuria menyadari akan adanya penyalahtafsiran atau penyelewengan dalam diskusi apa dan siapa yang dimaksudkannya sebagai rakyat yang tersalib. Perlu dicatat bahwa tentang “rakyat yang tersalib” ini tidak disejajarkan dengan suatu organisasi apapun, misalnya yang bertujuan untuk meraih kekuasaan politik, meskipun yang diacu oleh Ellacuria adalah orang-orang yang nyata secara historis.
Sama halnya dengan Kerajaan Allah yang diindikasikan dalam tatanan sosial politik tertentu. “rakyat yang tersalib” mengatasi segala manifestasinya (perwujudan) dalam sejarah tanpa mengisolasikannya dari sejarah.
Arti “orang Papua yang tersalib”
Pertarungan antara ideologi Pancasila dan ideologi Mambruk telah memakan korban yang tidak sedikit, baik korban materi, waktu, pikiran, perasaan, maupun korban nyawa manusia. Tanah Papua identik dengan “Tanah Darah‟.
Dari awal Tanah Papua dijadikan ‘daerah merah’, maka sampai detik ini “darah‟ orang asli Papua terus menetes dan membasahi tanah ini. Operasi militer terbuka dan tertutup, dengan ideologi pembangunan bias pendatang diterapkan di Tanah Papua.
Operasi militer terbuka dan tertutup serta ideologi pembangunan bias pendatang ini mengakibatkan marginalisasi, dekriminalisasi, minoritas dan pembantaian orang asli Papua yang sedang menuju ancaman bahaya kepunahan etnis Papua, yang sedang merangkak perlahan-lahan (slow moving genocide).
Aneksasi Papua ke dalam NKRI melalui Aneksasi Tahap Awal (1961–1969), Aneksasi Lanjutan Tahap Kedua “Otonomi Daerah‟ (OTDA) Jilid I (1969-2001), dan Aneksasi Lanjutan Tahap Ketiga “Otonomi Khusus‟ (OTSUS) Jilid II (2001-hingga berlanjut). Mengingat peristiwa hidup kemarin adalah sejarah yang telah diukir dengan darah, air mata dan keringat.
Peristiwa darah, air mata dan keringat hari ini sedang mengukir sejarah untuk hari esok. Sejarah kemarin menentukan hari ini. Peristiwa hari ini menentukan hari esok. Rekam jejak para pendahulu telah merintis jalan. Lorong jalan penuh onak dan duri bersimbah air mata darah keringat; tak dapat dibayangkan berapa banyak pengorbanan bangsa Papua sudah dan sedang menebus kebebasan Papua yang menjadi kerinduan dalam setiap jiwa Papua (Selpius Bobi, 2020:6, 17).
Penderitaan panjang orang Papua dengan mengatasnamakan rakyat hingga rakyat menjadi korban atas kepentingan kedua belah pihak yang bertikai. Rakyat menjadi legitimasi kepentingan minoritas penguasa untuk mendapatkan kekuasaan politik ekonomi, baik kancah lokal, nasional, maupun internasional.
Hal demikian tentu terkesan egois dan sepihak, sebagaimana fenomena ini terus menjerumuskan rakyat ke dalam jurang. Dengan kata lain, distribusi kesejahteraan pada tataran lahiriah tidak diperhatikan bahkan “urat saraf” rakyat dibunuh dengan manipulasi peristiwa dan pembabakan peradaban bangsa. Dengan demikian, apa hendak dikatakan oleh Allah yang tersalib sebagai solidaritasnya bagi orang Papua?
Kematian dan pengungsian di Intan Jaya, Nduga, Kiwirok, dan Maybrat telah mencuri mata semua orang Papua dan non Papua melalui media sosial dan media massa. Sebagaimana upaya kemanusiaan yang digalakkan oleh imam, biarawan/i merupakan pengejawantahan misi dan amanat agung Kristus. “Suka duka umat Allah di tanah Papua menjadi suka duka Gereja Universal ” (Konsili Vatikan II. 2017: 521).
Di Intan Jaya, semua warga di kampung-kampung mengungsi di Gereja-Gereja terdekat. Pengungsi di tempat lain juga mencari tempat aman di hutan-hutan. Di dalam kondisi pengungsian ini telah mengakibatkan korban jiwa dan penderitaan yang panjang, sebab ada yang meninggal dunia dan ada juga yang sakit akibat lapar.
Sekiranya, orang Papua dapat belajar bahwa dinamika “Allah yang tersalib” itu diungkapkan dan terus terlaksana di dalam sejarah kehidupan orang Papua. Dalam refleksi teologis ini pula diterangkan secara gamblang, namun tersamar dalam “Peristiwa Agung” Yesus Kristus yang memberikan dirinya bagi banyak orang.
Lantas apa yang dapat senada dengan soal demikian di Papua? Dalam perjuangan sebuah bangsa yang dikuasai dan ditindas hak-haknya, sedapat mungkin bangsa itu akan berdiri dan melawan demi bangsa dan tanahnya (fighting for the motherland).
Oleh karena itu, kita sudah bisa memahami bahwa hal ini terlepas dari kepentingan minoritas yang berjuang dengan tameng politik-ekonomi, tetapi kita semua sedang diajak untuk mengedepankan hak atas hidup, baik bagi tumbuhan, hewan, dan manusia di atas tanah Papua. Perjuangan sejati dari sebuah kemerdekaan ialah memperjuangkan bumi yang dapat dihuni oleh semua orang. Dalam hal ini, penderitaan orang Papua dapat dipersonifikasi dan dihayati sebagaimana perjuangan dan penderitaan bangsa Israel.
Dengan demikian, mungkinkah menemukan sebuah bahasa untuk berbicara tentang Allah yang Maharahim secara jujur di tengah realitas orang Papua yang menderita? Gustavo Gutierrez, di hadapan kenyataan penderitaan dan pengungsian yang masif itu, orang dipaksa tertunduk bisu sebab bahasa biasanya berisi pemahaman minimum dan unsur rasionalitas berkaitan dengan situasi yang ingin diartikulasikan. Tetapi, kenyataan para korban di Intan Jaya, Nduga, Kiwirok, dan Maybrat sekarang ini, termasuk penyebabnya, dan skeptisisme yang dihasilkan olehnya, semakin absurd.
Maka dalam kebisuan yang demikian, Gutierrez mengingatkan kita lagi pada dasar iman kristiani: Yesus Kristus, “Sabda yang menjadi daging” membawa pesan cinta kasih bagi semua dan setiap orang dalam sejarah. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten