Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Quaeres Rumbewas
Ada berbagai cara kematian selama masa penjajahan. Benar bahwa, mengikhlaskan kepergian mereka itu adalah suatu keharusan. Namun, hal ini tidak tepat selama kita dijajah oleh bangsa lain.
Dalam konteks penjajahan, kematian bisa saja datang dari berbagai macam penyebab. Entah itu dengan cara ditabrak lari, ditembak, diracuni, minuman beralkohol, maupun narkoba (yang sengaja dibiarkan), korban akibat operasi militer yang bertahap, hingga melalui riwayat penyakit tertentu yang “aneh”.
Tabrak lari, hampir setiap hari kita selalu mengalami hal itu di seluruh tanah tumpah darah, Papua. Atas kejadian itu, jika ingin memprosesnya secara hukum (investigasi) pasti akan dibuat terkandas, tidak ada kelanjutan cerita untuk hal itu.
Bagi kolonial, menutup pintu investigasi adalah suatu keharusan. Mereka menutup rapat dengan menyembunyikan pelaku jika ketahuan, apalagi ia adalah bagian dari penjajah.
Selain itu, mereka tidak menindaklanjuti tuntutan hukum demi “membiasakan” wacana dan menguburkan perjalanan penjajahan. Sehingga, dalam masyarakat muncul kalimat, “ah, nanti dong tra usut tuntas lagi jadi tra usah bawa ke polisi sudah.”
Sejak lama kita menyaksikan penembakan di berbagai daerah. Kasus Biak Berdarah dan Paniai Berdarah hingga 22 Mei 2019 terulang lagi di Deiyai.
Kasus-kasus ini jauh dari pengungkapan siapa aktor di balik kejadian tersebut. Walaupun telah dilakukan investigasi, itu pun tidak ada tindak lanjut. Bahkan, pihak tertentu menggiring persoalannya supaya selesai dengan adat, bahkan sekadar meminta maaf.
Tindakan seperti ini juga merupakan keharusan bagi penjajah untuk terus melakukan pembunuhan atau kita kenal “pembiaran”. Ada satu hal yang sejauh ini kita abaikan adalah mengecek ulang penyebab kematian.
Begitu banyak saudara kita mati secara tiba-tiba. Kita hanya menjatuhkan kematiannya dengan apa yang kita lihat. Misalnya, kematian akibat miras, aibon, bahkan narkoba.
Bahkan, kita telah membiarkan kematian karena mabuk. “Ah, dia mabuk juga mo, dia anak aibon to.” Kalimat ini yang selalu terlontar untuk mengakhiri pembicaraan mengenai kematian orang tersebut. Kita belum melakukan “pencurigaan” terhadap kematiannya.
Maksud saya adalah kita (harus) melihat lebih dalam secara medis penyebab kematiannya selain dari miras, misalnya, apakah ada kemungkinan adanya bahan berbahaya lain (racun) yang terselip di dalam minuman. Caranya dengan melakukan pengujian lab untuk melihat kandungan di dalam minuman tersebut.
Penjajah, selalu mencari jalan untuk menjebak kita, baik dengan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang akan menutup kasus tersebut, maupun melakukan pembiaran terhadap penjualan minuman yang sangat membahayakan.
Kita sedang menyaksikan operasi militer terjadi di Nduga. Akses wartawan sangat dibatasi, apalagi tim investigasi. Mereka tidak bisa mengakses ke dalam lokasi.
Sebagai penjajah, hal tersebut wajib mereka lakukan untuk menutupi kebobrokannya di mata dunia (kemanusiaan). Dong harus kancing mati dong pu suara.
Mereka juga membuat propaganda untuk membenarkan tindakan mereka dengan menginjak-kubur sisi kemanusiaan atas nama keamanan nasional.
Di balik itu, kita lupa bahwa warga di sana (Nduga) ada yang tra makan-minum, tra tidur baik, bahkan tra sekolah. Kita lupa trauma mereka, tekanan psikologi mereka, dan masa depan mereka. Ini adalah penyakit mental yang sedang tercipta. Kita perlu melakukan sesuatu untuk menanggapinya.
Kematian tokoh Papua
Pada 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay dibunuh. Kematian tidak wajar Agus Alua pada 7 April 2011, tanggal 14 Juni 2012, Mako Tabuni ditembak mati. Kematian tiba-tiba dialami oleh Pastor Nato Gobay, 2 Februari 2015. Minggu, 14 April 2019, Pastor Neles Tebay meninggal dunia setelah menjalani pengobatan di RS Carolus. Ferry Marisan meninggal pada 6 Juli 2019.
Kemudian disusul berturut-turut kematian Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr, 3 Agustus 2019 yang meninggal secara tiba-tiba. Pastor Yulianus Mote Pr, 4 Agustus 2019, juga meninggal setelah menjalani perawatan di RS Carolus Boromeus Jakarta.
Beberapa tokoh telah disebutkan meninggal dunia secara tiba-tiba. Kematian mereka berawal dari “jatuh”. Ada yang melalui perawatan yang cukup lama, seperti Ferry Marisan, Pater Neles Tebay Pr., dan Pastor Yulianus Mote Pr. Sedangkan Agus Alua, Pater Nato, dan Uskup Philip meninggal secara tiba-tiba dengan cara yang sama. Sebelum meninggal mereka beraktivitas seperti biasa, kemudian selang beberapa waktu saja tersungkur dan terjatuh hingga meninggal dunia.
Mereka adalah tokoh-tokoh penting yang menyuarakan penderitaan orang Papua. Dalam kacamata penjajah, mereka harus “dihabisi” karena menganggap bahwa mereka adalah penghambat penjajahan yang sedang dilangsungkan.
Jika kita mempelajari latar belakang pekerjaan dan seruan mereka, mereka sangat konsen terhadap perjalanan hidup orang Papua. Terutama demi membebaskan orang Papua dari berbagai pembodohan dan penjajah.
Kita tahu bahwa Pater Neles berjuang dengan metode dialog bersama JDP (Jaringan Damai Papua). Sebelumnya, Agus Alua yang berusaha mengadakan beberapa peraturan otsus (otonomi khusus) yang memihak kehidupan masyarakat Papua. Uskup John Saklil yang konsen terhadap kehidupan masyarakat adat dengan menyerukan agar mengolah tanah. Dengan keras ia melarang penjualan tanah. Sedangkan Pastor Yulianus Mote yang menyerukan rekonsiliasi untuk berdamai dengan leluhur dan alam yang dekat dengan alam pikir kita.
Kebijakan-kebijakan ini tentu saja mempunyai dampak positif terhadap kita, sekaligus merupakan ancaman bagi mereka (penjajah). Sehingga, menghentikan (perjuangan mereka) itu adalah hal terbaik buat penjajah.
Saya pikir, “padamkan apinya” yang sering disampaikan oleh Pater Neles berbalik arah mengenai mereka, jika dilihat dari sisi lain. Mereka adalah api yang berkobar memberikan cahaya bagi rakyat Papua yang asapnya, hangatnya telah kita rasakan. Sehingga, penjajah sedang berusaha memadamkan kobaran api bagi orang Papua.
Pembentukan tim investigasi khusus adalah kewajiban bagi rakyat terjajah
Seakan mereka membabat rumput di tengah tanaman, mereka menggoyahkan kehidupan kita. Kematian beruntun yang telah kita lihat dan rasakan akibatnya telah menghunus hati kita.
Begitu banyak bentuk kematian telah terjadi. Tetapi tanpa tanggapan, kita selalu diam.
Sebagian dari kita telah berusaha tetapi berbagai hambatan membuat kita jenuh, dan tidak melanjutkan (pengungkapan) karena kematian datangnya bertubi-tubi. Kita juga ditekan untuk berhenti dengan berbagai jenis ancaman. Hal ini pasti akan kita hadapi.
Kita tahu bahwa perjalanan ini tidak akan terlepas dari jatuh bangun. Maka, kita butuh tegar, konsisten pantang mundur untuk menghadapi semua ini.
Oleh karena itu, entah akan ada ancaman apapun, perlu membentuk suatu tim investigasi khusus bagi bangsa Papua untuk menelisik (menyelidiki) segala persoalan ini. Kita perlu mengetahui lebih dalam lagi penyebab sebenarnya atas kematian beruntun atas orang Papua.
Perlu keterlibatan berbagai aspek, pemerintah, gereja, LSM, aktivis kemanusiaan, aktivis lerjuangan, pahasiswa dan dosen (akademisi) untuk mengungkap kematian orang Papua. Kita butuh kerja sama untuk semua hal tersebut.
Mari sejenak bertolak ke kedalaman hati kita untuk bertanya siapa kita? Sedang dimana kita? Sedang diapakan kita? Demi mengendalikan keaslian kita sebagai bangsa yang sedang terjajah. Sehingga, perjuangan kita benar-benar demi keberlanjutan dan berkehidupan di tanah tumpah darah kita. (*)
Editor: Timo Marten
Penulis adalah alumnus STIE IEU jurusan Pemasaran Internasional, kini tinggal di Australia dalam rangka persiapan kuliah lanjutan