Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Manfret Yerkohok
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia, yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan, kekuasaan atau pemerintahan), sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat, mengartikan demokrasi sebagai government of the people, by the people, for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
Demikian juga Hans Kelsen, yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahwa yang melaksanakan kekuasaan negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih, karena rakyat telah yakin (bahwa) kepentingannya akan diperhatikan dalam melaksakan kekuasaan negara, sehingga dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal dengan trias politika yaitu, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Trias politika yang dimaksud adalah bentuk manifestasi pembagian kekuasaan sebagai instrumen dalam mengelola demokrasi, baik dari aspek eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang menyangkut supremasi hukum. Salah satu hal yang sedang disoroti adalah tentang merawat perhelatan pesta demokrasi yang akan bergulir di pilkada 2020.
Perhelatan pemilihan umum kepala daerah akan berlangsung serentak 23 September 2020. Ini adalah terobosan baru dalam sistem pemilihan umum di era pascareformasi. Pilkada serentak semata-semata merupakan agenda rutinitas lima tahunan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dengan karakter suku, ras dan agama. Dengan kondisi yang berbeda maka penting saling menjaga kemajemukan takala perhelatan (demokrasi) dimulai.
Hal penting yang menjadi tanggung jawab kita bersama adalah merawat demokrasi sebagaimana judul bahasan kali ini. Merawat demokrasi pada Pilkada 2020 semata-mata untuk menetralisir tensi pilkada terutama wilayah Indonesia timur, lebih khususnya Tanah Papua. Selain pilkada yang transaksional dengan perilaku oportunis, pragmatis, bahkan menghilangkan nyawa lawan politik.
Selain itu, tensi pilkada juga kadang kala melahirkan perilaku fanatisme suku, ras dan agama. Kecenderungan isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dimainkan (oleh kelompok tertentu), bahkan keluarga menjadi tersekat karena berbeda pandangan politik dan kepentingan.
Kita mesti memahami bahwa demokrasi itu sebagai ajang kontestasi ide/gagasan; sebagai bentuk mengelola perbedaan menjadi kekuatan membangun daerah kita.
Perbedaan itu suatu keniscayaan dan merupakan hak asasi setiap manusia yang harus dihargai.
Keluarga menjadi hal [ter]penting dari sebuah kepentingan politik semata. Namun, (yang paling) penting kita terlibat aktif juga memberikan penyadaran bagi tiap insan atau masyarakat agar memandang pilkada sebagai sarana memilih pemimpin yang representatif.
Demokrasi: Pemilu dan partai politik
Demokrasi memiliki sarat nilai yaitu kejujuran, kebebasan, kepatuhan, persamaan, toleransi dan perdamaian. Nilai-nilai yang terkandung dalam sistem demokrasi merupakan roh dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi memiliki dua asas pokok, yaitu, partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan pengakuan hakikat dan martabat manusia.
Oleh karena itu, kalau kita mau flashback ke belakang lagi, kita patut bertanya, mengapa tokoh-tokoh reformasi begitu getol melawan rezim otoritarianisme Orde Baru? Itu artinya demokrasi tak lahir dengan begitu mudah. Tapi dengan perjuangan darah dan air mata, semata-mata agar tiap-tiap warga negara dapat mengekspresikan diri dalam ruang politik dan ekonomi secara bebas.
Pemilihan umum merupakan manifestasi demokrasi sebagaimana kedaulatan tertinggi demokrasi ada pada rakyat. Dalam konteks politik, terwujudnya demokrasi nyata terlihat pada partisipasi aktif masyarakat dalam pemilihan umum. Untuk mewujudkan demokrasi dalam pemilihan umum, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen penting memainkan peran sebagai sentral kelembagaan yang profesional.
Baik menyiapkan tahapan-tahapan pemilu secara baik hingga pada pemilihan kepala daerah, sehingga melahirkan pemimpin benar-benar dipilih melalui rekam jejak baik, berkualitas, memiliki kompetensi dan kapabilitas. Rakyat akan jadi barometer pemimpin jika KPU dapat menjadi lembaga yang bekerja sesuai marwahnya.
Selain berbicara pemilihan umum kita juga tidak lepas dari partai politik, karena negara yang menganut sistem demokrasi maka, partai politik merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi. Partai politik hadir sebagai elemen sentral dalam demokrasi. Kehadiran partai politik sebagai manifestasi kemerdekaan rakyat, sehingga partai politik juga memiliki legitimasi dan kewenangan untuk mengusung calon kepala daerah.
Dalam konteks mengusung calon kepala daerah, diharapkan partai politik dapat mempertimbangkan hal-hal esensial dan substantif sebagai indikator dalam menentukan figur-figur. Salah satunya sebagai kader partai politik, maupun nonkader partai politik harus memiliki kualifikasi, kompetensi atau minimal memiliki rekam jejak baik dan disenangi rakyat.
Jika tahapan-tahapan pemilu dan peran aktif partai politik dapat mempertimbangkan hal-hal substansi seperti hal penjabaran di atas. Maka, bukan hal mustahil diproyeksikan akan semakin banyak melahirkan figur-figur pemimpin yang dapat membawa masyarakat ke arah lebih baik. Hal itu akan terjadi tergantung pada tahapan-tahapan demokrasi itu dilakukan dengan baik atau tidak. (*)
Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi Pemuda Katolik Teluk Bintuni
Editor: Timo Marten