Merangkai pergaulan sebagai seni dalam kehidupan sosial

Ilustrasi - Jubi/Pixabay.com
Ilustrasi – Jubi/Pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM

Read More

Homo homini socius (manusia adalah rekan bagi sesamanya). Demikianlah bunyi ungkapan khas Prof. Nicolaus Driyarkara (1913-1967) yang terkenal saat itu. Ungkapan tersebut adalah buah permenungan filosofis yang merupakan antitesis dari ungkapan Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) dari Thomas Hobbes.

Bagi Hobbes dorongan yang paling mendasar pada manusia adalah mempertahankan dirinya sendiri. Karena itu, sesama dilihat sebagai pihak yang mengancam diri orang lain atau pun sebaliknya. Tetapi Driyarkara persis sebaliknya, manusia bagi beliau adalah dia yang terdorong dari kodratnya untuk mencinta dan bersahabat dengan dunia, lingkungan, sesama, dan Tuhan (Driyarkara 2013: 3).

Berdasarkan kedua hipotesis di atas, dapat dirangkaikan bahwa keberadaan manusia tidak terlepas dari sesamanya. Tetapi yang menjadi titik persoalannya adalah bagaimana keberadaan manusia mempunyai pengaruh terhadap sesamanya, baik positif, maupun negatif.

Artinya bahwa hakikat manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai hubungan dan pengaruh dengan sesamanya. Hubungan tersebut yang dapat menciptakan sekaligus menyempurnakan hakikatnya sebagai makhluk sosial.

Terlepas dari itu, tampaklah suatu keterkaitan yang menjadi konektivitas manusia dengan sesamanya yakni pergaulan. Dalam hal ini pergaulan adalah salah satu bentuk pencarian jati diri manusia terhadap lingkungan ataupun sesamanya.

Pergaulan tersebut hendak didorong sekaligus didasari dengan interaksi dan komunikasi, karena elemen tersebut sebagai sarana untuk menyempurnakan jalinan relasi, sehingga penempatan posisi manusia sebagai makhluk sosial mesti didasari dengan adanya kesadaran akan identitas dirinya sendiri. Melalui posisinya tersebut hakikat sosial dalam dirinya akan terlihat jelas.

Mencari hakikat sosialitas

Seperti diperlihatkan sebelumnya, bahwa manusia didasari oleh kodratnya sebagai makhluk sosial. Itu berarti pencarian akan jati dirinya hanya dapat ditemukan dengan menjalin hubungan dengan sesamanya. Sesamanya adalah pelengkap untuk menyempurnakan hakikatnya. Inilah yang dinamakan dengan sosialitas (Johanes Narasetu 2013: 60).

Karena dalam ruang lingkup sosialitas, manusia dituntut untuk selalu berhubungan dengan sesama dan dapat menempatkan dirinya sebagai subjek. Artinya bahwa kehadiran dirinya lebih memperhatikan posisinya sebagai subjek atau pelaku yang dapat menciptakan jalinan relasi dalam ruang sosial. Inilah yang menjadi inti pokok dalam proses pencarian jati diri akan sosialitas.

Jean Paul Sartre, Filsuf Eksistensial asal Prancis, pernah mengatakan bahwa manusia sebagai pengada berbeda dari pengada lainnya karena ia memiliki kesadaran. Kesadaran tersebutlah yang membantu dan memberikan sebuah makna sekaligus tujuan dalam berelasi dengan sesama yang ada di sekitarnya.

Melalui jalinan relasi ini pula keberadaannya dapat didorong ke arah yang baik, karena sejatinya untuk membangun relasi yang baik dengan sesama bukan hanya didasari oleh dorongan dari luar saja, tetapi melalui kesadaran dalam diri manusia sendiri.

Karena kesadaran adalah keunikan yang hakiki dari pribadi manusia, maka dapat dirangkaikan bahwa sosialitas adalah suatu aspek atau momen seluruh hidup dan setiap perbuatan yang di dalamnya telah dinyatakan kebersamaan yang menyatu (Driyarkara 2013: 53). Hal ini dapat didukung dengan konektivitas manusia dengan sesamanya. Karena untuk dapat menyatu mesti adanya jalinan relasi dengan sesama yang ada di sekitar kita. Tetapi, terlepas dari itu, relasi tersebut bukan hanya struktur yang dapat menyatu tetapi juga mampu menopang keberadaan manusia dalam mencari hakikatnya (Driyarkara 2013: 61).

Melalui kenyataan inilah hendak ditekankan bahwa sosialitas bersifat tuntutan untuk menentukan kodrat manusia melalui jalinan hubungan dengan sesamanya. Proses itu akan menciptakan pergaulan yang dinamakan sebagai hubungan timbal balik antar manusia.

Aspek yang mendukung dalam pergaulan ini adalah adanya kontak dan komunikasi, sehingga pada akhirnya terciptanya interaksi. Tetapi ketiga elemen ini, yakni kontak, komunikasi, dan interaksi mesti didasari oleh bahasa, baik verbal, maupun nonverbal. Maka dapat dipahami pula bahwa sosialitas dapat tercipta melalui ketiga elemen ini.

Seni merangkai pergaulan

Salah satu tuntutan dasar dalam membangun relasi dengan sesama adalah adanya kesadaran yang lahir dari kedalaman hati untuk menjalin hubungan dengan sesama melalui bahasa. Bahasa inilah yang akan menjadi sarana komunikasi yang akan menciptakan relasi.

Peran bahasa menjadi sangat penting, karena bahasa, baik verbal maupun nonverbal dapat memberikan arti yang mendalam ketika menjalin hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, keberadaan manusia sebagai subjek sekaligus pelaku dalam menyempurnakan hakikatnya sebagai makhluk sosial mesti mempunyai keterampilan berbahasa yang baik.

Kecakapan berbahasa yang baik dalam berkomunikasi adalah dasar untuk mengarahkan alur pergaulan. Melalui bahasa akan menciptakan suatu proses komunikasi dan kontak dalam pergaulan. Dalam hal ini bahasa mempunyai pengaruh terhadap pergaulan. Tetapi sebagai suatu seni, bahasa juga mampu mempengaruhi proses pergaulan melalui kontak dan komunikasi.

Dalam konteks ini seni adalah keindahan bahasa dalam mempengaruhi dan menciptakan kekuatan berkomunikasi (power communication). Artinya bahwa bahasa dapat menciptakan komunikasi sedangkan komunikasi mampu merangkai pergaulan. Melalui keniscayaan inilah bahasa dapat dimaknai sebagai seni merangkai pergaulan. Dan pola komunikasi itu mencakup seluruh tingkah laku komunikasi yang memungkinkan (Franz Josef Ellers, 2001: 2).

Dalam komunikasi terdapat proses persepsi atau pemaknaan yang sangat menentukan dalam penerimaan dan penyampaian pesan, juga dalam proses pengambilan keputusan yang mendasari suatu tindakan dan perilaku (Nina W. Syam, 2010 :228). Di samping itu menurut Larson (Dalam Bostrom, 1984: 19) kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan untuk memperjuangkan pengetahuan mengenai perilaku komunikasi yang secara sosial dengan situasi yang ada. Karena kemampuan berkomunikasi dapat menjadi kemampuan untuk menunjukkan cerminan pikiran, hati, dan tindakan. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi mencakupi hal-hal berikut ini (Franz Josef Ellers, 2001: 21).

Pertama, komunikasi mampu mendapatkan keterampilan dalam bertingkah laku sehingga terciptanya kualitas sikap dalam situasi sosial;

Kedua, komunikasi mampu mendapatkan kemampuan kognitif secukupnya tentang proses tuntutan situasi yang terdapat dalam setiap tingkah laku komunikasi;

Ketiga, komunikasi dapat mengembangkan jawaban positif yang efektif terhadap keterampilan berkomunikasi. Inilah yang dimaksudkan sebagai kemampuan. Konsep kemampuan berasal dari dunia bahasa (Frans Josef Ellers, 2001: 22).

Dengan demikian, kemampuan berarti sesuatu yang mampu dan bisa menguasai bahasa untuk menghasilkan keterampilan berkomunikasi yang baik. Konsep linguistik inilah setidaknya diperluas lebih jauh dari bahasa, yaitu menjadi komunikasi pada umumnya, sehingga dengan mudah terciptanya pergaulan. Pergaulan dalam hal ini adalah pengejawantahan dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial melalui bahasa dan komunikasi.

Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk sosial dapat diejawantahkan melalui keterampilannya dalam mengungkapkan bahasa sehingga terciptanya komunikasi. Melalui proses tersebut hakikat sosialitasnya dapat disempurnakan. Karena kecakapan berbahasa dalam berkomunikasi adalah dasar untuk menentukan arah jalannya pergaulan.

Dalam berkomunikasi hendaknya jalinan pergaulan dapat diarahkan ke arah yang lebih baik. Hal ini mesti didasari oleh rasa kesadaran untuk menunjang keberlangsungan pergaulan yang baik. Hakikat sosialitas dapat dirangkaikan dalam bentuk komunikasi dan pergaulan dengan sesama. (*)

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply