Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yosep Riki Yatipai
Desember merupakan bulan berahmat bagi umat Kristiani. Pada bulan ini mereka menantikan Sang Mesias (yang diurapi) sebagai pembebas bagi umat manusia dari penderitaan, perbudakan, dan kekejaman dunia. Bangsa Israel adalah bangsa yang dijanjikan oleh Allah untuk memberikan pembebas bagi bangsa-Nya dari perbudakan.
Penantian umat beriman berpuncak pada kelahiran Yesus dari Nazaret, lahir di kandang hina sebagai bentuk solidaritas-Nya kepada manusia. Ia lahir dari perawan Maria dan Yosep keturunan raja Daud. Peristiwa ini menjadikan Desember sebagai bulan berahmat. Seluruh umat Kristiani memberikan dirinya bersama keluarga dan persekutuan umat sebagai bentuk penyerahan hidup kepada Allah melalui Putra-Nya. Untuk itulah, kelahiran Yesus menjadi puncak kerinduan akan pembebasan.
Bulan ini juga kita dikagetkan oleh penangkapan saat peribadatan sedang berlangsung. Minggu pagi (1/12/2019), empat mahasiswa Papua (Marvin Yobe, Desepianus Dumupa, Paul Hilapok dan Devion Tekege) ditangkap dalam gereja saat sedang mengikuti misa di Paroki Gembala Baik Abepura lantaran membawa bendera Bintang Kejora saat beribadah, selain merias tubuhnya dengan gambar bercorak Bintang Kejora dan menggunakan koteka.
Sekitar 112 orang telah ditangkap di beberapa kota di Provinsi Papua dan Papua Barat menjelang 1 Desember 2019. Sebagian dari mereka kemudian ditetapkan sebagai tersangka makar oleh polisi karena merencanakan pengibaran bendera Bintang Kejora (Jubi, 6 Desember 2019).
Desember menjadi bulan yang tidak terpuji di hati umat Allah dan tidak profesional dalam penanganannya oleh polisi. Pembunuhan yang paling keji ialah ketika iman umat dilecehkan dengan tindakan hukum negara yang semena-mena.
Dengan kata lain, ada anggapan meremehkan institusi Gereja dan rumah iman umat. Penangkapan di dalam gereja merupakan tindakan tidak wajar. Tindakan menangkap umat di sela-sela sedang beribadah ialah tindakan tidak berperikemanusiaan dan tidak menghargai iman umat beriman. Sebab, alasan penangkapan adalah karena menggunakan atribut yang diwarnai Bintang Kejora.
Salah satu mahasiswa—Malvin Yobe—ditahan setelah menerima komuni suci di tempat duduknya. Polisi menggunakan pakaian preman dan masuk ke gereja untuk menangkap dan memaksa Malvin keluar dari gereja.
Setelah itu disusul tiga mahasiswa lainnya yang ditangkap dan dibawa ke kantor Polsek Abepura—persis bersebelahan dengan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura dan Kantor Pos Abepura.
Kondisi ini sungguh mengganggu ketenangan dan keheningan umat yang mengikuti misa minggu pertama masa adven. Pastor Paroki Gembala Baik RD James Kossay tidak mengetahui keberadaan polisi di gereja.
“Saat penangkapan ada sekitar 20 aparat dengan pakaian preman dan seragam memasuki gereja. Hal itu membuat umat yang sedang beribadah, panik,” katanya (Jubi, 6 Desember 2019).
Dia juga tidak mengizinkan penangkapan 4 orang di dalam gereja dalam bentuk apapun. Dia membantah pemberitaan sejumlah media yang menyatakan dirinya mengizinkan polisi menangkap empat mahasiswa yang membawa bendera Bintang Kejora dalam misa Minggu (1/12/2019). Dia menegaskan, dirinya tidak pernah memberikan izin dalam bentuk apapun bagi polisi untuk menangkap keempat mahasiswa yang sedang beribadah Minggu itu (Jubi, 4 Desember 2019).
Penangkapan terhadap empat mahasiswa Papua merupakan penangkapan sepihak dan semena-mena; tanpa mengikuti aturan. Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay (yang memberikan bantuan hukum kepada keempat mahasiswa) menyesalkan penangkapan kliennya dilakukan di dalam gereja.
“Ini operasi tangkap tangan, tetapi problemnya mereka dipegang dalam gereja. Ini menjadi persoalan,” katanya (Jubi, 4/12/2019).
Pastor James mengatakan, penangkapan dengan menarik umat keluar dengan menggunakan pakaian biasa seperti sedang mengikuti misa. Persis dilakukan di dalam gereja saat misa sedang berlangsung, sehingga klarifikasi Uskup Jayapura mesti dikoreksi lagi. Pernyataan itu mengganggu pola pikir publik. Uskup menyatakan bahwa polisi tidak menangkap keempat mahasiswa itu saat misa berlangsung. “Keempat orang itu tidak ditangkap dalam gereja waktu misa. Sesudah misa, waktu keluar, barulah polisi bawa mereka ke kantor polisi. [Mereka dibawa ke kantor polisi] untuk dimintai keterangan,” katanya (Jubi, 4/12/2019).
Pernyataan ini sepihak dan menjaga image aparat. Sangat disayangkan bahwa seorang Gembala memberikan pernyataan keliru dan mengkhianati iman umat. Apakah salah mahasiswa menggunakan atribut budayanya dari pada umat yang menggunakan celana pendek dan duduk di luar menunggu mereka untuk ditangkap saat Adven itu?
Semangat anak muda Papua mesti dihormati, bukan dibungkam
“Beri aku 1.000 orangtua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia. Seribu orangtua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.” Demikian kalimat fenomenal yang pernah diucapkan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.
Pernyataan fenomenal ini mau memberikan perhatian khusus dan serius kepada anak muda yang memiliki andil untuk masa depan yang lebih baik dan benar.
Gereja adalah tempat Allah hadir bersama-sama dengan umat beriman. Segala suka dan duka diserahkan dalam persekutuan iman umat kepada Kristus sebagai Imam Agung. Mungkin saja atribut Bintang Kejora yang digunakan oleh keempat mahasiswa merupakan kerinduan dan harapan mereka akan suatu pembebasan, sehingga hal ini mesti dihargai dan dihormati oleh siapapun.
Sebagai rumah Allah yang agung dan mulia, sangat disayangkan ketika Gembala umat mengamankan kepentingan aparat. Di mana keberpihakan Gereja? Bukankah gereja hadir karena keberadaan umat? Mengapa semangat anak muda mesti dihormati? Karena anak muda tidak memiliki trauma masa lalu seperti orang tua mereka yang terlibat langsung dalam situasi intimidasi, teror, dll. di Papua, tetapi membangun masa depan yang kolaboratif, inklusif dan tanpa intrik, intimidasi atau drama; masa depan yang mencerahkan, memberdayakan, merangkul, dan bermanfaat demi kebaikan bersama.
Dengan itu, mereka mampu menjadi warga bangsa yang unggul. Dengan kata lain, anak muda memiliki daya dan gerak tersendiri untuk menentukan masa depan dan nasibnya sendiri.
Kesejahteraan umum adalah keputusan konstitusi negara yang adil dan beradab. Semangat anak muda adalah pemegang keberanian dan optimisme untuk membangun dan menghidupkan sikap kritis terhadap kehidupan bersama. Mereka juga selalu mencari dalam dirinya apa yang bisa disumbangkan bagi diri, keluarga, dan bangsanya.
Semangat anak muda benar-benar lahir dari rahim penderitaan. Suara mereka juga berasal dari suara kaum tak bersuara; suara yang berasal dari sudut-sudut kota, persimpangan jalan, dan suara jerit tangis mama-mama di pasar, kebun, dan di mana saja.
Dengan demikian, umat Allah yang mengenal kasih, hendaknya mampu menatap rasa hormat (sense of honesty/respect) sebagai satu sikap utama dalam kehidupan bersama. Hal ini tidak dapat dilihat/diraba dengan pancaindra, tetapi melalui hati nurani yang baik dan benar. Semangat anak muda memahami dirinya dengan caranya sendiri, sehingga tidak heran untuk memberikan rasa hormat kepada kehendaknya yang bebas. Dengan kata lain, anak muda menjadi corong untuk saling memberikan rasa hormat akan kebebasan yang bertanggung jawab demi kebaikan bersama. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura.
Editor: Timoteus Marten