Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Elvira Rumkabu
“Setiap hari mama bangun jam 3 pagi, masak dan taruh makanan di atas meja, langsung ke pasar (untuk) [ber]jualan. Pulang dari pasar, suami paksa berhubungan badan. Biar mama cape tapi ikut saja, kalau tidak, nanti mama dapat pukul,” kisah mama Orpa.
“Dong bilang Papua ini ada uang otonomi khusus, tapi mama rasa hidup ini tambah susah,” keluhnya lagi sambil sesekali menghapus air matanya.
Saya hanya bisa diam saat mendengar kisah mama Orpa. Malam itu Wamena terasa lebih dingin.
Di Pasar Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, mama Penina mengeluhkan tempat jualannya.
“Sa jualan hanya alas karung saja. Siang itu panas sekali karena tidak ada atap atau seng yang tutup, hanya terpal saja. Paling susah kalau hujan, tempat jualan ini becek sekali karena tenda sudah bolong. Tidak ada bantuan dari pemerintah, paitua (suami) juga tidak bantu,” kata mama Penina sembari menunjuk tenda yang sudah usang dan tidak layak pakai.
Kisah-kisah ini sering kali kita dengar karena ada di sekitar kita. Akan tetapi, narasi mereka tidak boleh dianggap normal karena pengalaman tersebut adalah bentuk kekerasan yang hadir secara eksplisit maupun laten. Untuk menghentikan kekerasan, maka wajahnya harus kita kenali.
Tokoh resolusi konflik, Johan Galtung mendefinisikan kekerasan secara mendalam. Menurutnya, kekerasan bukan hanya tindakan menyakiti fisik seseorang, tapi merujuk pada semua jenis rintangan yang membatasi seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mendapatkan akses ke sumber daya maupun kesempatan yang ada.
Ada tiga jenis kekerasan, yakni kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Jenis kekerasan pertama mengandung elemen fisik dan dapat dilihat sehingga jelas siapa pelaku dan korbannya. Bentuk kekerasan ini dapat berupa penyerangan, pembunuhan, kekerasan verbal, manipulasi, bullying, objektivikasi, dan kekerasan seksual.
Kekerasan struktural merujuk pada bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dibangun di dalam struktur, baik yang lebih kecil, maupun yang lebih luas. Kekerasan struktural ini dilanggengkan melalui ancaman, manipulasi, penggunaan kekerasan langsung, represi, hoaks, distorsi informasi di media, dan kebijakan-kebijakan negara yang tidak adil.
Salah satu kekerasan struktural mematikan adalah politik Apartheid di Afrika Selatan. Kebijakan politis ini bertujuan untuk memisahkan masyarakat kolonial kulit putih dan Afrika yang berkulit hitam.
Kekerasan ketiga adalah kultural yang lahir dari budaya, kepercayaan, adat, maupun praktik dalam masyarakat yang memberikan legitimasi, bahkan membuat kekerasan langsung dan struktural menjadi wajar, normal, dan dapat dibenarkan.
Dalam contoh Afrika Selatan, kebijakan apartheid bertahan selama beberapa dekade karena kolonial Eropa percaya bahwa kulit putih berada dalam posisi superior dibandingkan dengan kulit hitam. Oleh karena itu, kebijakan struktural ini dibuat untuk membatasi kulit hitam dalam memiliki akses yang sama dengan kelompok kulit putih. Ketiga kekerasan ini saling terhubung dan memperkuat satu dengan yang lainnya.
Kekerasan yang dialami mama Orpa bukan hanya kekerasan terhadap fisik dan psikisnya. Kekerasan seperti ini dilestarikan dengan pandangan masyarakat bahwa perempuan harus tetap melayani kebutuhan suami meskipun beban kerjanya sudah berlapis-lapis. Patriarkis dalam struktur dan budaya masyarakat mengizinkan dominasi laki-laki dalam menentukan keputusan atas tubuh perempuan dan agensinya sebagai pembuat keputusan. Dengan adanya struktur dan kultur pro kekerasan di masyarakat, perempuan seperti mama Orpa menginternalisasi kekerasan sebagai hal yang tidak terhindarkan, bahkan sebagai kewajaran dalam relasi suami istri.
Demikian juga dengan mama Penina yang tidak hanya menjadi korban penelantaran suami, tapi juga kekerasan struktural karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak (pada perempuan). Seharusnya negara hadir dengan membuka kesempatan ekonomi yang sama bagi mereka yang terpinggirkan—akses terhadap modal, sarana prasarana layak, kredit usaha, sampai kepada lapangan pekerjaan alternatif lainnya di luar pasar. Akan tetapi, keberadaan mama-mama di pasar dianggap sebagai sebuah keadaan yang ideal, sehingga kita membiarkan mereka tetap berada di dalam pasar. Padahal, tidak semua perempuan Papua yang berjualan memilih menjadi pedagang. Banyak di antara mereka tidak memiliki pilihan lain.
Seorang antropolog Papua pernah mengatakan bahwa daya tahan orang Papua adalah di luar pasar karena orientasi mereka adalah sosial dan bukan orientasi bisnis yang bertujuan mencari keuntungan. Akibatnya dalam pasar pun, mereka akan tersingkir dan kalah bersaing dengan pedagang non-Papua.
Kekerasan juga menunjukkan wajahnya melalui kebijakan keamanan yang sangat maskulin. Penderitaan perempuan Nduga yang harus mengungsi dari rumah sendiri karena kehadiran aparat keamanan dan konflik bersenjata menunjukkan kekerasan negara yang terstruktur. Menurut data tim kemanusiaan Nduga, konflik telah mengakibatkan 182 korban tewas, terdiri atas 17 bayi perempuan, 8 bayi laki-laki, 12 balita laki-laki, 14 balita perempuan, 20 anak laki-laki, 21 anak perempuan, 21 perempuan dewasa, dan 69 orang laki-laki dewasa.
Meski perempuan tidak menjadi aktor dalam konflik Nduga, mereka menjadi kelompok paling terdampak. Parahnya, pandangan negara yang melihat akar persoalan Papua sebatas separatisme, telah diinternalisasi oleh struktur masyarakat kita. Akibatnya, empati kita dimatikan sehingga kita tidak bersuara untuk perempuan Nduga yang kemanusiaannya sedang dilucuti tepat di depan mata kita.
Tidak mudah menghentikan kekerasan langsung, structural, dan kultural yang dialami perempuan Papua. Tapi penting untuk memahami dan menguak wajah kekerasan tersebut. Agenda-agenda yang pro terhadap kepentingan perempuan Papua dan gerakan pembebasannya atas penindasan patriarkis maupun kekerasan negara harus didukung. Berbagai ketimpangan sosial yang membatasi perempuan juga harus dikurangi melalui kebijakan negara yang berpihak.
Oleh karena itu, narasi perempuan atas ketertindasan yang menghimpit tubuhnya maupun hak-haknya perlu disuarakan. Ketika perempuan Papua berjuang dalam diamnya, maka kita yang harus bertanya dan mendengarkan pergumulannya. Membiarkan mereka dalam kesendiriannya adalah bentuk kekerasan karena menganggap penderitaannya sebagai suatu kewajaran. (*)
Penulis adalah akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih
Editor: Timo Marten