Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Sebastianus Ture Liwu
Perspektif Walter Benyamin
“Ketika ingatan menjadi penuh beban, ia mencari kebisuan yang dalam” (Khalil Gibran).
Fenomena menarik sekarang ini memperlihatkan kepada kita semua bahwa para pejabat pemerintah bersama pihak keamanan NKRI mulai tertular penyakit amnesia (lupa ingatan). Mereka mengungkapkan ekspresi lupa di atas tragedi kemanusiaan.
Sejarah kekuasaan mereka pun meninggalkan segudang air mata negeri dalam bilik museum kehidupan. Semua kisah itu terkubur mati di balik topeng kehidupan memberikan kesan bahwa wajah bangsa Indonesia semakin estetik ketika bertopeng kekerasan. Bangsa ini, telah mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, mereka akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap (Act 28:26 ITB).
Kekerasan telah mengunci pikiran hingga pejabat tinggi dan aparat keamanan terkena serangan penyakit lupa (hilang ingatan). Ingatan pendek mereka selalu menghantui diri untuk selalu menguburkan masa lampau dengan tetesan darah rakyat.
Di bagian bawah Patung Tani (suatu ekspresi semangat kolaborasi antara rakyat dan pahlawan pada masa revolusi fisik merebut kemerdekaan negara), ada ungkapan perhatian dari “Rakyat” yang dipersonifikasikan dalam sosok perempuan, yang memberikan sesuatu, bahu-membahu, dukung-mendukung, sehingga ‘pahlawan itu menjadi kuat’ dalam mengalahkan musuh dan sanggup menegakkan kemerdekaan. Pada Bundaran Menteng tertulis kata-kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghormati pahlawannya”. Kata-kata peneguh lainnya menyatakan, “siapa yang lupa akan yang indah, dia akan menjadi jahat. Siapa yang lupa akan yang buruk, dia akan menjadi dungu. ”Beliau mengajak kita agar mengingat dan menghormati ‘sesuatu’ yang menjadi bagian dari kehidupan kita, Aku adalah engkau dan engkau adalah aku. Jadi kalau aku sakiti dirimu, diri engkau, berarti aku sakiti diriku sendiri. Kalau aku buat dirimu senang, berarti aku membuat diriku sendiri menjadi senang” (Soekarno).
Ingatan memiliki peran untuk mendekatkan subjek si pengingat dengan subjek yang diingat. Ingatan selalu membebaskan, bukan sebaliknya membelenggu. Orang yang menolak masa lalu dan menguburkannya berarti dia belum pandai mengolah masa lalunya yang buruk. Sikap empati dari si subjek (pengingat) akan mudah menjadikan dirinya otonom, bebas, solider dan bertanggung jawab terhadap ingatannya.
Seorang manusia yang kehilangan ingatan disertai dengan kesengajaan, misalnya menyirnakan dokumen-dokumen penting masa lalu, arsip, monumen, manuskrip, pasti selalu mengatasnamakan kekerasan. Tetapi kita perlu ingat kata-kata Lao Tse, “Prajurit yang terbaik adalah prajurit yang tidak berperang” atau bahkan menggunakan kekerasan untuk memerangi situasi yang damai.
Walter Benyamin dan ingatan (memoria)
Walter Benyamin lahir di Berlin, 15 Juli 1892; dan mati (karena bunuh diri), 27 Desember 1940 di Port Bou, di wilayah perbatasan Prancis dan Spanyol. Usia Benyamin dikatakan pendek sehingga pengaruh karya-karyanya tersebar setelah kematiannya. Pokok pemikiran teologi politiknya adalah ingatan.
Kata ingatan tentu merupakan ada sesuatu yang membekas di masa lampau kita. Walaupun kita tidak mampu melewati dua kali pada aliran waktu yang sama, “aku” yang kini merupakan bentukan, dan perkembangan yang wajar “aku” masa lampau, sehingga masa lampau menjadi bermakna karena masa itu merupakan kemampuan historis masa-masa selanjutnya. Sekarang “aku” berdiri dari masa yang berbeda namun masih dalam jalur perputaran waktu yang sama. Dengan kata lain masa laluku tidak berdiri sendiri dan tidak otonom, seakan-akan tidak sangkut paut dengan masa kini.
Bagi Benyamin, masa lalu merupakan daya kekuatan (potensi) untuk sejarah masa kini dan masa depan. Masa lalu merupakan gambaran yang terpantul dari sebuah cermin kehidupan untuk menatap masa sekarang dan selanjutnya.
Kekuatan mesianik melampaui waktu
Manusia hidup dalam waktu yang linear, selalu berada dalam arus waktu yang membawa kemajuan dan perkembangan budi yang menghasilkan perubahan yang tidak mengenal batas akhir dan tidak pernah akan selesai. Tetapi Benyamin memiliki gagasan untuk menghentikan laju kemajuan dan perkembangan yang sedang menuju kekosongan dengan mematahkan kontinuitas sejarah.
Metafor yang dikembangkan oleh Benyamin tentang kehidupan masyarakat modern sangat bergantung pada arloji. Dengan memakai arloji, manusia dapat mengukur: waktu, prestasi, produksi, dan peningkatannya. Dari jam ke jam juga orang dibawa kepada suatu kebaruan tetapi kepada pengulangan yang tanpa isi.
Disamping sebagai alat pengukur, arloji itu alami dan buatan manusia yang mampu melestarikan pandangan waktu yang homogen dan kosong. Benyamin kemudian mengatakan bahwa di balik arloji itu ada kekuasaan yang tidak dapat diganggu-gugat yaitu kekuatan Mesianik.
Nyata bahwa kekuatan manusia terbatas karena itu membutuhkan kemampuan khusus, daya, kekuatan mesianik sebagai penanding untuk menghancurkan waktu yang homogen dan kosong itu. Jika kekuatan-kekuatan ini dimiliki oleh manusia, maka ada kemungkinan untuk membebaskan dirinya dari “penjara” yang menyekap dirinya. “Penjara” itu sistem waktu yang menindas. Kekuatan mesianik mengatasi setiap masa karena itu benar juga dalam arti tertentu kita mengatakan bahwa masa lampau belum selesai, karena masa lampau menyimpan harapan sekaligus tuntutan yang perlu dipenuhi masa kini. Baginya, mereka yang pernah menderita dan tertindas pada masa lampau memiliki daya penggerak bagi masa kini.
Masa kini, kita memiliki waktu menyadari sesungguhnya kehidupan bersama orang lain yang berada bersama kita. Seharusnya kebahagiaan telah kita nikmati pada masa lampu. Tetapi itu tidak! Singkatnya masa lampau menjadi pejuang masa kini. Kebahagiaan masa kini menjadi nyata ketika kita menginterpretasikan masa lalu.
Memoria pasionis Papua yang “menjadi”
Benyamin kiranya sepaham dengan sebuah pepatah, “bau bangkai yang telah termakan usia, tersembunyi dalam rahim istana negara Indonesia akan tercium oleh rakyat pecinta keadilan”. Demikian pepatah yang membuka jalan bagi kita untuk memahami betapa berartinya jeritan rakyat Papua yang tidak pernah berakhir. Kita yakin bahwa kekuatan mesianik yang akan mengakhiri semuanya lewat cara kita menghormati masa lalu. Demikian rahasianya Bung Karno mengajak kita memahami sejarah Indonesia menjadi negara yang merdeka.
Bung Karno pernah mengajak kita memahami masa lalu karena masa lalu mengandung makna perbuatan-perbuatan besar. Beliau hanya sepintas menggajak kita membaca cerita-cerita, baik legenda maupun epos, seperti Si Maling Kundang dan Maha Brata. Hampir dalam seluruh kehidupannya Ir. Soekarno tidak pernah menyebut mengenai fakta historisnya ketika berada di Mapia, Kabupaten Dogiyai, Papua.
Saya berpikir bahwa fakta historis Soekrano ini tidak pernah diceritakannya. Rahasia ini sekarang mengais banyak korban sebagai gambaran masa lalu yang menumpuk hingga saat sekarang.
Demikian cerita historis penangkapan patung di kampung Mapia:
“Pada bulan Desember 1935, Rombongan Expedisi Byimer dari Pronggo (sesuai dengan informasi dan petunjuk dari AUKI TEKEGE, seorang pemuda berkoteka yang menerima para misionaris pertama di daerah kampung Modio, Kabupaten Dogiyai, Papua) menuju sungai lhago dan berjalan kaki menuju pegunungan Mapia. Rombongan Expedisi Byimer dipimpin oleh Pastor TILLEMANS, MSC. Pada rombongan itu diikutsertakan Ir. Soekarno sebagai koki bagi rombongan itu.
Tanggal 25 Desember 1935, rombongan tersebut mengadakan perayaan Natal yang dipimpin oleh P. TILLEMANS, MSC di puncak gunung Atopugi dengan ketinggian 30 Km dari kampung Modio.
Tanggal 26 Desember 1935, rombongan Byimer tiba di Modio dan diterima oleh AUKI bersama tokoh-tokoh adat yang lainnya. Pada saat itu AUKI mengirim orang Modio membawa berita kepada orang Kamu, Tigi, Paniai, dan Moni. Selama satu bulan mereka menunggu kedatangan orang dari Kamu, Tigi, Paniai, dan Moni.
Dr. Byimer mengadakan penelitian tentang bentuk badan, kehidupan dan budaya orang pegunungan. Sedangkan P. TILLEMANS, MSC mengadakan pendekatan dengan orang-orang di sekitarnya sambil belajar bahasa Mapia (Mee) dan Ir. Soekarno sibuk di dapur menyiapkan makanan bagi rombongan expedisi.
- TILLEMANS, MSC meminta kepada AUKI TEKEGE supaya mereka bermalam di atas bukit satu atau dua malam. Permintaan itu dikabulkan oleh AUKI. Kemudian AUKI menjelaskan bahwa gunung itu adalah gunung keramat karena itu disuruhnyalah masyarakat untuk menyiapkan 1 ekor babi dan makanan secukupnya. Sehabis bunuh babi, masak dan makan bersama, Ir. Soekarno pergi mencuci piring di sebuah kolam yang tidak jauh dari tempat peristirahatan mereka. Sementara mencuci, tiba-tiba ia melihat sebuah BONEKA sementara bergerak dekat cuciannya lalu diambilnya dan dimasukan dalam jacket yang dipakainya. Pada saat ia pulang, turunlah hujan, angin, guntur, kilat sehingga tenda mereka terbongkar dan pohon-pohon di sekitar tenda tumbang sana-sini.
- TILLEMANS, MSC kemudian bertanya kepada Ir. Soekarno, Apa yang kamu buat sehingga terjadi peristiwa ini? Namun, Soekarno tidak menjawabnya dan menyembunyikan boneka itu dalam jaketnya. Peristiwa angin ribut, guntur disertai kilat terus terjadi hingga pagi hari. Setelah turun dari gunung, BONEKA itu dipindahkan di dalam tas lalu dikunci rapat-rapat.
Beberapa lama kemudian tibalah sekelompok orang dari Kamu, Tigi, Paniai, dan Moni di Modio. Mereka duduk bersama mengadakan pertemuan. Seusai mengadakan pertemuan itu, Ir. Soekarno berpisah dari mereka semua dan pulang ke tanah asalnya (Jawa) membawa benda (BONEKA) yang diambilnya pada waktu di gunung, yang kemudian digunakan sebagai modal kehidupan Bangsa Indonesia sampai saat ini. (Natalis Kotouki, A.Ma.Pd., Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Mapia-Pisaise serta Perkembangannya, hlm. 2-5).
Melalui ringkasan fakta sejarah di atas, memoria membuat kita mengerti, bahwa antara generasi terdahulu dan sekarang sebenarnya ada kesepakatan diam-diam, bahwa “mesias” kita ini sebenarnya dinantikan dunia dan bahwa di dalam kita sebenarnya ada kekuatan mesianik untuk mengubah dunia dan sejarah.
Masa lalu orang-orang yang tertindas dan menderita menyimpan bahan peledak bagi sejarah. Jika bahan itu meledak dalam masa kini, sejarah akan berjalan dalam kualitas baru. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa bahan peledak (BONEKA) yang disembunyikan Ir. Soekarno merupakan titik berangkat sejarah yang mewarnai tragedi kemanusiaan dan kerusakan lingkungan alam di Papua. Pembunuhan dan kekerasan (yang) meraja di Papua dilandasi oleh sikap awal yang tidak beretika yang dimaknai oleh Ir. Soekarno sejak BONEKA di Mapia diambilnya.
Sikap yang kurang jujur, kurang terbuka, tidak toleran, dan nafsu menguasai akan selalu menabur benih kehancuran dalam tubuh negara Indonesia. Jadi, peledak yang lalu tersembunyi akan meledak dengan sendirinya berkat kuasa mesianik. Karena Mesias tidak pernah meninggalkan bangsa-Nya berdiam dalam kekelaman masa. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT FajarTimur Abepura, sedang praktek kerja lapangan
Editor: Timo Marten