Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Kepergian mendiang Uskup Keuskupan Timika, Mgr. John Philips Gaiyabi Saklil, Pr. meninggalkan duka mendalam bagi banyak orang. Selain umat Katolik, masyarakat di Tanah Papua ikut kehilangan sang Gembala, ada juga beberapa tanggapan dari lembaga hukum di Tanah Papua dan Papua Barat.
Direktur LP3BH Manokwari, Yan, C. Warinussy, menilai kepergian tiba-tiba sang Uskup itu tidak wajar. Sebab almarhum tidak sebelumnya tidak pernah terdengar kabar sakit, tapi jatuh dan tiba – tiba wafat.
Selain mendiang Uskup Saklil, ada juga beberapa imam Katolik yang meninggal dunia secara mendadak. Seperti mendiang Pastor Nato Gobai, jatuh tiba – tiba dan meninggal. Mereka ini mengalami hal hampir sama.
“Kalau kawan saya Pater Neles (sebelum meninggal) kan pernah sakit. Tapi Pater Nato dan Uskup ini kan tidak.; kematian memang pasti ada, tapi ini saya rasa ganjal,” ungkap Warinussy via selulernya kepada Jubi di Nabire. Minggu (04/08/20119).
Warinussy mengaku kenal Uskup Saklil sudah cukup lama, walaupun tidak bertemu setiap hari. Dan pada pertemuannya dengan sang Uskup pada 22 Desember 2018 silam dan memberikan update tentang kepada beliau sebagai uskup di Timika.
Kala itu, LP3BH mendapat rekomendasi untuk bertemu Mendiang Uskup Saklil sehubungan dengan langkah hukum yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK), dalam mempersoalkan UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang pembentukan Provinsi Irian Barat, sebab UU tersebut di dalamnya ada frasa – frasa yang memuat dan mengesahkan (dalam tanda petik) tentang berlangsungnya Pepera yang terus menjadi polemik di Papua.’
Almarhum Saklil terus mengingatkan tentang persoalan tanah. Sebab orang Papua bisa ditindas, dengan berbagai cara karena tanah. Tanah mengandung sumber daya alam, ada hutan, ada sungai, ada emas dan ada manusia.
“Waktu itu banyak berbincang, mendiang Uskup banyak memberikan pandangan – pandangannya yang luar biasa, termasuk membicarakan soal tanah dan beliau lebih banyak fokus tentang tanah. Kami juga menbahas tentang langkah – langkah hukum yang lebih luas dan pasti punya dampak politiknya,” kisah penggiat HAM ini.
Di mata Yan Warinussy, mendiang Uskup Saklil adalah contoh bagi Gereja Katolik di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Papua. Ia(almarhum) berani membela umatnya dan membela Rakyat Papua secara keseluruhan.
Warinussi pun terkejut ketika dengar kabar duka ini. Dia sedih sebab kehilangan seorang teman dan rekan kerja. artinya sesama pejuang untuk menegakkan hukum dan melindungi HAM bagi banyak orang Papua, sama seperti Mendiang Pater Neles Tebai dan lainnya.
“Berjuang bagi mereka yang tertindas di Negerinya tapi melalui lini yang berbeda. Almarhum di gereja dan sebagai pekerja HAM biasa,” kenang Warinussy.
Sebagai manusia lanjut Yan Warinussy, kematian Sang Uskup adalah misteri. Ia pun mengusulkan agar gereja Katolik harus menyelidiki.
“Kalau almarhum misalkan sakit beberapa hari baru wafat, ya kita bisa memaklumi. tapi tiba – tiba selesai pimpin rapat lalu ke luar jalan di sekitar kapel kemudian jatuh di bawah ke RS dan meninggal. Bagi saya ini misteri,” ujarnya.
Menurutnya, Gereja Katolik kehilangan salah satu tokoh yang luar biasa. Uskup Saklil dibesarkan di tengah – tengah orang Kamoro dan orang Amungme, hingga menjadi pemimpin Gereja yang diterima dengan baik dan sangat dihormati.
Maka menurutnya, ke depan harus dipersiapkan seorang pastor yang baik dan bisa seperti almarhum. Karena keuskupan Timika berada di tengah – tengah satu pusaran ekonomi dan politik yaitu kehadiran Freeport. Dia menilai kehadiran Freeport tidak memberikan kemaslahatan bagi orang Kamoro, Amungme dan Papua keseluruhan yang kehilangan SDA dan haknya.
“Jadi saya kira, Gereja Katolik harus mendapatkan figur pastor yang benar – benar sama dengan Uskup Saklil. Umat Katolik harus bangkit dan mendesak diinvestigasi,” terangnya.
Lembaga Bantuan hukum (LBH) Papua menilai, almarhum Uskup Saklil adalah seorang penggagas, pemberani. Salah satunya adalah melalui “Gerakan Tungku Api” .
Kata ketua LBH Papua, Emanuel Gobai, gagasan almarhum secara langsung menunjukkan kerja – kerja bantuan hukum struktural, sebagaimana yang dilakukan LBH Papua melalui pendekatan pengorganisiran, penguatan anggota organisasi, pelibatan anggota organisasi dalam penanganan kasus serta mendorong perubahan hukum yang pro terhadap masyarakat miskin, buta hukum dan marginal di Papua.
“Atas dasar itu, sekali pun Bapak Uskup telah tiada, namun misi ‘Gerakan Tungku Api” akan terus dijalankan oleh LBH Papua sebagai satu kesatuan dalam gerakan bantuan hukum struktural,” pungkasnya.(*)
Editor: Syam Terrajana