Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
BENTANG alam sekira 50 hektare di Nabire tak hanya disulap menjadi lokasi wisata. Sekelompok pemuda juga mengelola tempat ini untuk mengajak masyarakat Papua agar senantiasa menjaga dan melestarikan alam.
Namanya Batu Gantung. Berada di kawasan Kampung Kimi, Distrik Teluk Kimi, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua.
Batu Gantung dikelola secara swadaya. Baru dikerjakan sejak beberapa bulan lalu. Oleh sebab itu, belum bisa diakses masyarakat luas. Pengerjaannya pun belum final dan ditaksir dibuka untuk umum pada Februari 2019.
Ketua Tim Pemuda Kampung Kimi, Tomas Marey, bercerita awalnya mereka diberangkatkan ke Desa Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, untuk melakukan studi banding.
Di Dlingo mereka mempelajari keunikan, pesona wisata alam, dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sekembalinya dari Bantul, Marey dan kawan-kawan berinisiatif mengelola Batu Gantung di Kampung Kimi.
“Kami sudah ke sana, lihat. Desa itu tidak punya apa-apa, tapi sangat maju dengan dengan wisata alam, padahal daerahnya bebatuan,” ujar Marey kepada Jubi di Nabire, Kamis, 17 Januari 2019.
Marey membandingkan alam desa Dlingo yang gersang dan dipenuhi bebatuan. Namun desa ini sangat maju dan dikelola dengan baik. Di sisi lain, alam Papua, khususnya kampung Kimi mempunyai alam dan hutan yang indah, tapi tidak dikelola dengan baik.
“Kami sudah belajar di sana dan ingin kembangkan di kampung sini karena potensi ada, alamnya memungkinkan,” kata Marey lagi.
Dari situ timbul niat Marey. Dia dan kawannya, Nanang, lantas mengajak kelompok pemuda Kimi. Kini mereka berjumlah lima belas orang. Belasan pemuda ini pun mulai bergerak.
Menurut Tomas Marey, untuk mengubah pola pikir masyarakat, membutuhkan proses yang lama. Hal itu tidak membuatnya putus asa. Atas upayanya, kini 15 pemuda berjibaku mengelola Batu Gantung.
Batu Gantung juga memiliki panorama yang indah. Terdapat tebing-tebing karang dan enam gua. Dua gua di antaranya mempunyai mata air yang sudah mengering.
Sebagai pembuka, mereka hanya mengelola satu gua. Setelah pembuatan flyng fox, rock climbing, dan riverflow, dilanjutkan dengan gua-gua lainnya.
“Ini awal dulu, kita step by step ingin wujudkan semua,” ujarnya.
Pemuda Kimi lainnya adalah Nanang. Dia merupakan aparat kampung yang mendukung terobosan Marey dan kawan-kawan.
Oleh karenanya, Nanang mendorong Marey untuk mengelola beberapa lokasi di kawasan Batu Gantung, agar bisa dilindungi, dikunjungi, dan akhirnya mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan kampung.
“Sebagai aparat kampung kami dukung, dan harus ada bukti dulu baru kampung dan mendukung dengan finansial,” kata Nanang.
Menurut Nanang, pesona wisata Batu Gantung dibuka untuk masyarakat. Pada gilirannya diharapkan bisa meraup simpati masyarakat lainnya untuk menjadi wahana rekreasi dan edukasi. Dengan demikian, Kampung Kimi mendapat keuntungan dari hasil kunjungan masyarakat dan Selain itu dikelola untuk pendapatan kampung dan pembangunan masyarakat.
Nanang juga berharap agar pemuda dan masyarakat Kimi diberdayakan. Salah satunya menjadi pekerja di Batu Gantung.
“Ini arahnya ke BUMDes, akan ada retribusi untuk pengunjung dan lainnya. Tunggu saja grand opening-nya, tidak lama lagi kami buka untuk umum setelah beres-beres,” kata Nanang optimistis.
Pihaknya juga membutuhkan kesadaran pemuda dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan merawat alamnya.
Direktur Seboratu Sahabat Alam Desa Dlingo, Ervita Dwi Astuti, mengatakan hal awal yang dilakukan adalah Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) dari kunjungan pemuda Kimi ke daerahnya. Selepas itu dirinya bakal sering meninjau lokasi yang dikelola sekelompok pemuda Kampung Kimi.
"Saya bilang kalau ingin maju desamu, lakukanlah. Mereka pun tergugah, ingin belajar dan ada semangat yang saya lihat,” kata Ervita.
Menurut Ervita Astuti, membangun desa tidak harus didahului proposal ke pemerintah kabupaten dan provinsi. Masyarakat harus berinisiatif dan berupaya mengolah potensi yang ada. Jika ada hasilnya atau sudah terbukti, maka pemerintah pun mendorongnya.
"Kalau sudah ada buktinya, tidak mungkin pemerintah menutup mata. Kita buat dulu, kalau ada bukti pasti ada dukungan dari berbagai pihak,” kata Ervita Astuti.
Perempuan Bantul ini bahkan terkesima dengan alam Papua. Selama ini dirinya hanya mendengar cerita buruk, konflik, dan stigma lainnya tentang masyarakat dan alam Papua. Kesan negatif itu segera berubah ketika dirinya langsung ke Nabire, tepatnya Kampung Kimi.
“Jujur saya lihat Papua ini di luar sana banyak cerita keburukannya, padahal (faktanya) tidak juga,” ujarnya.
Dia berpesan, jika ada oknum-oknum yang melakukan studi banding sekadar pelesir dan menghabiskan anggaran, maka habit itu harus diubah. Studi banding harus ada hasilnya.
“Dan untuk masyarakat kampung Kimi, saya bilang, saya punya aturan sendiri. Kalau memang uang studi banding dari desa, maka harus kembalikan ke desa, sudah sosialisasi dan harus mendongkrak untuk maju, dan saya akan bantu mereka,” ujarnya. (*)