Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yosep Riki Yatipai*
Berbicara soal Papua, berarti memampukan kita berbicara soal pikiran Allah dalam manifestasi kasih-Nya. Ada dan hadirnya yang satu. Memungkinkan kemungkinan-kemungkinan untuk mungkin. Apakah yang ada itu mengalir dari yang satu dan kembali kepada yang satu?
Sungguh, Papua merupakan satu bangsa yang berdiferensiasi, yang berbeda-beda dan unik akan suku, budaya, dan adat-istiadatnya. Sekalipun Papua berada di pangkuan Indonesia, namun Papua bukan Indonesia. Papua adalah rumpun Melanesia di Kepulauan Pasifik dan Indonesia pun rumpun Melayu di Kepulauan Asia.
Papua hanya disatukan ke dalam Indonesia tahun 1961 sebagai satu negara dan satu bangsa, dengan jajak pendapat, serta rentetan sejarah yang simpang-siur. Suatu perbedaan otentik yang mesti diterima sebagaimana adanya. Papua bukan Allah, Indonesia bukan Allah. Tetapi, Allah adalah kasih (Deus Caritas Est) yang tak berwujud.
Dia membebaskan dengan kasih. Sehingga kasih-Nya akan mewujud dengan pasti untuk membebaskan bangsa Allah yang lemah, seperti bangsa Israel dari perbudakan Mesir.
Baca juga: Tanah Kami, Mama Kami – Perspektif Teologis tentang Sumber Kehidupan Orang Papua
Indonesia memiliki sila pertama dalam Pancasila mengenai “Ke-Tuhan-an yang Maha Esa”. Pernyataan luhur dalam sila ini hendak menyatukan keyakinan seluruh wilayah kekuasaan politik. Bangsa ber-Tuhan, yakni Yang Esa.
Tetapi, dalih ini belum begitu menyatukan keyakinan bangsa-bangsa dalam satu ideologi nagara. Ada bangsa yang menganut keyakinan politeisme, animisme, panteisme, dan dinamisme. Seperti Papua, ia memiliki kekuatan spritual Allah di masing-masing daerah yang kuat dan kaya dari budaya leluhurnya.
Ungkapan Blaise Pascal bahwa, “ the heart has its reasons which the reason does not understand – hati mempunyai pikiran-pikiran yang tidak dapat dipahami oleh pikiran”. Ia menekankan hati dari pada pikiran, sebab hati memiliki keterlibatan kasih untuk mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, yaitu Tuhan Allah sendiri. Sehingga, pikiran Allah adalah kasih yang membebaskan manusia dari sesat pikiran dan hidup sebagai dunia manusia.
Dunia manusia yang lemah selalu menghiraukan atau merasa resah dengan keadilan, perdamaian, kebenaran, kerendahan hati, keutamaan-keutamaan. Namun, manusia yang kuat tidak menghiraukan semuanya itu. Rasa kekritisan sebagai hak dan kewajiban sebagai manusia berfungsi sejati bagi mereka yang lemah dan tidak berdaya. Tidak heran, seorang sosialis komunis, Karl Marx mangatakan, “fungsi sejati seni adalah kritik sosial”. Sekiranya, kita akan sedikit membayang-bayangi situasi Papua hari ini.
Bayang-bayang problema kasih di Papua
“Saudara-saudaraku, pace, mace, mama-mama di Papua, dan Papua Barat saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu, sebagai saudara se-bangsa dan se-tanah air yang paling baik adalah saling memaafkan,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, (19/8/2019). Itu adalah respon Jokowi melihat kemarahan rakyat Papua melihat tindakan rasisme yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2020.
Dalam waktu yang relatif bersamaan dengan pernyataan Jokowi itu, terjadi pengiriman pasukan TNI/Polri di Papua dengan menggunakan pesawat Lion Air, pesawat militer hercules dan kapal perang. Dua hal yang bernada kontroversial antara satu dengan yang lainnya. Di satu sisi, hendak mendamaikan masyarakat Papua. Namun, di sisi lain menurunkan pasukan dengan senjata lengkap hendak mengamankan kondisi Papua.
Konflik horizontal terjadi, lalu konflik vertikal terjadi. Konflik antara orang asli Papua dengan non-Papua, diikuti konflik antara aparat keamanan dan masyarakat. Peristiwa itu telah berdampak adu kebencian dan kekuatan yang tidak ada ujung pangkalnya, dan justru melahirkan konflik baru atau kebencian baru.
Tensi aparat personil terus dinaikkan di Papua dan Papua Barat. Sikap pemerintah menambahkan personil dan membuat posko, dengan tujuan mengamankan situasi papua yang belum kondusif. Di satu sisi, tindakan ini dapat dibenarkan sebagaimana peranannya, tetapi di sisi lain justru akan mengganggu psikis masyarakat Papua.
Baca juga: Omnibus Law menghancurkan Papua
Cara pemerintah di Jakarta merespon reaksi rakyat Papua atas insiden rasisme di Surabaya justru membangkitkan ingatan traumatis masa lalu. Secara langsung pemerintah bersama aparatnya sedang membuat jarak signifikan.
Pemerintah semestinya memahami dan memikirkan cara-cara persuasif yang humanistik. Pemerintah bersama atribut aparatnya mesti duduk dengan akademisi dan mengkaji solusi-solusi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Sebab, situasi hari ini tidak bisa dinafikan aman dan kondusif.
Papua bukan daerah yang sama dengan daerah-daerah di Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan lainnya. Maka dari itu, pemerintah melalui corong akademisi harus menggali dan menemukan upaya alternatif yang manusiawi.
Upaya itu seyogyanya dimulai dengan memilah dan memilih persoalan, dan memilih cara mengatasinya. Dalam artian, penanganan persoalan diramu dari yang paling penting dan mendesak untuk diselesaikan. Mulai mengambil tindakan yang prefentif dan mengajak berdialog secara manusiawi. Jika tidak, maka kekerasan di atas kekerasan akan terus terjadi.
Mendiang Pater Neles Kebadabi Tebai Pr, Kordinator Jaringan Damai Papua sudah menegaskan bahwa “senjata tidak bisa bicara, hanya mulut yang bisa bicara”. Pernyataan itu mengajak kita untuk duduk dan melihat kedudukan masalahnya dengan jernih. Pernyataan itu mengajak kita melihat masalah dari hati yang jernih, dan budi yang jernih, tanpa ada dorongan manipulasi.
Hanya dengan cara itu, pendekatan yang mengedepankan kemanusiaan dapat terwujud di dalamnya. Sebab, kekerasan dan tindakan takut-menakuti tidak akan pernah menyelesaikan persoalan Papua.
Hari ini orang asli Papua (OAP) punya 1001 alasan untuk takut, tetapi juga alasan untuk melawan tindakan militer. Seluruh kehidupan OAP sudah, sedang, akan terus mengalami pergumulan kemanusiaan, karena alamnya yang dirampas di atas negeri leluhurnya sendiri secara sentralistik, militeristik, dan otoriter.
Baca juga: Merawat Ingatan atas Tragedi Wamena 6 Oktober 2000
Pengalaman traumatis masa lalu berlanjut dengan bias akumulasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Hal itu kemudian menjadi dalih OAP untuk membela diri dan melawan Pemerintah bersama jajarannya.
Kemudian kita dikagetkan dengan upaya penikaman Meteri Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopulhukan) Wiranto (sekarang mantan), yang diserang orang tak dikenal di kawasan Banten, Kamis, (10/10/2019). Kebenaran dari penikaman inipun belum jelas. Setiap media mempublikasikan upaya pembunuhan Wiranto dengan berbagai versi. Ada yang membuat pertanyaan atas penikaman itu, dan ada yang membuat pernyataan mengenai Wiranto ditikam.
Kebenaran dan keakuratan dari media sendiri dipertanyakan dan dipernyatakan. Dari sini terlihat jelas, adanya kontradiksi dan problematika signifikan antara media-media.
Situasi ini membuat semua orang tercengang dan bimbang. Mau dibawah ke mana substansi hidup bangsa dan negara? Apakah benar media memainkan peranan untuk membohongi publik? Ataukah media dipermainkan oleh negara? Atau justru keduanya merupakan rekan kerja untuk membohongi publik?.
Rasanya, semua kemungkinan bisa terjadi. Sekarang, apa yang dipikirkan oleh Allah dalam kasih-Nya? Tentu, bukan menebak atau mengetahui pikiran Allah dalam menafsir, namun sejauh mana kebaikan dan kebenaran kasih menyejukkan serta menyadarkan kita.
Memungkinkan pikiran Allah melalui Kasih
Sejatinya kasih ialah upaya mendamaikan dan menyatukan dua hal yang berlawanan. Tujuan ini sewajibnya dilandasi dengan kejujuran dan keberanian murni, sehingga harapan yang dicita-citakan dapat diraih bersama.
Cita-cita kebenaran dalam kasih merupakan harapan terdalam semua manusia. Sekalipun kasih tidak berbentuk, namun mengubah dunia menjadi pikiran Allah yang asli. Kasih untuk melepaskan dan kasih pun untuk menerima kebaikan dan kebenaran yang sesungguhnya sesuai dengan Sang Kasih.
Manusia hanya relevan jika didekati dengan kasih. Hematnya, diri mesti dijiwai kasih dan dipandu oleh kebijaksanaan sejati. Hanya dengan ini, kita akan dituntun untuk menciptakan satu situasi yang harmoni dan mampu menghormati indahnya keunikan. Semua komponen terkait diajak masuk ke dalam harapan masyarakat yang tidak berdaya. Mereka adalah manusia Allah [kasih] yang terus menghiraukan keadilan, kebaikan, dan kebenaran dari penguasa.
Baca juga: Bisakah Otsus tuntaskan pelanggaran HAM di Papua?
Dengan itu, pendekatan kemanusiaan sekiranya dilakukan melalui pusat harapan itu sendiri. Karena, kondisi ini mendesak kita untuk mengambil tindakan wanti-wanti demi menjaga kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga, kemendesakan ini yang benar-benar dicerahi, diberi oleh kasih, dan menuju kepada kebaikan bersama (bonum commune) sebagai warga kasih.
Dengan demikian, dengan kekuatan kasih kita yakin pasti ada secercah harapan yang dapat dinikmati oleh semua orang. Bagi saya, kasih mesti menjadi daya untuk membangkitkan rasa hormat kita kepada kemanusiaan urgen dan otentik. Demi kemanusiaan juga, kita mampu bertopang sebagai batu-batu yang disusun oleh kasih dan pikiran Allah yang positif nadanya.
Tanpa ragu-ragu, semua komponen aparat, masyarakat, dan pemerintah, serta yang radikal maupun moderat mesti duduk bersama. Dengan tujuan membicarakan kebaikan bersama, yang tidak merugikan tetapi juga tidak menguntungkan. Justru lebih dijiwai oleh kasih yang memperjuangkan nilai-nilai asasi bagi seluruh manusia sebagai satu negara Allah.
* Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura
Editor: Aryo Wisanggeni G