Memecah kebisuan: Membuka jalan menuju Papua yang bebas covid-19

Cuci tangan Covid Papua
Foto ilustrasi, mencuci tangan secara rutin dapat menurunkan risiko tertular virus korona. - unsplash.com
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Okto Kapollulumki Apintamon*

Sudah tiga bulan lamanya (hingga masa new normal) kita di Papua bergulat dengan covid-19. Tingkat penyebaran yang semakin tinggi menunjukkan bahwa keadaan darurat akan terus berlangsung.

Read More

Data tim Satuan Tugas Covid-19 Papua hingga 2 Juni 2020 pukul 18.10 WP menyatakan jumlah kasus di Papua bertambah menjadi 826 kasus setelah penambahan sebanyak 11 kasus baru (Seputarpapua.com, 2/6/2020). Penyebaran ini tentunya tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang ada di pesisir, tapi  juga telah merebak hingga daerah Pegunungan Tengah, khususnya di Kabupaten Jayawijaya dengan jumlah 9 kasus.

Persoalan covid-19 yang terjadi ini belum ditambah dengan persoalan penyakit lain yang terus terjadi di Papua seperti HIV/AIDS, malaria, TBC, kolera, disentri, ispa, dan korban kekurangan gizi dan masih banyak penyakit lainnya. Persoalan ini menunjukkan dengan serius bahwa eksistensi kita orang Papua betul-betul terancam.

Dengan terancamnya eksistensi kita orang Papua, maka hal yang menjadi perhatian kita bersama saat ini adalah kita harus terus bergerak, untuk menanggulangi ancaman yang besar ini. Kita tidak bisa hanya tinggal, diam dan membisu, menjalankan protokol kesehatan, hidup di rumah dan semua seolah-olah baik-baik saja.

Kita tidak sadar bahwa nyawa kita, nyawa saudara kita di luar sana banyak yang terancam, tetapi kita membiarkan saja penyebaran virus corona perlahan-lahan sampai kita punah? Mengapa kita membisu seolah-olah bahaya itu tidak ada?

Penyebaran covid-19 yang bebas

Corona virus (Covid-19) dapat menyebar melalui sentuhan, bersalaman, dan menurut WHO penyebaran ini juga dapat terjadi melalui cairan kecil dari hidung atau mulut ketika seseorang yang terinfeksi virus ini bersin atau batuk. Tetesan itu kemudian mendarat di sebuah benda atau permukaan yang lalu disentuh dan orang sehat tersebut menyentuh mata, hidung atau mulut mereka.

Virus corona juga bisa menyebar ketika tetasan kecil dihirup oleh seseorang ketika berdekatan dengan orang yang terinfeksi virus corona dan diduga punya kemungkinan menyebar melalui kontaminasi feses. Selain itu virus ini memiliki banyak rute penularan, sebagaimana penularan itu berlangsung kuat dan cepat (CNBCIndonesia.com, 13/4/2020).

Dengan demikian, penting mengikuti kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dengan anjuran tetap di rumah saja hingga situasi benar-benar pulih. Menjaga diri juga penting untuk tidak merugikan orang lain di sekitar kita. Karena penyebaran virus ini begitu masif, maka kita pun tetap beraktivitas di rumah hingga coronavirus ini berlalu–dan status normal seperti sedia kala.

Dengan demikian, perlu kita ketahui bahwa adat istiadat (kebiasaan) yang longgar dan perilaku yang tidak tampak secara baik, merupakan pintu terbuka untuk penyebaran virus. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu ada didikan mental yang kuat tentang bagaimana manusia Papua harus peka terhadap kesehatan dirinya.

Baca juga: Update 12 Juni: Kasus positif korona di Papua bertambah 42 kasus

Untuk menciptakan mental manusia Papua yang kuat, maka dibutuhkan satu ‘iklim’ yang baik agar semua manusia Papua sadar akan hidup sehat. Selain kembali pada pangan lokal perlu adanya pola hidup sehat yang ditanamkan bagi manusia Papua. Hal ini tentu demi menjaga eksistensi orang Papua di tanahnya sendiri.

Selain itu, budaya dan adat istiadat yang berkaitan dengan pendidikan mental perlu diterapkan kembali di setiap wilayah adat, demi menjaga stabilitas kehidupan budaya dari serangan modern dan penyakit-penyakit mematikan seperti covid-19 ini.

Selain itu juga mendorong setiap manusia Papua untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain. Sesama yang menderita covid-19 perlu diberikan semangat yang tinggi akan kemauan dan mental untuk sembuh, yang bisa meningkatkan imunitas tubuh mereka yang terpapar covid-19. Dengan demikian kepekaan memberi semangat dan membantu sesama merupakan dasar dari menciptakan ‘iklim’ yang sehat.

Iklim Papua

Mengapa kita membisu terhadap kenyataan bahwa virus corona sedang mewabah di tengah kita? Selain rasa takut karena iklim peningkatan covid-19, ada juga iklim lain yang menghambat kita untuk memecah kebisuan yaitu “iklim Papua”.

Berdasarkan rapid test kita begitu gampang menghakimi dan menjatuhkan vonis pada sesama yang lain yang terkena satu penyakit ini. Karena itu, orang segan memeriksa diri, sebab kalau ternyata rapid test-nya reaktif, hasil pemeriksaan itu bisa menjadi biang untuk memvonis orang yang sedang terpapar virus tersebut.

Tanpa berusaha memahami masalahnya, orang itu bisa langsung divonis dengan berbagai bentuk hukuman, dalam artian, bisa jadi diisolasikan, disingkirkan keluarganya, dan bisa didiskriminasikan dalam masyarakat. Kita mesti sadar bahwa vonis seperti itu selain tidak adil juga bisa jadi betul-betul keliru, karena virus corona masuk bukan hanya melalui sentuhan dan bersalaman.

Penulis berpikir untuk memecah kebisuan tentang virus corona di Papua, hal yang harus dilakukan oleh para pasien covid-19 adalah harus merasa berani dan optimistis untuk sembuh serta nyaman berbicara tentang dirinya. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan imunitas tubuh karena kerja psikologi yang meningkat baik.

Selain itu diperlukan kerendahan hati kita semua untuk mengakui bahwa satu penyakit adalah tanggung jawab kita semua. Jangan pernah ada vonis yang macam-macam kepada mereka yang terkena virus ini. Kalaupun itu disebabkan oleh rasa takut, kita tidak punya hak untuk menjatuhkan vonis sambil menganggap diri kita sebagai orang yang saleh dan bersih.

Kalau kita tetap memvonis orang-orang dengan virus corona, saya pikir kita tidak memecah kebisuan dan lebih dari itu kita bersalah karena merasa takut, tidak terbuka dan jujur. “Iklim Papua” yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial kita terkait penyebaran covid-19 dan para pasien yang terpapar covid-19 adalah kita sering membenarkan diri sendiri dan mempersalahkan orang lain.

Oleh sebab itu, kita harus menciptakan ‘iklim Papua’ yang positif. Kita harus secara saksama membuka mata kita untuk melihat bahaya, membuka mulut kita untuk berbicara, dan menggerakkan hati serta langkah kita menuju Papua yang bebas dari virus corona. (*)

*Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura dan anggota Aplim Apom Research Group (AARG)

Related posts

Leave a Reply