Memaknai perayaan Pekabaran Injil (bagian I): Sakralitas perayaan yang mulai tergerus

Pengunjung Pulau Mansinam saat perayaan 164 Tahun Pekabaran Injil, dua pekan lalu – Jubi/Hans A Kapisa
Pengunjung Pulau Mansinam saat perayaan 164 Tahun Pekabaran Injil, dua pekan lalu – Jubi/Hans A Kapisa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

PERAHU bermotor tidak henti berlalu-lalang menuju Pulau Mansinam. Mereka sibuk menjemput pengunjung dari daratan Kota Manokwari.

Read More

Pulau Mansinam sepanjang pagi begitu riuh dengan hiruk-pikuk pengunjung, dan deru mesin perahu. Long boat atau taksi laut, begitu warga setempat lazim menyebut perahu bermotor tersebut. Penumpang mereka didominasi kalangan tua yang rata-rata bersandangkan noken berisi Alkitab beserta perlengkapan ibadah.

Kondisi perairan di Mansinam semakin padat dengan bergabungnya taksi laut dari sejumlah pulau di sekitar Teluk Cenderawasih. Tujuan mereka sama, yakni merayakan 164 Tahun Pekabaran Injil di Tanah Papua, yang diperingati setiap 5 Februari.

Ibadah sebagai ungkapan syukur menjadi puncak sekaligus agenda utama perayaan. Ibadah kali ini dipimpin Pendeta Siente Latuputty, yang juga Direktur Sekolah Tinggi Theologia (STT) IS Kijne Kota Jayapura. Segenap jemaat pun larut dalam kekhidmatan doa.

Mansinam selalu menjadi magnet dalam setiap perayaan Pekabaran Injil di Tanah Papua. Sebab, dari pulau itu penyebaran Kristen di Tanah Papua bermula. Carl Wilhem Ottow dan Johann Gottlob Geissler, dua misionaris berkebangsaan Jerman yang pertama kali mewartakannya pada 1855.

“Perayaan 5 Februari sudah membudaya. Rencananya perayaan hanya dilakukan di tingkat klasis (klasikal) di Manokwari, tetapi kedatangan umat dari berbagai klasis tidak bisa dibatasi,” kata Bons Rumbruren, Ketua Panitia Perayaan 164 Tahun Perkabaran Injil di Tanah Papua, dua pekan lalu.

Desakralisasi

Arus kedatangan warga yang berniat ke Mansinam sudah terasa sejak 2-3 hari sebelumnya. Mereka tumplak di Kota Manokwari sebagai lokasi persingahan. Tetamu itu berdatangan dari berbagai penjuru daerah. Ada yang menempuh jalur darat. Ada pula melalui perairan hingga jalur udara. Tetamu umumnya merupakan perwakilan klasis atau Gereja dari luar Manokwari.

Panitia menyiapkan dua armada gratis untuk mengantar-jemput jemaat ke dan dari Mansinam. Akan tetapi, banyak juga yang memilih taksi laut meskipun setiap orang harus merogoh Rp 10 ribu-Rp 20 ribu untuk sekali jalan.

Ada dua kelompok besar kedatangan warga ke Mansinam. Kelompok pertama mulai bergerak sekitar pukul 06.00-10.00 Waktu Papua, dan kelompok kedua sekitar pukul 11.00-15.00 Waktu Papua.

Kedua kelompok berbeda motivasinya. Kelompok pertama memfokuskan kepada peribadatan, dan tapak tilas Pekabaran Injil. Kelompok kedua lebih bertujuan plesiran dan cenderung berhura-hura.

Kelompok kedua didominasi kalangan muda dengan berpenampilan gaul. Mereka datang dalam beberapa rombongan kecil. Aroma alhokol tidak jarang menyeruak dari sekelompok kerumunan mereka hingga di sejumlah sudut keramaian pulau.

“Mansinam bukan tempat pesiar atau lokasi hiburan. Momen 5 Februari juga bukan ajang baku dapa pasangan muda-mudi,” kata Panglima Parlemen Jalanan Manokwari,Ronald Mambiew, mengkritik perayaan.

Mambiew mendesak panitia memperhatikan faktor ketertiban untuk menjaga kekhidmatan dan sakralitas pada perayaan mendatang.

“Pendaratan harus diperketat. Ketika ibadah sudah dimulai, perahu dan kapal dilarang merapat ke Mansinam.”

Evaluasi dan dibenahi

Kritikan keras juga dilontarkan Koordinator Pemuda Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) Papua Barat, Robert Manggaprouw. Dia mengamati lebih banyak pengunjung berwisata ketimbang beribadah saat perayaan 164 Tahun Pekabaran Injil. Kondisi tersebut bahkan berdampak negatif dan mencoreng muruah Mansinam.

“Mereka manfaatkan momen ini untuk berwisata (pesta) minuman keras, bahkan ada yang mencopet. Kondisi ini sangat memperihatinkan,” ucap Manggaprouw.

Manggaprouw berharap panitia melibatkan seluruh denominasi pemuda gereja di Papua Barat dalam perayaan mendatang. Tujuannya ialah menjaga ketertiban, sekaligus melakukan pendekatan kepada pengunjung sehingga mereka tidak berbuat sesuatu yang bisa menodai sakralitas perayaan.

Ketua Klasis Gereja Kristen Injili (GKI) Manokwari, Pendeta Yohanis Mamoribo, menyadari berbagai kekurangan dalam perayaan 164 Tahun Pekabaran Injil. Dia bersepakat ini harus dievaluasi, dan dibenahi pada perayaan berikutnya.

“Perayaan pada tahun mendatang bakal dibenahi. Kami akan mempersiapkan agenda ibadah, dan acara khusus untuk kaum muda, sehingga mereka tidak sekadar jalan-jalan (ke Mansinam),” kata Mamoribo.

Mamoribo bilang perayaan 164 Tahun Pekabaran Injil sejatinya hanya kegiatan berskala klasikal. Skala besar digelar lima tahun sekali. Panitianya pun dibentuk langsung oleh Sinode GKI Tanah Papua. (bersambung)

Editor: Aries Munandar

Related posts

Leave a Reply