Papua No. 1 News Portal | Jubi
Sekitar 2,7 juta hektar kawasan hutan dan gambut di tiga kabupaten: Merauke, Mappi, dan Boven Digoel akan dikonversi untuk proyek Food Estate. Sekitar 200 kampung dan penghidupan masyarakatnya akan terdampak dari rencana proyek Food Estate Papua yang minim informasi.
Merauke, Mappi, dan Boven Digoel adalah wilayah tapal batas di bagian selatan Provinsi Papua yang patut mendapat perhatian lebih. Bukan saja karena perkara pemekaran provinsi, melainkan juga karena potensi kawasan hutan lindung dan gambutnya terus dirongrong oleh berbagai proyek konversi hutan, termasuk yang terbaru: rencana Food Estate.
Tanah Papua kerap dibanggakan sebagai benteng terakhir kawasan lindung di Nusantara. Namun kebijakan yang kini disebut Proyek Strategis Nasional (PSN) akan berpotensi melindungi rencana pengembangan kawasan Food Estate baru di Papua yang berpotensi mendegradasi kawasan hutan lindung dan gambut yang meliputi 3 kabupaten tersebut.
Padahal belakangan ini, kawasan hutan Papua sudah digerus proyek-proyek yang mengkonversi kawasan hutan dan lahan gambut dalam skala luas untuk kepentingan agroindustri dan ekonomi lainnya. Proyek Strategis Nasional, Food Estate ini akan menjadi faktor pendorong baru bagi perubahan lanskap ekologi dan kehidupan sosial orang asli Papua.
Keresahan ini menjadi latar dalam diskusi webinar bertajuk Nilai Jasa Lingkungan dan Sosial Budaya: Implikasi Proyek Food Estate Papua, pada Selasa (15/2/2022) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Pusaka telah melakukan studi awal potensi jasa lingkungan yang akan terdegradasi dari kawasan sasaran proyek Food Estate ini.
Ratusan juta ton karbon terancam lepas
Dalam diskusi webinar itu, Popi Puspitasari, peneliti dan penulis laporan studi awal Implikasi Proyek Food Estate Papua ini memaparkan estimasi cadangan karbon pada 2,7 juta hektar kawasan hutan dan gambut di Merauke, Mappi, dan Boven Digoel yang akan dikonversi untuk proyek Food Estate.
Kawasan hutan lindung dan hutan gambut disebutkan dalam pembukaan presentasi laporan sebagai kawasan yang menyerap karbon terbesar dibanding jenis kawasan tutupan lahan lainnya. Lahan gambut menduduki posisi pertama (200,23 ton/ha) dan hutan lindung posisi kedua (144,75 ton/ha).
“Khusus untuk lahan gambut di Papua ini, padahal jenis tanahnya unik sekali, tanah organik yang jarang ditemui di wilayah negara-negara lain, paling banyak di Papua. Dan melihat data potensi cadangan karbon di 3 kabupaten calon kawasan Food Estate ini saya rasa ngeri sekali, membayangkan jumlah emisi karbon yang akan lepas,” ujar Popi.
Pada data yang dipaparkan, terdapat sekitar 200 ribu hektar lahan gambut yang menyerap 50an juta karbon yang akan terancam rusak. Jumlah itu hanyalah bagian dari kawasan tutupan lahan lainnya yang mencapai 2,7 juta hektar yang mampu menyerap sekitar 268 juta ton karbon.
Angka itulah yang akan dipertaruhkan Indonesia di hadapan komitmen internasional sesuai perjanjian Glasgow tahun lalu untuk mengurangi emisi karbon hingga 26 persen hingga 2030.
Masyarakat tak tahu Food Estate
Agil Prakoso dari jaringan Pantau Gambut, menjelaskan bagaimana masyarakat tak tahu persis apa itu Food Estate. Hal itu tak saja di Papua tapi juga di wilayah seperti Kalimantan yang telah lebih dulu jadi sasaran proyek Food Estate yang akhirnya terbengkalai.
“Masih banyak masyarakat yang bingung sebenarnya Food Estate ini apa. Mereka dengarnya akan dapat bantuan bibit, pupuk, dan lain lain tapi konsep secara keseluruhannya tidak tahu. Jadi semacam menjalankan saja permintaan pemerintah tapi ke depannya seperti apa tidak tahu,” ujarnya.
Agil mengingatkan dampak yang buruk akan menanti tanpa informasi yang jelas, “Akan mengerikan dampaknya seperti contoh di Kalimantan pada proyek sejuta lahan gambut 1996 lalu yang kini terbengkalai, dan lahan rusak tak bisa lagi diolah, dan setiap tahun terbakar,” katanya.
Dia melanjutkan bahwa pemerintah mengklaim akan memperhatikan berbagai aspek lingkungan dalam pemanfaatan gambut budidaya di rencana Food Estate, tapi pihaknya sangat ragukan pernyataan itu disebabkan rekam jejak kebijakan sebelumnya serta rumitnya tata kelola pemanfaatan gambut.
“Peta AOI [Area of Interest] pemerintah dalam proyek ini juga susah diakses. Beberapa kali kami minta pada KLHL tapi tidak berhasil,” tambah Agil.
Tanpa konsultasi luas
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, menyebutkan pentingnya konsultasi masyarakat luas atas proyek-proyek yang dimasukkan pemerintah ke dalam kategori Proyek Strategis Nasional.
“Seharusnya [proyek semacam ini] mensyaratkan konsultasi skala luas, bukan hanya masyarakat adat pemilik ulayat maupun masyarakat terdampak.”
“Seperti contoh kasus MIFFE di Merauke tahun 2010 lalu. Launching dilakukan di sebuah kampung kawasan [ulayat] dan diklaim sebagai sosialisasi… padahal itu kan menyangkut pemilikan dan pemanfaatan tanah,” ujarnya.
Franky mengingatkan bahwa Di UU Otsus yang baru juga menjelaskan bahwa sebelum mengeluarkan izin (untuk konversi) mesti ada konsultasi dulu sebagai syarat yang harus dilakukan.
“Bahkan setelah izin pun masih ada tanggung jawab untuk melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat,”.
Pusaka juga mengatakan sejauh pengamatan mereka di ketiga kabupaten kawasan Food Estate masyarakat tidak punya pengetahuan soal rencana itu.
“Sejauh pengamatan kami di kawasan yang juga menjadi areal kerja Pusaka, belum ada sosialisasi ke masyarakat adat. Mereka tidak tahu Food Estate itu proyek apa,” kata Franky.
Dia menyebutkan sempat ada sosialisasi BCLS (Badan Cadangan Logistik Strategis) Kementerian Pertahanan dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) metode cepat secara online tahun lalu, tapi hanya di tingkat pemerintah kabupaten.
“Tapi cara-cara semacam ini kan tidak cukup bagi masyarakat adat yang memiliki keterbatasan dalam menerima program-program baru. Butuh waktu dan tidak boleh cepat-cepat. Tapi kan UU baru Cipta Kerja ini konsepnya mudah dan cepat jadi bertentangan dengan masyarakat,” tegasnya.
Dibalik nuansa terburu-buru dan tertutup dari proyek Food Estate baru di selatan Papua ini, tampak peran Kementerian Pertahanan yang begitu menonjol.
Mengutip laporan investigasi Gecko Project dengan Tempo, dalam situs geckoproject.id yang diakses pada 15/2/2022, ditemukan bukti bahwa Kementerian Pertahanan tengah berupaya untuk mengarahkan proyek-proyek food estate, yang nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah, kepada sebuah perusahaan tanpa rekam jejak yang jelas dalam pengembangan perkebunan, yakni PT Agro Industri Nasional (Agrinas).
Investigasi mengatakan bahwa hubungan erat Prabowo, Menteri Pertahanan, dengan para pejabat eksekutif Agrinas dan komisarisnya melahirkan konflik kepentingan yang serius. (*)
Editor: Yuliana Lantipo