Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, Bagja Hidayat menyatakan media berperan mengilangkan berbagai prasangka terhadap orang Papua, dari mereka yang ada di luar Papua, termasuk pengambil kebijakan di Jakarta.
Pernyataan itu dikatakan Bagja Hidayat dalam diskusi daring Forexpo 2021, yang gelar Forest Watch Indonesia pada Kamis (2/12/2021). Diskusi ini bertemakan “Mata Media: Sudah Adilkah Kita Melihat Papua?“
Ia mengatakan, prasangka ini terjadi karena informasi tidak merata, misalnya mengenai Papua.
“Maka media perannya adalah memberikan sebanyak mungkin informasi agar prasangka itu hilang. Orang tidak mendengar langsung dari orang Papua, kemudian menyimpulkan kebutuhan orang Papua adalah infrastruktur,” kata Bagja.
Menurutnya, prasangka itu kemudian melahirkan kebijakan keliru untuk Papua. Orang Papua ingin diutamakan penyelesaiannya mengenai masalah perlindungan HAM. Setelah itu, barulah infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya.
“Perlindungan HAM adalah modal melangkah ke hal lain. Jadi bagaimana caranya memberikan publik banyak informasi, sehingga punya cukup informasi sebagai perbandingan,” ucapnya.
Katanya, selama ini berbagai kalangan melihat Papua dari kacamata sempit, sehingga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dan timbul bias.
“Bias inikan munculnya dari prasangka, apalagi kalau prasangka ini muncul dari pembuat kebijakan, ini bahaya,” katanya.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Jubi, Jean Bisay mengatakan apabila bicara Papua dari perspektif media, belum semua informasi soal Papua disampaikan secara baik, terutama oleh media di luar Papua (Jakarta).
“Di Papua sendiri belum semua jurnalis atau media menyampaikan soal Papua sesuai situasi yang sebenarnya. Misalnya dalam kasus lingkungan atau HAM,” kata Bisay.
Menurutnya, media di luar Papua terutama media mainstream lebih cenderung mencari sensasi dalam pemberitaan mengenai Papua. Mengandalkan narasi tunggal atau dari satu sumber.
Misalnya dalam pemberitaan kasus penembakan Pendeta Yeremias Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupeten Intan Jaya pada September 2020 silam.
Berbagai media memberitakan, pelaku penembakan adalah Tentara Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka, dengan mengutip pernyataan dari aparat keamanan.
Akan tetapi, hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Tim bentukan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemekopolhukam) menemukan fakta, diduga pelaku adalah dari satuan TNI yang bertugas di sana.
“Mestinya media yang memberitakan itu sejak awal, mengoreksi pemberitaan mereka. Namun itu tidak dilakukan. Dibiarkan saja,” ujarnya.
Bisay juga mengakui, memberitaan Papua sesuai fakta tidaklah mudah bagi wartawan dan media. Apalagi bagi jurnalis asli Papua. Mereka akan mendapat stigma buruk dari berbagai pihak yang merasa terusik.
“Di Jubi sendiri tantangan kami sangat berat, karena lebih mengutamakan manusia, hutan atau alam Papua. Ini merupakan roh Jubi sejak awal. Memang tidak mudah, apalagi bagi kami wartawan asli Papua,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga