Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pada tahun 1980, LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) di Biak mengadakan survei yang luasnya 100 hektare ( 1.000.000 m2) di atas tanah adat Warbon tanpa bertanya atau musyawarah terlebih dahulu dengan pemilik hak ulayat tanah tersebut. Sesudah melakukan survei, barulah hasil survei itu dipakai untuk membuat rapat-rapat yang sifatnya formalitas di bawah tekanan dan ancaman TNI (Koramil Biak Utara).
Hal ini terungkap dalam Sidang Pleno Khusus I Kainkain Karkara Byak Tahun 2021 yang dilakukan oleh Kainkain Karkara Byak pada tanggal 7 April 2021. Sidang Pelno Khusus di Biak ini dilakukan untuk menjawab situasi sosial politik budaya masyarakat adat Byak yang terjadi saat ini menyusul rencana pembangunan Pusat Peluncuran Roket LAPAN di Wilayah Adat Byak khususnya di tanah adat Warbon di Bar Napa.
Rencana pembangunan pusat peluncuran roket di Biak, Papua, bukan pertama kali diwacanakan. Sejak 1980-an, LAPAN sudah memiliki tanah di Kampung Saukobye, Distrik Biak Utara seluas 100 hektare yang sudah siap dijadikan pusat peluncuran roket.
“Rencana ini akan direalisasikan tahun ini karena masuk dalam rencana strategi LAPAN, juga merupakan amanat Undang Undang No. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. “Diturunkan menjadi rencana induk keantariksaan nasional, kita harus menyiapkan bandar antariksa,” kata Kepala Biro Kerja Sama, Hubungan Masyarakat dan Umum, LAPAN, Chris Dewanto kepada BBC News Indonesia, pertengahan Maret lalu.
Tahun ini, LAPAN akan memulai pembangunan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Saat ini tanah yang diklaim milik LAPAN masih berupa hutan produksi yang masih bisa dialih fungsikan. Targetnya pembangunan ini selesai pada 2023 atau 2024 mendatang.
Rencana pusat peluncuran roket ini ditentang oleh warga asli pemilik hak ulayat atas tanah yang akan dijadikan pusat peluncuran roket itu. Masyarakat adat Warbon, pemilik hak ulayat mengisahkan bagaimana tanah di Saukobye itu bisa diklaim oleh LAPAN sebagai tanah mereka.
“Rapat pertama dengan masyarakat kampung itu terjadi pada tahun 1980, Setelah LAPAN melakukan survei tanah seluas 100 hektar, barulah mengudang masyarakat kampung Andei ( nama kampung waktu itu) secara keseluruhan untuk mengadakan pertemuan,” ungkap Apolos Sroyer, Ketua Dewan Adat Suku Byak (Manfun Kawasa Byak).
Pada pertemuan itu, lanjut Sroyer, Camat setempat mewakili pemerintah meminta masyarakat merelakan tanahnya untuk pembangunan. Camat maupun LAPAN tidak memberi penjelasan tentang apa itu LAPAN, Demikian juga maksud dan tujuan LAPAN mengambil tanah mereka, apakah untuk pembangunan Bandar Antariksa atau untuk satelit. Apa saja dampak positif dan negatif dari kegiatan tersebut bagi masyarakat adat di sekitar lokasi pun tidak dijelaskan.
Pihak LAPAN hanya menyampaikan janji pada rapat tersebut bahwa jika LAPAN membangun lokasi itu tentu masyarakat akan punya rumah, air, telepon, radio dan nonton TV.
“Ketika masyarakat menawarkan harga Rp1 miliar kepada LAPAN, Camat dan Koramil setempat mengatakan terlalu mahal dan permintaan masyarakat itu menghalangi pembangunan. Ketika masyarakat mencoba menolaknya, salah satu anggota TNI Koramil Biak Utara bernama Sersan Komsi (alm) mengancam dan menuduh bahwa penolakan masyarakat itu sama dengan menghalangi pembangunan berarti mau buat gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM),” lanjut Sroyer.
Pada pertemuan pertama inilah posisi tawar masyarakat terutama marga pemilik lokasi tersebut dilemahkan karena takut di sebut OPM. Masyarakat akhirnya diam dan ikut kemauan pemerintah Orde Baru. Trauma masyarakat adat ini terjadi karena kekerasan TNI pada masa Biak Utara di klaim sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menumpas gerakan OPM tahun 1968-1982).
Rapat kedua, kata Sroyer masih terjadi pada tahun 1980, tepatnya pada hari Sabtu, 19 Juli 1980. Pada rapat ini LAPAN melalui Adolf Fridibon menyerahkan uang ganti rugi kepada masyarakat adat Warbon sebesar Rp 15 juta tanpa tanggapan dari pemilik hak adat karena takut diancaman dan disebut sebagai bagian dari OPM.
“Pemerintah kabupaten Biak Teluk Cenderawasih diwakili oleh Sekretaris Wilayah Daerah (SEKWILDA) mengatakan, pemerintah saat ini mau membangun, maka jangan dihalangi,” lanjut Sroyer.
Pada tahun 1994, dilakukan rapat ketiga yang dilaksanakan di Kantor Camat Biak Utara pada 9 Februari 1994. Rapat inipun tidak jauh beda dengan rapat-rapat pada tahun 1980. Rapat ini dianggap tidak menghargai pemilik tanah, semua keberatan yang berkaitan dengan lokasi sebagai sumber penghidupan terus diabaikan. Keberatan terhadap ganti guri yang layak dan manusiawi tidak ditanggapi serius oleh pihak LAPAN.
Pada rapat tersebut, pemilik hak atas tanah tidak pernah diberikan kesempatan untuk sepakati persetujuan menerima atau menolak untuk menyerahkan lokasi tanah tersebut. Sehingga tidak ada kesepakatan resmi dari pemilik hak tanah adat untuk memusyawarahkan hal itu. Masyarakat takut diancam dengan tuduhan melakukan gerakan OPM. Itu sebabnya pemilik tanah adat pada lokasi itu tidak pernah membuat surat pernyataan pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang dijadikan dasar oleh LAPAN Biak yang diberi tanggal 22 September 1980.
“Sesudah 22 tahun barulah masyarakat adat pemilik tanah mengetahui adanya surat pelepasan tertanggal 21 Agustus 2002,” kata Sroyer. (*)