Masalah guru di Papua: Tanggung jawab siapa?

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua, Chiristian Sohilait - Jubi/Dok
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua, Chiristian Sohilait – Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Aris Yeimo

Read More

Pendidikan merupakan sarana paling baik untuk membangun masa depan bangsa. Beragam hal diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan membuat seseorang mengetahui apapun. Segala hal dapat diketahui oleh orang-orang yang berpendidikan melalui buku yang dibacanya dan pengajaran yang diterimanya. Dalam hal ini guru memiliki peranan yang sangat penting.

Guru dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di medan tempur, melainkan juga mereka yang memberikan segalanya demi pendidikan tanpa mengharapkan balasan apapun (jabatan/pangkat/uang).

Ia (guru) mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendidik siswa-siswinya. Bahkan ia rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya hanya untuk melayani mereka (murid-murid).

Berkat kerja kerasnya, maka guru menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan kita. Boleh dikatakan, karena kehadiran merekalah kita yang ada saat ini bisa menikmati dunia pendidikan.

“Bagi saya, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Guru merupakan ujung tombak dalam mencerdaskan anak bangsa,” tutur seorang guru SD Inpres Tobati (Cepos,10/10/2017). Hal ini kiranya menyadarkan kita akan pentingnya kehadiran seorang guru bagi terciptanya iklim pendidikan yang baik, demi masa depan bangsa, khususnya di Tanah Papua yang tercinta ini.

Dimana torang pu guru?

Pertanyaan ini sering kali terdengar miris di telinga kita. Kadang para siswa mempertanyakan keberadaan guru mereka.

Sangat disayangkan bahwa banyak sekolah dibangun dengan megah tetapi masih sangat kekurangan guru. Bangunan sekolah hanya menjadi ruang hampa bagaikan tanpa penghuni. Anak-anak berkeliaran sana-sini tanpa menerima pelajaran yang mestinya mereka terima. Hal ini adalah kenyataan yang sedang terjadi saat ini, terlebih khusus di pedalaman Papua.

Piet Supardi dalam artikelnya “Guru di Pedalaman Papua” menegaskan, bahwa saat ini sedang terjadi di wilayah pedalaman Papua, guru tidak lagi memiliki jiwa (untuk) mencerdaskan masyarakat. Guru hanya sebatas profesi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Bahkan guru tidak lagi membanggakan. Guru hanya tinggal di kota dan menerima gaji, tetapi tidak pernah mendidik dan mengajar anak-anak di tempat tugasnya. Guru tidak lagi memberikan contoh yang baik untuk anak didik dan masyarakat luas (Kompasiana, 24/10/2014).

Tidak heran jika keberadaan seorang guru saat ini sering dipertanyakan oleh murid, bahkan juga oleh orang-orang tua. Orangtua selalu bertanya kepada anaknya usai pulang sekolah, “tadi kam belajar apa, anak?” dan anak hanya menjawab, “tra belajar apa-apa mama/bapa, karena guru tra masuk kelas.”

Kalau keadaan seperti ini terjadi terus-menerus, maka apa yang mau diharapkan dari generasi negeri ini?  Yang ada hanyalah malapetaka yang akan kita hadapi kemudian hari. Menelaah pernyataan kepala Dinas P dan P Provinsi Papua

Akhir-akhir ini pernyataan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadis P dan P) Provinsi Papua, Chiristian Sohilait, menjadi polemik di ruang publik. Kurang lebih begini kutipan pernyataannya:

“Kami memberi apresiasi kepada TNI/Polri atas bantuan di aspek pendidikan belajar-mengajar belakangan ini di Papua. Namun kedepannya respons TNI/Polri ini menjadi cambukan bagi aparat pendidikan di Papua. Untuk setia dan mencintai profesinya sebagai seorang guru, yang bertugas di masing-masing sekolah, dengan tidak meninggalkan tempat tugas di sekolah. Agar proses belajar mengajar berjalan, demi masa depan anak didik mereka di sekolah,” katanya (Lintaspapua.com, 31/1/2020).

Hemat saya, pernyataan beliau sebenarnya merupakan “tamparan” keras bagi beberapa pihak terkait (mereka) yang bertanggung jawab atas proses penyelenggaraan pendidikan di tanah Papua.

Pertama, pemerintah. Dengan mengeluarkan pernyataan demikian, pemerintah dengan sendirinya mengakui kegagalannya dalam mengembangkan SDM Papua. Bagaimana tidak, selama ini dana otonomi khusus (otsus) yang dikucurkan bagi pendidikan sangatlah besar. Pada 2014 misalnya, dana yang dialokasikan tercatat sebesar Rp 647,31 miliar dan 2017 sebesar Rp 1,67 triliun (Tirto.id, 27/9/2019).

Setiap tahun dana tersebut mengalami peningkatan. Pertanyaannya adalah, kemana aliran dana tersebut sehingga tidak mampu memberdayakan setiap guru yang bertugas di pedalaman Papua?

Kedua, para guru dan calon guru. Bukan rahasia umum lagi bahwasannya saat ini sering dijumpai banyak guru yang meninggalkan tugas pokoknya sebagai pengajar. Ketidakhadiran guru dalam kelas kadang-kadang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: minimnya penguasaan materi pelajaran, kurangnya keterampilan, kurang menguasai metode mengajar, minimnya sarana-prasarana, dan sebagainya. Mungkin juga karena faktor modernisasi dan kemajuan teknologi;

Ketiga, pihak yayasan yang mengelola sekolah swasta. Di Papua terdapat banyak sekolah yang dikelola oleh swasta pun pula berbanding lurus dengan ribuan sarjana pendidikan yang sedang menganggur. Mereka ini seharusnya direkrut sebagai tenaga pengajar. Mereka diakomodasi agar terpenuhi kuota guru yang dibutuhkan.

Bagaimana langkah selanjutnya?

Pemerintah dan semua pihak tentu mengharapkan terciptanya sebuah iklim pendidikan yang baik dan merata di seluruh Tanah Papua. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk harus mengambil langkah yang tepat dan bijaksana atas temuan kompleksitas masalah seputar pendidikan.

Sebenarnya persoalan ini dapat dikritisi lebih jauh, tetapi menurut saya ada beberapa hal yang kiranya menjadi catatan penting bagi pihak-pihak terkait.

Pertama, pemerintah mestinya mengelola dana otsus, APBN, dan APBD bidang pendidikan sebaik mungkin, sehingga dapat dialokasikan bagi pemenuhan pemberdayaan guru, maupun sarana-prasarana yang dibutuhkan.

Diharapkan pula agar dilakukan pencegahan terhadap kemungkinan praktik-praktik korupsi dana pendidikan agar dapat menciptakan akselerasi antara kompetensi dan metode pengajaran serta sarana-prasarana yang dibutuhkan;

Kedua, sertifikasi guru yang diberikan pemerintah mestinya menjadi semangat tersendiri bagi para guru untuk membaktikan dirinya dengan sungguh-sungguh. Harapan itu kini sangat kontradiktif dengan kenyataan. Buktinya, masih banyak guru yang malas mengajar, termasuk guru-guru yang sudah menerima tunjangan profesi pendidik.

Mereka harus ditindak tegas. Jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan angka (kekurangan) guru akan semakin meningkat. Pada prinsipnya guru dan calon guru mestinya benar-benar menghayati profesinya sebagai bentuk tanggung jawab moralnya;

Ketiga, pihak kampus. Di Papua terdapat beberapa universitas yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan cabangnya (KPG) di beberapa kabupaten. Setiap tahunnya ribuan mahasiswa/i FKIP diwisudakan. Sangatlah tidak masuk akal jika ribuan mahasiswa/i yang diwisudakan belum bisa memenuhi kuota guru di pedalaman sehingga TNI/Polri mesti dilibatkan.

Pada titik tertentu dapat dimaklumi jika TNI/Polri turut dilibatkan dalam mencerdaskan generasi emas Papua. Tetapi sangatlah naif jika melibatkan mereka di dunia pendidikan karena tidak sesuai dengan tupoksinya. Apalagi jika mereka tidak dibekali dengan ilmu-ilmu pendidikan formal. Anak didik tidak akan menerima pengetahuan yang lengkap.

Oleh karena itu, sejak awal pihak kampus mestinya membekali mahasiswa (calon guru) dengan seluruh perangkat metodologi pengajaran yang lengkap. Metode yang dimaksudkan bukan saja menyangkut kurikulum formal. Lebih dari itu, bagaimana mental, psikologi dan moralitas mahasiswa dibina, sehingga mereka memiliki karakter yang utuh. Tidak mudah dipengaruhi. (*)

Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply