Markus Haluk luncurkan buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua”

Suasana diskusi peluncuran buku "Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua" di aula Kampus USTJ, Jayapura. - Jubi/Hengky Yeimo.
Suasana diskusi peluncuran buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” di aula Kampus USTJ, Jayapura. – Jubi/Hengky Yeimo.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Aktivis United Liberation Movement For West Papua atau ULMWP, Markus Haluk meluncurkan buku berjudul “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” di Jayapura, Selasa (30/7/2019). Sebelumnya, buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” juga telah diluncurkan di Jakarta pada pekan lalu.

Read More

Buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” diluncurkan dengan diskusi publik yang menghadirkan sejumlah pembicara, termasuk Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua Dr Benny Giay, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pdt  Dorman Wandikbo, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) John Wob, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Emus M Gwijangge. Akademisi Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Isak Rumbarar dan jurnalis Victor Mambor juga menjadi pembicara dalam peluncuran buku itu.

Penulis “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua”, Markus Haluk menyatakan ia sengaja meluncurkan bukunya itu di Kampus USTJ.“Kami memilih meluncurkan buku itu di kampus, agar isi buku itu dapat dipertangjawabkan dan diketahui bersama. Saya ingin buku itu kita jadikan jendela [untuk memahami konflik di Nduga],” kata Markus Haluk seusai peluncuran buku itu.

Haluk menyatakan persoalan yang terjadi di Papua dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Akan tetapi, Haluk menegaskan sudut pandang apapun yang dipakai untuk melihat persoalan Papua harus didasarkan kepada fakta dan hasil penelitian yang sahih. Untuk itulah Haluk meluncurkan buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua”, agar isinya dapat dikaji oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Nduga.

“Buku ini [dapat menjadi] acuan untuk melihat bersama [persoalan Nduga]. Apakah isi buku ini benar dan sesuai dengan apa yang terjadi, ataukah tidak. Silahkan, masing-masing bisa membuktikan. Diskusi dan kajian seperti ini harus terus dilakukan, untuk mendidik [publik],” kata Haluk.

Haluk mengatakan buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” menelusuri sejarah kekerasan yang terjadi di Nduga sejak 1977.  “Saya sadar, bahwa apa yang terjadi pada bulan Desember 2018 itu bertolak dari rangkaian peristiwa panjang. [Kekerasan telah terjadi Nduga] pada tahun 1977, tahun 1981, tahun 1996, tahun 2000, tahun 2003, tahun 2015, kemudian tahun 2017 hingga sampai sekarang. Dari pengamatan saya, masyarakat adat di (Nduga) ternyata kenyang dengan penderitaan,” katanya.

Haluk menemukan fakta bahwa Egianus Kogoya, pemimpin kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang membunuh 16 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018 lalu, lahir di tengah rangkaian kekerasan yang mendera Nduga sejak 1977 itu. Egianus Kogoya memiliki trauma akibat konflik dan kekerasan yang panjang, sehingga akhirnya mengangkat senjata dan menjadi bagian dari pelaku kekerasan.

“Situasi [kekerasan yang terus berulang di Nduga menjadikan] dia harus angkat senjata. Jadi, konflik yang terjadi hari ini adalah bagian dari rentetan perjalanan panjang. Situasi seperti itu tidak hanya terjadi di Nduga namun di hampir semua [wilayah] di Papua. Saya mengulas kondisi itu di dalam buku ini, agar menjadi bahan diskusi,” ujar Haluk.

Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua Dr Benny Giay juga meyakini konflik di Nduga hari ini merupakan buah dari rangkaian kekerasan yang terjadi secara terus menerus sejak 1977. “Generasi Nduga hari ini [adalah mereka yang] lahir pada konflik masa sebelumnya, dan sekarang melakukan gerakan untuk menentukan nasib sendiri,” kata Giay.

Giay menyatakan pemerintah pusat seharusnya memakai pendekatan dialog untuk menyelesaikan persoalan di Nduga. Pendekatan keamanan yang saat ini digunakan akan terus menghidupkan rasa trauma masyarakat adat di Nduga, dan pada akhirnya akan melahirkan konflik baru.

Giay meminta Presiden dan kabinetnya membentuk tim yang merintis dialog pemerintah Indonesia dengan ULMWP, dengan dimediasi oleh negara yang netral. “Sebab, [pendekatan keamanan] akan [membuat] masyarakat trauma, seperti sekarang ini,” katanya.

Pembantu Rektor 3 USTJ, Isak Rumbarar mengatakan buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” dapat dijadikan referensi dan panduan dalam mengadvokasi kasus Nduga. “Saya sudah naik ke Nduga selama dua minggu, dan saya telah mengamati situasi Nduga. Buku yang ditulis Markus Haluk ini sesuai dengan kondisi di sana,” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply