Papua No.1 News Portal | Jubi
Dialog seperti membuka kebun. Sebelum membuka kebun, lahan harus dibersihkan dulu. Apa yang kemudian ditanam dalam kebun itu, menjadi pilihan pembuka lahan
Kalimat di atas dilontarkan mendiang Pater Neles Tebay. Saat ditanya seperti apa-bagaimana memulai dialog damai di Papua. “Semakin banyak orang bicara tentang dialog, entah menolak atau mendukung, itu lebih baik. Karena kita mencari alternatif, bagaimana Papua harus menjadi tanah yang damai dulu. Setelah itu, baru berpikir merdeka atau masih tetap dengan Indonesia,” jelas Neles kepada jurnalis Jubi, Victor Mambor, Januari 2016 – tiga tahun sebelum tokoh ini meninggalkan kita.
Neles Kebadabi Tebay, dikenal sebagai penggagas dialog damai untuk memadamkan konflik dan kekerasan di Papua yang sampai hari ini tidak stop-stop. Bersama sahabatnya Muridan Widjojo, keduanya tak lelah menyuarakan solusi yang dikenal sebagai dialog Jakarta-Papua.
Keduanya kini telah pergi. Muridan, seorang peneliti cum aktivis berpulang pada 7 Maret 2014 karena penyakit komplikasi yang dideritanya. 5 tahun kemudian, tepatnya 14 April 2019, Neles Tebay menyusulnya. Kedua tokoh ini pertama kali bertemu pada 1999 di Jayapura. Sejak 2009 Melalui Jaringan Damai Papua (JDP), keduanya merekrut anak-anak muda, baik asli Papua maupun non untuk jadi agen perdamaian. Pater Neles bekerja di Papua, mendekati para tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan menawarkan gagasan dialog. Hal yang sama dilakukan Muridan dan kawan-kawannya di Jakarta, mendekati pemerintah dan pihak berkepentingan untuk mau berdialog.
Pater Neles Tebay mengaku, dalam memperjuangkan dialog Jakarta-Papua, dia dan Muridan tidak punya desain yang jelas. “Tetapi kami terbuka kepada perkembangan yang terjadi, entah karena pekerjaan JDP atau karena perubahan politik di luar jangkauan JDP, sambil tetap berpegang pada target yang ingin dicapai, yakni terselenggaranya dialog Jakarta -Papua dan terciptanya Papua damai sebagai tujuan utama,” tulis Tebay dalam buku “Muridan Kita dan Papua, Sebuah Liber Amicorum”” yang disusun Wilson, JJ Rizal dan Solahudin (2014).
Tebay yakin sekali, dialog damai satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan konflik antara Papua dan Pemerintah Indonesia. Damai muskil tercapai, jika kedua belah pihak terus mengacungkan senjata dan saling menumpahkan darah.
Agar jalan dialog itu terbuka, Neles menyatakan tuntutan kemerdekaan bagi Papua perlu dikebelakangkan. Hal ini juga harus dinyatakan oleh tokoh-tokoh OPM secara terbuka dan dipahami semua pihak yang akan mendukung proses dialog. Pemerintah pusat juga perlu mengembangkan upaya mempercayai tokoh tokoh Papua.
Ini jalan tak mudah. Tapi menurutnya patut diupayakan. Neles Tebay mengusulkan perlu upaya membangun saling percaya antara Papua dan pemerintah pusat. Caranya dengan saling mengutus orang untuk berbincang sebelum dialog dimulai.
“Artinya pertemuan pembuka secara informal perlu diprakarsai pemerintah pusat untuk menyimak pelbagai pandangan kelompok dan organisasi di Papua,” tulis Amiruddin al Rahab yang membuat sari pemikiran Neles Tebay pada bukunya, “Heboh Papua, Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme (2010).
Setelah persepsi bisa disamakan dan kepercayaan tumbuh, barulah kedua belah pihak bergerak menyiapkan semacam draf kerangka acuan bersama dalam dialog.
Neles mengusulkan sejumlah prinsip dasar dalam dialog, yaitu penyelesaian damai, menyeluruh, bermartabat tanpa ada pihak yang kehilangan muka dan ada tindak lanjut yang nyata setelah kesepakatan dicapai. Untuk itu, maka slogan “NKRI harga mati’ atau “Papua merdeka harga mati“harus ditransformasikan menjadi tujuan mencapai “Papua tanah damai” jadi dialog dilangsungkan dengan tujuan jelas, yaitu Papua menjadi tanah damai.
Resep dialog damai yang sudah digagas kedua tokoh ini patut dicoba Presiden Joko Widodo. Antropolog Universitas Papua (UNIPA), Manokwari, Papua Barat, I Ngurah Suryawan, juga yakin meski terhitung terlambat, dialog damai bermartabat untuk Papua adalah solusi terbaik mengatasi krisis di Papua.
“Bukan dengan pendekatan keamanan dan intimidasi yang saat ini terjadi. Aparat keamanan dikirimkan ke Papua, meski dinyatakan bukan untuk mengintimidasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda. Rakyat Papua trauma dan selalu menghadapi getir saat berurusan dengan aparat keamanan. Ingatan kekerasan dan penderitaan yang mereka alami tidak mungkin terhapuskan,” ujarnya kepada Jubi, belum lama ini.
Menurutnya, implikasi pelabelan KKB sebagai teroris berdampak sangat besar terhadap eskalasi kekerasan di Tanah Papua.
Dia khawatir, label tersebut akan menjadi pintu pembuka kekerasan yang lebih massif dan terstruktur oleh aparat atas nama counter terrorism yang justru semakin memperpanjang spiral kekerasan di Papua.
“Saya juga sangat mengkhawatiran pelabelan terorisme tersebut menjalar kepada pengawasan terhadap masyarakat sipil terutama yang menyuarakan protes dengan cara-cara nirkekerasan. Konsekuensinya adalah akan terjadi teror dan intimidasi terhadap kelompok-kelompok pro demokrasi di Papua, termasuk para aktivis NGO, aktivis HAM, tokoh-tokoh gereja, jurnalis, dan lain-lain.” (*)
Editor: Jean Bisay