Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tokoh Suku Amungme, Yosepha Alomang atau Mama Yosepha, mengajak perempuan Papua tetap bersatu dan mengambil peran untuk memperjuangkan hak Perempuan Papua. Ia juga mengajak setiap perempuan Papua untuk terlibat membela hak asasi manusia Papua.
Hal itu dinyatakan Mama Yosepha seusai menghadiri acara doa bersama dan penandatanganan Petisi Rakyat Papua di Kantor Dewan Adat Papua di Kota Jayapura, Rabu (22/7/2020). Peraih penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999 itu menyatakan bangga perempuan Papua berani menjadi pembela hak asasi manusia (HAM) Papua.
“Saya sangat senang, sebab sekarang banyak perempuan Papua yang berdiri di garis depan memperjuangkan HAM. Tidak hanya bagi perempuan, tapi juga orang papua pada umumnya,” katanya.
Alomang mengatakan setiap perempuan Papua pasti merasa sakit dan menangis melihat pelanggaran HAM yang terus menerus terjadi di Papua. “Karena kami melahirkan, membesarkan anak. Kami dinikahi, sehingga martabat perempuan Papua harus dihargai oleh siapapun. Jangan melecehkan martabat perempuan Papua,” katanya.
Baca juga: Perempuan Papua tidak pernah tahu soal dana otonomi
Alomang mengajak laki-laki Papua untuk mendukung perempuan Papua. Laki-laki Papua harus merangkul perempuan Papua dalam kerja-kerja HAM, agar tercipta keadilan. “Sebab, saya generasi perempuan Papua yang tua, saya merangkul semua laki-laki Papua tanpa perbedaan. Setelah saya, siapa lagi? Sehingga laki laki Papua harus mendukung perempuan Papua. Kita gandeng tangan bersama. Sebab [jika] laki-laki sendirian, [dia] tidak bisa menyelesaikan persoalan apapun,” katanya.
Ketua Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Dewan Adat Papua, Irene Waromi mengatakan perempuan Papua masih rentan menerima kekerasan verbal maupun non verbal. “Kekerasan itu terjadi berulang kali, sengaja maupun tidak sengaja, sehingga harus ada perlindungan hukum [bagi perempuan Papua],” katanya.
“Saya harap laki-laki Papua bisa menghargai saudara perempuannya. Jangan ada lagi kekerasan, intimidasi, atau Kekerasan dalam Rumah Tangga [atau KDRT], sebab perempuan pewaris yang menurunkan orang asli Papua,” kata Waromi.
Waromi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, maupun Majelis Rakyat Papua dapat menggelar rapat dengar pendapat publik yang berkaitan dengan hak perempuan. Hal itu dinilainya penting karena tantangan yang dihadapi perempuan Papua semakin berat. “Hak-hak perempuan dijamin dalam undang-undang, agar benar-benar terlindungi,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G