Papua No. 1 News Portal | Jubi
Auki, Jubi – Provinsi Malaita akan melakukan referendum tingkat provinsi pada bulan ini, untuk mengetahui pendapat rakyatnya terkait isu kemerdekaan Malaita dari Kepulauan Solomon. Rencana itu telah diumumkan Premier Malaita, Daniel Suidani pada Selasa kemarin (1/9/2020).
Dalam pernyataan resminya, Pemerintah Provinsi Malaita menyatakan proposal untuk menggelar referendum itu muncul setelah Pemerintah Provinsi Malaita terus ditekat oleh pemerintah pusat yang dikuasai Democratic Coalition Government for Advancement (DCGA). Pemerintah pusat memaksa Pemerintah Provinsi Malaita menyetujui hubungan diplomatik Kepulauan Soloman dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), setelah DCGA memutuskan untuk mengalihkan pengakuan diplomatiknya dari Taiwan kepada RRT.
Di sisi lain, Provinsi Malaita telah menegaskan dalam Komunike Auki, bahwa provinsi tersebut tidak ingin membangun hubungan apa pun dengan Tiongkok. Akan tetapi, pemerintah pusat terus menekan Pemerintah Provinsi Malaita untuk menerima Tiongkok. “Hal ini mendorong Pemerintah Provinsi Malaita untuk memulai referendum di dalam provinsi Malaita mengenai kemerdekaan Malaita,” demikian isi pernyataan itu.
Baca juga: Bebas Covid-19, dua nelayan Bougainville dipulangkan dari Kepulauan Solomon
Saat mengumumkan rencana referendum itu, Premier Malaita Daniel Suidani menyatakan isu penentuan nasib sendiri telah menjadi bahan diskusi selama bertahun-tahun. Suidani menyatakan gaya kepemimpinan DCGA di bawah Perdana Menteri Manasseh Sogavare mengarah kepada kediktatoran, dan tidak sepaham dengan Provinsi Malaita.
“Seperti yang kita ketahui, kemerdekaan atau penentuan nasib sendiri Malaita telah menjadi topik pembahasan sejak masa Gerakan Maásina Ruru. Oleh karena itu, Provinsi Malaita ingin mendapatkan bayangan yang jelas tentang bagaimana perasaan orang-orang Malaita tentang masalah itu pada hari ini. Sudah tiba saatnya bagi orang-orang Malaita untuk merenungkan apakah mereka masih bersedia menjadi bagian dari negara yang kepemimpinannya berubah menjadi kediktatoran,” tegas Suidani.
Baca juga: Enam orang Kepulauan Solomon yang hilang di laut ditemukan
Suidani mengatakan Komunike Auki Malaita sudah dengan jelas menjabarkan sikap Provinsi Malaita terkait isu-isu kepemimpinan, aspirasi pembangunan, dan penegakan hak-hak fundamental, kebebasan dan kepercayaan mereka. “Sudah jelas juga dari komunike itu, bahwa kita menolak RRT dan sistemnya,” tuturnya.
Menurut Suidani, pada pekan lalu para pemimpin adat Malaita telah menegaskan kembali dukungan mereka terhadap Komunike Auki Malaita. Dukungan para pemimpin adat itu disebut Suidani sebagai bukti dukungan publik terhadap isu yang sedang diperjuangkan Pemerintah Provinsi Malaita.
“Penentuan nasib sendiri adalah inti dari hak asasi manusia. Tidak ada kekuatan apapun yang bisa mencegah kelompok dimanapun dari mewujudkan aspirasinya, terlepas dari seberapa sulitnya perjuangan itu dan berapa lama waktu yang diperlukan. Dengan hubungan yang penuh intimidasi saat ini dengan pemerintah pusat, siapapun yang bisa berpikir pasti akan memiliki perasaan yang sama seperti yang dirasakan Provinsi Malaita saat ini. Ini adalah tekad kita, dan kita akan mendukungnya. Referendum akan dilaksanakan bulan ini,” Suidani menekankan.(Solomon Star)
Editor: Aryo Wisanggeni G