Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua di Amerika Serikat atau IMAPAUSA melakukan doa bersama dan unjukrasa menolak rasisme di sejumlah kota di Amerika Serikat pada 23-28 September 2019. Unjukrasa itu dilakukan sebagai respon mereka terhadap berbagai kekerasan yang terjadi di Papua pasca kasus persekusi dan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu.
Presiden Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua di Amerika Serikat IMAPAUSA Anis Labene menyatakan para pelajar dan mahasiswa Papua di Amerika Serikat menggelar doa bersama dan penyampaian pendapat untuk menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di Papua pasca kasus rasisme di Surabaya. Labene menyatakan para pelajar dan mahasiswa Papua di Amerika Serikat juga berdoa bagi nasib ribuan warga sipil Nduga yang mengungsi sejak 2 Desember 2018.
“IMAPAUSA melakukan aksi doa bersama di beberapa universitas di sejumlah negara bagian. Di antaranya, di Universitas of Callifornia pada 26 September 2019, di Everest College, Seattle pada 25 September 2019, di Western Michigan University pada 24 September 2019, di Corban University, Oregon pada 23 September 2019,” kata Labene dalam siaran pers yang diterima Jubi pada Kamis (3/10/2019).
Aksi itu juga dilakukan untuk menyikapi berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Jayapura, Wamena, Ilaga. Para pelajar dan mahasiswa Papua di AS itu menyatakan prihatin dengan berlarut-larutnya penyelesaian kasus persekusi dan rasisme di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu, hingga berkembang menjadi konflik dan kekerasan di berbagai wilayah Papua itu. “Dampak dari unjukrasa anti rasisme oleh masyarakat Papua [di Indonesia] mengakibatkan konflik yang berkepanjanan, dan korban jiwa terus berjatuhan,” kata Labene.
Anis Labene mengatakan para pelajar dan mahasiswa Papua di AS itu menolak segala bentuk discriminasi dan rasisme, serta menuntut hak kemanusian dan keadilan bagi orang asli Papua. Selain itu, mereka juga ingin menunjukkan simpati mereka terhadap para warga di Papua. Menurutnya, unjukrasa para pelajar dan mahasiswa Papua itu mengundang banyak perhatian dari para mahasiswa lain di tiap-tiap kampus.
“Para mahasiswa juga ikut berpartisipasi menandatangani spanduk yang bertulisan ‘We Stand for Human Right’ untuk bersama-sama menolak segala pelanggaran hak asasi manusia, rasisme, dan diskriminasi yang baru-baru ini terjadi di Indonesia. IMAPAUSA meminta Polri untuk secara terbuka dan berkelanjutan menangani kasus diskriminasi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di seluruh wilayah di Indonesia,” kata Labene.
Labene menyatakan IMAPAUSA juga meminta Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat segera menarik pasukan keamanan dari Tanah Papua. “Kami menilai kehadiran mereka di Papua menambah masalah baru, dan membuat rasa ketidak nyamanan masyarakat Papua,” katanya.
Selain itu, IMAPAUSA juga mengecam tindakan represif aparat keamanan terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan masyarakat, pelajar, maupun mahasiswa di Papua dengan cara-cara damai. Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua juga dinilai penting untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat di Papua.
“Kami meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk segera membuka dan menjamin ruang demokrasi di Indonesia, termasuk dalam penyampaian pendapat di muka umum di Indonesia, khususnya di Papua. Pemerintah Republik Indonesia harus menyelesaikan berbagai kasus pelangaran hak asasi manusia di Papua, demi memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua dan juga seluruh rakyat Indonesia,” kata Labene.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Papua, Emanuel Gobay mengatakan, pihaknya meminta untuk menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis kemanusiaan yang kritis terhadap persoalan Papua. “Kami sangat menyayangkan perlakuan Negara terhadap Veronica Koman, Yan Warinusi, dan lainya. Mereka membela suara kaum tak bersuara, tetapi mereka dikriminalisasi,” kata Gobay.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G