Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Magdalena Kotokui harus berjuang keras agar tetap mengikuti kuliah online di masa pandemi Covid-19. Sejak diterapkan pembelajaran daring ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan membeli kuota internet.
“Tidak ada bantuan (pulsa) dari kampus maupun pemerintah,” katanya.
Kotokui adalah mahasiswa semester 4 Program Studi Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih.
Demi bisa kuliah online ia bekerja sampingan di rumah dosen. Dari hasil bekerja tersebut ia menabung untuk keperluan isi pulsa bulanan.
“Biasanya saya cari kerja borongan. Lihat dari waktu saja, misalnya kalau ‘trada’ tugas dari kampus atau hari ‘free time’ saya cari kerjaan,” ujarnya.
Dalam sebulan Kotokui menghabiskan biayai Rp150 ribu untuk membeli paket internet. Gereja menjadi pilihan jika ia tidak ada uang lagi untuk membeli paket data. Sebab gereja memiliki WiFi yang bisa diakses gratis untuk dipakai belajar.
BACA JUGA: Mimpi anak-anak Papua bisa belajar dengan standar internasional di UIP
“Cara belajar online hanya membuat kami bodoh dan yang lebih lagi itu bikin boros uang saku oleh pulsa internet,” katanya.
Nasib yang sama juga dialami Yonis Wakla. Pria asal Yohukimo tersebut harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, biaya kuliah, hingga biayai kos.
“Sekolah sambil kerja itu sudah menjadi kebiasaan dari SMA,” ujarnya.
Wakla adalah mahasiswa semester 5 Jurusan Kimia, FKIP Universitas Cenderawasih. Ia memiliki impian untuk kembali mengajar di tanah kelahirannya Kampung Sela, Dekai , Kabupaten Yohukimo, Papua.
“Saya kuliah karena ingin ‘pu tas’ (bisa mandiri). Itu pesan dari orang tua saya,” katanya.
Untuk bisa memenuhi semua kebutuhan hidup dan biaya kuliah, Wakla bekerja dari satu tempat ke tempat lain. Ia terkadang bekerja sebagai penjaga parkiran, sebagai loper koran, dan bekerja menjaga pon mini milik orang di malam hari.
“Saya ada catatan (jadwal) tulis tempel di dinding kos. Sudah ada waktu kerja, kuliah, dan beristirahat. Saya sudah atur semua,” ujarnya.
Selama pembelajaran daring diberlakukan, Wakla mengaku terkadang kesulitan mengikuti materi. Ia harus membuat temu janji dengan dosen untuk meminta dosen menjelaskan kembali materi kuliah.
“Ada kesulitan belajar, terkadang tidak mengerti, saya tanya ke dosen atau berusaha sendiri,” katanya.
Warung internet dan meminjam laptop temannya menjadi pilihan untuk mengetik tugas, karena Wakla tak memiliki laptop. Ia juga biasa memanfaatkan modul pemberian alumni untuk belajar, sebab biaya untuk membeli buku kuliah di jurusannya cukup mahal.
“Tidak ada biaya untuk beli buku. Keinginan mau beli, tapi terkendala biaya,” ujarnya.
Walaupun harus memenuhi semua secara mandiri tanpa dukungan materi dari orang tua, serta serba kekurangan, Wakla sangat bersyukur masih bisa kuliah. Ke depan ia bermimpi memiliki usaha sembako.
“Tidak ada kiriman dari orang tua, jadi berusaha sendiri,” katanya.
Kepala LLDIKTI Wilayah Papua dan Papua Barat Suriel S. Mofu mengatakan tantangan pendidikan di Papua dan Papua barat bukan pada dosen, universitas, dan proses akademiknya, tetapi karena kondisi ekonomi orang tua mahasiswa.
“Proses akademik tidak ada masalah. Semua berjalan sesuai dengan standar nasional pendidikan tinggi di negara kita,” ujarnya.
Selain itu, kata Mofu, kualitas pendidikan tinggi di Papua dan Papua Barat, baik di Perguruan Tinggi Swasta maupun Perguruan Tinggi Negeri dijamin oleh pemerintah. Secara khusus kualitas PTS di pantau dan diawasi dengan sangat teliti.
“Hari ini tidak ada Perguruan Tinggi swasta yang bisa mewisuda tanpa memenuhi standar nasional di negeri kita,” katanya.
Persoalannya, kata Mofu, 92 persen anak-anak Papua yang kuliah di Perguruan Pinggi di Tanah Papua penghasilan orang tuanya berada di bawah Rp2 juta per tahun.
Dari 92 persen itu, 54 persen tidak berpenghasilan, serta 70 persen mahasiswa Papua yang kuliah di PTS orang tuanya petani dan nelayan. Kemudian orang tuanya pegawai negeri sipil hanya 2 persen dari total mahasiswa Papua yang kuliah di Perguruan Tinggi di Tanah Papua
“Setelah itu diikuti buruh bangunan dan tukang ojek dan tidak memiliki pekerjaan sama sekali,” ujarnya
Menurut Mofu solusi yang dapat diberikan adalah dengan mendirikan banyak PTS di Tanah Papua. Sebab hanya di PTS mahasiswanya bisa mencicil biayai kuliah. Sebaliknya di PTN tak membayar maka mahasiswa harus mengambil cuti.
“Tapi di PTS dong bisa ‘bon’. Kuliah ‘bon’, sampai ada yang wisuda juga ‘bon’, bisa cicil itu hanya terjadi di PTS,” kata Mofu saat peluncuran Universitas Internasional Papua di Kota Jayapura.
Selain itu ada alternatif lain, yaitu dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan rendah atau ekonomi lemah. Karena itu perlu dukungan gubernur, wali kota, dan bupati yang ada di Tanah Papua melalui dana Otsus
“Jadi Otsus buat dukung masyarakat, anak-anak mereka harus dibantu,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi