Mahasiswa Mimika aksi di Kemendagri menolak pemekaran provinsi

Mahasiswa Mimika menggelar aksi damai di kantor Kemendagri RI Jakarta, Senin (22/2/2021). - Jubi/Ist

Papua No.1 News Portal | Jubi

Dogiyai, Jubi – Pemekaran Provinsi Papua Tengah yang digencarkan oleh Asosiasi Bupati Meepago dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuai protes dari berbagai kalangan di mana-mana. Kali ini mahasiswa Mimika berjumlah 30 lebih serta belasan tokoh intelektual melakukan unjuk rasa di kantor Kemendagri di Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021).

Read More

Jony Jangkup, Koordinator Umum Mahasiswa Mimika se-Indonesia, mengatakan berbagai komponen yang sedang mati-matian berjuang untuk DOB tersebut harus mengembalikan soal pemekaran provinsi kepada rakyat, MRP, DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua.

“Pemekaran Provinsi Papua Tengah bukan permintaan kami masyarakat dan mahasiswa. Pemerintah harus hargai lembaga adat dan masyarakat adat,” katanya, melalui keterangan persnya yang dikirim ke Jubi, Selasa (23/2/2021).

Pemekaran Provisi Papua Tengah, lanjut dia, merupakan kepentingan kapitalis dan harusnya kewenangan pemekaran sepenuhnya berada di MRP dan DPRP.

“Pemekaran Papua Tengah akan menyebabkan masyarakat Papua lebih tertindas, karena saat ini hanya dua provinsi saja kehidupan masyarakatnya sudah seperti ini. Masyarakat Papua belum siap terhadap pemekaran Papua. Tapi Presiden Jokowi langsung memberikan perintah secara sepihak,” ujarnya.

“Selain itu kami juga menuntut segera kembalikan hak adat masyarakat Lemasa dan Lemasko ke Suku Amungme dan Kamoro,” lanjutnya.

Ia menegaskan, pemekaran adalah kepentingan dari Kemendagri dan pemerintah pusat untuk memusnahkan orang asli Papua di tanahnya sendiri.

Melianus Inagal, koordinator lapangan mengatakan, sejak 1967 sampai 2021 PT Freeport Indonesia beroperasi mengambil emas, tetapi masyarakat adat setempat tidak pernah dihargai dan diberi kesejahteraan.

“Kami melihat suku Amungme dan Kamoro serta beberapa suku kerabat lain seperti Suku Moni, Dani, Dainal, Nduga, dan Mee yang hidup di Tanah Amungsa Kabupaten Mimika telah diadu domba,” ujarnya.

Ia mengatakan, Lemasa sebagai benteng dan perisai diadu domba semenjak dana satu persen dikucurkan tahun 1996 dan pihak yang pro berdiri bersama Lemasa dinilai negara dan Freeport sebagai OPM.

“Dengan begitu masyarakat adat trauma dan dimarginalisasi. Maka kami dengan tegas dan keras menolak, mendesak kepada penguasa Indonesia, penguasa Freeport, penguasa Amungme selaku pemangku kepentingan di Mimika serta pendiri Lemasa untuk mendorong dan menyerahkan Lemasa kepada Amungme untuk melaksanakan Musdat,” katanya. (*)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply