Papua No. 1 News Portal | Jubi
Enarotali, Jubi – Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Asal Puncak atau IPMAP Koordinator Wilayah Bali meminta Bupati Puncak, Willem Wandik berhenti mengurus rencana pembentukan Provinsi Papua Tengah. Mereka meminta Bupati Puncak lebih berkonsentrasi mengurus warga sipil Puncak yang mengungsi karena eskalasi konflik bersenjata di sana.
Hal itu ditegaskan Ketua IPMAP Koordinator Wilayah Bali, Dety Tabuni saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Sabtu (5/3/2022). Menurut Tabuni, mengurus warga sipil yang tengah mencari perlindungan dari konflik bersenjata lebih penting daripada mengurus pemekaran Provinsi Papua dan pembentukan Provinsi Papua Tengah.
“Kami minta dengan tegas Bupati Puncak stop membicarakan [pembentukan] Provinsi Papua Tengah. Kami tahu sementara ini daerah Puncak belum aman, masyarakat korban di mana-mana. Kami minta tuntaskan segala aspek pembangunan secara menyeluruh. Kedepankan pembangunan kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan di Kabupaten Puncak,” ujar Tabuni.
Baca juga: Mahasiswa asal Papua di Bali serukan penghentian operasi militer di Puncak
Tabuni menyatakan pihaknya juga menolak rencana pemindahan sementara pelayanan pemerintahan Pemerintah Kabupaten Puncak ke Kabupaten Mimika. “Siapa yang mau lindungi warga di Puncak. Pihak eksekutif dan legislatif Kabupaten Puncak segera menangani masyarakat yang sedang mengungsi di Kabupaten Puncak,” katanya.
Eskalasi konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Papua terjadi, ditandai dengan meningkatkan kasus penembakan dan kekerasan terhadap warga sipil. Pada Rabu (2/3/2022), delapan karyawan PT Palapa Timur Telematika tewas ditembak di Distrik Beoga, Puncak, dan TPNPB mengaku bertanggung jawab atas insiden itu. Pada 22 Februari 2022, seorang siswa SD di Sinak, Kabupaten Puncak, meninggal dunia setelah diduga dianiaya aparat keamanan yang mencari sepuncuk senjata api yang dicuri.
Baca juga: Senjata dicuri, aparat lakukan penyisiran dan aniaya warga, 1 anak SD meninggal dunia
Terkait kasus dugaan penyiksaan sejumlah siswa SD di Sinak yang menyebabkan salah satu anak meninggal dunia itu, Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan kasus itu menjadi bukti bahwa bukti negara tidak serius melindungi Anak di Papua. “Berdasarkan kronologis yang telah kami verifikasi, ketujuh anak tersebut diduga kuat dianiaya dan disiksa oleh aparat TNI karena dituduh mencuri senjata di PT Modern. Peristiwa ini tentu menambah panjang deretan catatan buruk kekerasan oleh aparat di Papua,” kata Fatia selaku bagian dari Tim Advokasi HAM untuk Papua.
Tim Advokasi HAM untuk Papua itu merupakan koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil yang selama ini melakukan advokasi Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka antara lain KontraS, YLBHI, Make West Papua Safe Campaign, Asia Justice and Rights, Southeast Asia Freedom of Expression Network, Elsham Papua, LP3BH Manokwari, Amnesty International Indonesia, TAPOL, KPKC SINODE GKI TP, Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Imparsial, dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Tim Advokasi HAM untuk Papua mengutuk keras tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap tujuh anak hingga menyebabkan satu diantaranya meninggal dunia. Mereka meminta Komnas HAM turun tangan mengusut kasus itu. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G