Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Jakarta baru saja menerbitkan sebuah kajian cepat berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua”. Dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik, kajian cepat ini mencoba memperlihatkan bagaimana relasi antara konsesi perusahaan dengan militer di Papua. Pada publikasi awal, kajian ini mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya. yang mengalami beragam konflik kekerasan militer, mulai dari yang bermotif perburuan kelompok yang disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), maupun pengamanan konsesi perusahaan tertentu.
Diawal kajian cepat ini, 10 organisasi yang terdiri dari #BersihkanIndonesia YLBHI WALHI Eksekutif Nasional Pusaka Bentara Rakyat WALHI Papua LBH Papua KontraS JATAM Greenpeace Indonesia dan Trend Asia menyebutkan operasi militer yang dilakukan di Papua selama ini adalah operasi militer illegal. Pasalnya, pengerahan pasukan militer itu tidak memiliki landasan instruksi yang seharusnya dikeluarkan oleh presiden dan disetujui DPR.
Selain itu, sampai saat ini tidak diketahui secara pasti berapa banyak anggota militer yang telah ditempatkan di Papua. Surat balasan Markas Besar TNI kepada KontraS menyatakan bahwa informasi mengenai data penerjunan anggota TNI/POLRI di Papua merupakan informasi yang dikecualikan. Sementara itu, Mabes POLRI menjawab surat KontraS dengan memberi informasi berapa banyak anggota POLRI yang dikerahkan dalam operasi Nemangkawi 8 Februari – 31 Agustus 2021.
“Ketidakjelasan status akan situasi keamanan di Papua terus memberi celah bagi negara utk melakukan sekuritisasi, seperti membangun pos-pos atau markas/kantor militer dan penurunan pasukan baik Polri maupun TNI. Padahal, berbagai pengalaman menunjukkan pendekatan keamanan tidak menjawab permasalahan sistemik di Papua yang mengalami kesenjangan akses kebutuhan primer, kerusakan sumber daya alam, dan masalah kebebasan sipil,” kata Rivanlee Anandar dari KontraS.
Menurut kelompok LSM ini dasar argumentasi bahwa operasi milter di Papua adalah ilegal berasal dari analisis pendokumentasian pelanggaran HAM berat di Papua yang diterbitkan LBH Papua. Pada prinsipnya, kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) secara hukum Internasional dikategorikan sebagai “kombatan”. Namun, secara hukum nasional, TPNPB diartikan oleh institusi kepolisian sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sehingga dilancarkan “Operasi Kamtibmas dan Operasi Militer”. Namun kelompok kombatan ini juga diistilahkan sebagai Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) oleh instansi TNI. Hal ini membuat TNI dapat melakukan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata,
Umi Ma’rufah, anggota tim penulis kajian cepat ini mengatakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) adalah pengerahan kekuatan TNI untuk melaksanakan operasi militer yang bukan dalam rangka perang dengan negara lain.
“Namun UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI terkait pengerahan kekuatan TNI Pasal 17 menyatakan: (1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden. (2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Umi Ma’rufah, anggota tim penulis kajian cepat.
Pada kenyataannya, lanjut Umi, sampai saat ini, dalam setiap Operasi Penegakan Hukum dan Operasi Militer di Papua, Presiden Republik Indonesia belum menerbitkan Keputusan Presiden yang disetujui oleh DPR RI terkait pengerahan TNI dan pengunaan kekuatan TNI sesuai dengan ketentuan pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. (*)